Dulu, waktu kecil-kecil, saya sering mendengar orang mengumpat dengan kata “galadia”. Misalnya, “anak galadia”, “galadia paja tu” atau “hei, galadia.”
Ketika saya membuka Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia Balai Bahasa Padang, terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2009, “galadia” yang akan saya maksudkan di tulisan ini, berarti: sebuah kata makian yang artinya “pembawa celaka”.
Kata galadia merupakan umpatan atau makian atau ekspresi dari rasa kesal kepada seseorang yang dinilai kurang baik atau tidak baik.
Karena itu, ketika ada orang dengan suara keras dan rahang menegang berkata, “galadia waang mah...” Itu artinya, ia memaki dikarenakan kesal atau jengkel.
Menerangkan kata “galadia”, sebenarnya kita ingin mendeskripsikan, orang Minang itu, punya kata “galadia”, yang ketika ia marah bisa serta merta terungkap. Namun, kata “galadia” ini, termasuk kata yang nyaris tidak terdengar diucapkan di zaman sekarang ini. Pengguna bahasa Minang yang saat ini dalam kehidupan sehari-hari, mungkin sudah banyak yang terlupa dengan kata galadia.
Kalau ada yang bilang, “anak galadia” atau “paja galadia”, itu artinya, orang yang dimaksud berperangai tidak benar. Punya tabiat menimbulkan masalah. Jika kita berteman, apalagi memilih dia jadi pemimpin, akan ada-ada saja masalah. Sebab, ketika dia disebut “paja galadia” atau “anak galadia”, sesungguhnya kita seperti sudah menstigma dia, sebagai seorang yang seakan-akan lakon pastinya adalah tidak menyenangkan, menimbulkan masalah, karena itu, dia memang “orang galadia”.
Dulu, waktu kecil-kecil, saya sering mendengar, kalau kata “galadia’ itu cenderung disemprotkan ketika seseorang merasa jengkel betul dengan seseorang lainnya, atau keadaan yang tidak bisa ia terima dengan lapang hati. Ketika kesal, kecewa, sesuatu yang tidak seperti harapannya, dan semua itu dikarenakan seseorang, maka dia akan memperdengarkan suaranya” “galadia, ya”.
Ketika saat ini, di media atau semua kita sudah tahu, banyak ternyata para politisi, pejabat dan mereka yang berada di lingkungan kekuasaan melakukan korupsi, rakyat dalam obrolannya bisa saja begini, “galadia semuanya”. Kata galadia dalam konteks ini, bisa berarti “pembawa celaka”, “tidak becus”.
Kata “galadia” penekanannya lebih kepada respons spontan atau asumsi kemarahan atau kekesalan dikarenakan sesuatu yang mengusik diri. Sesuatu yang tidak bisa diterima sebagai kebaikan, sesuatu yang kenyataannya bobrok.
Kalau sebutannya “urang-urang galadia”, artinya “orang-orang penyebab celaka, penyebab masalah, penyebab sesuatu menjadi buruk”. Orang-orang galadia ini, dalam artian lain termaknai juga sebagai orang yang tidak becus, kalau diberi amanah, ia lancung.
Jadi ketua, suka pakai uang organisasi, untuk bisnis dan untuk pribadi. Kalau ketahuan, cepat-cepat dikembalikan, atau mencarikan alasan yang kesannya, dia baik dan uang tersebut tidak digunakannya sendiri.
Tapi, kalau orang lain yang melakukan hal sama buruknya dengan dirinya, dasar orang galadia, ia yang dulu menuding. Orang galadia, ini banyak di negeri kita. Ia menjelma dalam banyak keadaan, jabatan atau status sosial lainnya.
Kalau dipapar, bisa panjang terkait “galadia”. Namun, galadia adalah penamaan yang terhardik, kepada seseorang, atas tindakan atau perbuatan yang tidak bisa diterima akal sehat, ditolak hati dan pikiran baik. Karena itu, ketika kita ada yang bilang “orang galadia” juga, sesungguhnya itu juga bisa koreksi untuk kita. Kira-kira, apa yang telah kita perbuat sebagai tindakan yang membuat masalah, tidak baik dan menimbulkan kekesalan orang lain.
Galadia juga punya arti lain, selain arti yang terpapar di atas. Dalam kamus yang sama, juga dijelaskan, galadia berarti cairan yang keluar dari kemaluan perempuan seperti keputihan dan sebagainya (termasuk juga binatang kaki empat), atau, juga galadia bisa disebut kotoran atau tahi yang encer sekali.
Sebagai manusia, harapan menjadi baik, sesuatu yang pasti. Kita takut “digaladiakan” orang, karena kita tidak mau, “merek buruk” melekat sebagai perangai yang menjengkelkan orang lain. Ketika bersua dengan kata “galadia, sesungguhnya kita bertemu dengan kata, yang pemaknaannya, bisa mengoreksi diri.
Baca juga: Banak
Kata, jika dimaknai, dirasai artinya dengan pikiran, kita pun bisa terinspirasi menjadi lebih baik dalam kehidupan. Sebab, kata bisa menunjuk dan menuding dan menandai kita sebagai apa. (*)
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.