Banak

Banak

Yusrizal KW. [Foto: dok.pribadi]

Pengantar

“Kato Bacari” adalah kata atau makna lain dari “kata” yang secara spesifik dicari dan dikutip dari bahasa Minang, yang sengaja untuk diulas-bebas, tanpa kehilangan makna dan arti substansinya. Kato Bacari, sama dengan kata terpilih, yang mungkin saat ini telah terasa asing bagi orang Minang. Kato Bacari menjadi nama rubrik padangkita.com, yang merupakan “rekatan” dari “kato” dan “bacari”, yaitu kata yang sengaja dicari untuk ditulis.

---

Bahasa kita, bahasa Minangkabau, mempunyai kata “banak”. Kata banak, dalam sebutan Indonesia, sama dengan benak. Artinya, otak. Orang Minang, juga sebagai orang Indonesia, untuk kata “banak”, selain berarti “otak”, juga bisa bermakna atau berarti lain sebagai pikiran, akal atau boleh juga sebagai logika.

Kalau sebagai orang Minang, kita mendengar kalimat begini, “Indak babanak pajatu (tidak berbenak dia itu),” ini berarti, ia mengungkapkan dalam keadaan jengkel, kesal atas tindakan seseorang yang tidak baik sebagai manusia berakal. Misalnya, di tengah malam hening, kita menyalakan tape atau musik keras, pakai berjoget pula dengan beberapa orang teman. Layaknya diskotik rumah kita, tetangga sebelah menyebelah tak dihiraukan. Padahal, orang mau tidur nyenyak.

Di lain hal, kita dengar pula, “Ke ampu kaki banak pajatu (ke jempol kaki otak dia).” Artinya, ini ungkapan bagi mereka yang tidak punya perasaan dan pikiran atas tindakannya. Boleh jadi dia melakukan tindakan bodoh, atau mungkin juga dalam konteks semena-mena. Pokoknya, akibat dari tindakannya itu, kalaulah tidak merugikan orang lain, merugikan dirinya sendiri.

Kadang, ada yang kasar atau sangat marah dengan orang yang dianggap tidak berakal. Sudah dididik berkali-kali, diajar baik-baik, diberi tahu mana yang baik mana yang buruk, tingkah dan perangainya, bagai orang tak berakal. Dalam bahasa lain, otaknya, benaknya tak dipakai. Maka, orang Minanglah namanya, dalam marah, kadang terselip “kelucuan” yang pahit.

Ndeh waang, indak pernah bapakai banak tu. Rancak den gulai banak ang tu, jaleh untuak dimakan (Aduh kamu, sering tidak pernah pakai otak, bagusnya saya gulai otakmu itu, jelas untuk dimakan...”

Lalu lain pula rasanya ketika mendengar kata “basibanak”. Orang Minang, menyebut “basibanak”, dalam artian “acuh tak acuh”, “tidak mau tahu”, “tidak peduli”, cuek”. Susahnya, kalau kita bertemu orang dengan tipe “basibanak”. Naik darah kita dibuatnya.

Orang tipe basibanak ini, terlihat dalam menjalani hidup, atau menghadapi masalah, biasa-biasa saja. Tidak dipikirkan betul. Karena mungkin, benaknya sudah menjadi besi, makanya menjadi besi atau basi banak (basibanak). Dia berutang sama orang, diminta utang, ia basibanak saja. Tetap tak mau bayar tanpa alasan. Ditegur atas kesalahannya, basibanak juga dia.

Ada pula, basibanak ini diucapkan untuk menyahuti hal yang positif juga. Misalnya, seorang ayah, memuji anaknya yang berani tampil di panggung. Apakah pidato, menyanyi, atau baca puisi. Anaknya merasa aman-aman saja di panggung. Tidak sedikit pun grogi. Acuh-acuh saja oleh teriakan penonton atau apalah namanya. “Anak ambo ko basibanak sajo nyo naik ka pentas, sudah tu batapuak tangan urang dibueknyo (Anak saya ini cuek saja naik ke pentas, sudah tu bertepuk tangan orang dibuatnya...” Artinya, tanpa ada rasa grogi dan malu, anak itu bisa menaklukkan panggung.

Kata banak, ada dalam kepala kita, tersimpan baik di memori, pada otak kita sebagai manusia. Ia identik dengan otak juga, pikiran maupun logika. Karena itu, kata “banak”, memiliki rasanya sendiri ketika diucapkan. Di dalam kata banak, orang Minang bisa memberi banyak tafsir, pengertian-pengertian dan takdir sebuah kata.

Kata “banak”, adalah kata dimana kita, bisa memberi seseorang nilai, atau stigma, makna atau rasa-rasa dalam berperilaku, maupun dalam memaknai dan menilai sesuatu. Banak, kadang, kita cenderung membayangkan otak. Ketika banak (sapi) kita bayangkan, tentulah gulainya yang menerbitkan selera. (*)

---

Yusrizal KW
Dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.

Baca Juga

Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Puan Dorong Pemerintah Perjuangkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Puan Dorong Pemerintah Perjuangkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK