Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto

Holy Adib. [Foto: dok.pribadi]

Pak Gusdi mendalami psikolinguistik di Gifu University pada 1998—2000 ketika mengikuti program beasiswa Research Student dari Pemerintah Jepang. Ketika belajar di sanalah ia tertarik dengan masalah gangguan berbahasa. Seorang profesor Jepang di sana menyarankannya ke Malaysia untuk melanjutkan S-3 dengan bidang Neuropsikolinguistik. Atas saran itu, ia mengambil S-3 di Putra Universiti pada 2002—2005. Ia menulis disertasi berjudul “Ekspresi Verbal Penderita Stroke: Tinjauan Neurolinguistik”. Setelah lulus S-3, beliau mendalami bidang terapi wicara saat mengambil program posdoktoral di Hamburg University, Jerman, pada 2009—2010.

Setelah mewawancarai beliau untuk feature sosok itu, saya dihadiahi buku oleh Pak Gusdi, yang berjudul Neurolinguistik: Suatu Pengantar (2011). Buku itu buku kedua Pak Gusdi yang saya ketahui. Buku pertamanya yang saya lihat berjudul Bahasa dan Strok (2014). Buku lain beliau tentang neurolinguistik berjudul Model Terapi Wicara bagi Penderita Gangguan Berbahasa (2021).

Lampiran Gambar

Dr. Gusdi Sastra

Saya bertemu lagi dengan Pak Gusdi pada semester kedua 2019. Pada semester itu, saya kuliah Neurolinguistik dengan beliau. Entah mengapa saya tidak tertarik terhadap bidang tersebut. Oleh karena itu, saya tidak mengambil neurolingiustik sebagai topik tesis saya. Sewaktu menerima kiriman buku saya, Perca-Perca Bahasa: Kumpulan Esai(2021), beliau menulis di Facebook pada 2 April, “Smg kado tesisnya segera menyusul walaupun Adib tidak memilih neurolinguistik sbg pilihan.”

Itu bukanlah komunikasi terakhir saya dengan Pak Gusdi. Komunikasi terakhir saya dengan beliau ialah sewaktu Pak Totok wafat. Ketika itu saya mengirimi Pak Gusdi tangkap layar obrolan terakhir saya dengan Pak Totok di grup WhatsApp Klinik Bahasa. Dalam skrinsut itu Pak Totok mengucapkan kepada saya, “Selamat dan sukses, Adib. Senang mendengarnya. Jadi, saya gak di-wa terus sama Pak Gusdi.” Ucapan tertanggal 13 Agustus itu merupakan tanggapan beliau terhadap ucapan selamat dari Kepala Badan Bahasa, Prof. Endang Aminudin Aziz, kepada saya sekaligus informasi kepada anggota grup WhatsApp itu bahwa saya telah selesai mengikuti ujian komprehensif. Di bawah tangkapan layar tersebut saya mengatakan kepada Pak Gusdi bahwa obrolan itu merupakan obrolan terakhir saya dengan Pak Totok. Pak Gusdi membalas pesan saya itu dengan pesan terusan yang berisi informasi tentang penyakit Pak Totok yang membuat beliau wafat. Itulah komunikasi terakhir saya dengan beliau.

Sementara itu, komunikasi saya dengan Pak Totok lebih sering melalui WhatsApp. Interaksi saya secara tatap muka dengan beliau hanya dua kali: pertama di Jakarta ketika saya menghadiri acara Badan Bahasa pada Juni 2019; kedua di Padang ketika beliau menghadiri International Seminar on Linguistics 4 pada Juli 2019 di Unand.

Selamat jalan, Pak Gusdi (1964—2021) dan Pak Totok (1969—2021). Saya sebut pada awal tulisan ini bahwa kepergian keduanya merupakan kehilangan besar bagi dunia linguistik Indonesia, khususnya bagi kampus tempat mereka mengajar. Kehilangan bagi dunia linguistik Indonesia ialah bahwa sedikitnya pakar neurolinguistik dan linguistik komputasi. Sementara itu, kehilangan bagi kampus mereka mengajar ialah bahwa Pak Gusdi merupakan satu-satunya pengajar mata kuliah Neurolinguistik di Unand, sedangkan Pak Totok merupakan satu-satunya pengajar mata kuliah Korpus Linguistik di UI, sebagaimana yang diinformasikan Bu Felicia kepada saya.

Baca juga: Doktor Gusdi Sastra Meninggal Dunia, Unand Kehilangan Satu-satunya Peneliti Neurolinguistik  

Atas segala kebaikan dan ilmu yang diberikan oleh Pak Gusdi dan Pak Totok kepada saya, saya berdoa semoga keduanya diberi tempat yang terbaik. Tentu sudah banyak ilmu yang mereka berikan kepada orang lain, baik mahasiswa dan teman keduanya, maupun orang umum, melalui kuliah, tulisan, dan ceramah-ceramah linguistik di berbagai tempat dan pada banyak kesempatan. Sebagaimana yang saya ketahui dalam Islam bahwa jika meninggal anak Adam, satu dari tiga pahala yang tidak terputus ialah pahala dari ilmu yang bermanfaat. (*)


Penulis: Oleh Holy Adib, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Andalas

Halaman:

Baca Juga

Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Universitas Andalas Raih Penghargaan Kategori Penerbit Perguruan Tinggi dari Perpusnas
Universitas Andalas Raih Penghargaan Kategori Penerbit Perguruan Tinggi dari Perpusnas
Unand Kukuhkan 5 Guru Besar Baru, Ini Sosoknya
Unand Kukuhkan 5 Guru Besar Baru, Ini Sosoknya
Universitas Andalas Undang Rezka Oktoberia Beri Motivasi Peserta Ekspedisi Nasional 2023 
Universitas Andalas Undang Rezka Oktoberia Beri Motivasi Peserta Ekspedisi Nasional 2023 
Gedung Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan Unand Dibangun lagi, Anggarannya Rp28 Miliar
Gedung Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan Unand Dibangun lagi, Anggarannya Rp28 Miliar
Saatnya Perempuan Peneliti dari Unand Raih Beasiswa ‘L'Oreal-UNESCO For Women in Science’
Saatnya Perempuan Peneliti dari Unand Raih Beasiswa ‘L'Oreal-UNESCO For Women in Science’