Baru-baru ini Indonesia kehilangan dua pakar neurolinguistik, yakni Dr. Gusdi Sastra dan Dr. Totok Suhardijanto. Pak Gusdi wafat pada 12 September, sedangkan Pak Totok berpulang pada 16 Agustus. Kepergian mereka merupakan kehilangan besar bagi dunia linguistik Indonesia.
Saya mengetahui sedikit kiprah keduanya dalam bidang neurolinguistik dari mengobrol dengan mereka—neurolinguistik adalah bidang kajian dalam linguistik yang membahas struktur otak yang dimiliki seseorang untuk memproses bahasa, termasuk di dalamnya gangguan yang terjadi dalam memproduksi bahasa (Gusdi Sastra, 2011). Eulogi ini akan saya mulai dengan menceritakan kebaikan Pak Totok kepada saya.
Menjelang pertengahan 2017, sewaktu akan mendaftar sebagai mahasiswa pascasarjana Jurusan Linguistik, saya bercerita melalui WhatsApp kepada Pak Totok bahwa saya akan kuliah di Universitas Andalas (Unand). Tanpa saya minta, beliau menawarkan diri untuk memberikan surat rekomendasi sebagai syarat mendaftar kuliah kepada saya. Ketika itu calon mahasiswa pascasarjana diminta untuk mendapatkan dua surat rekomendasi dari pihak yang berkaitan dengan jurusan. Surat rekomendasi saya yang satu lagi diberikan oleh Agus Sri Danardana, yang semasa itu menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Sumatra Barat.
Saya senang mendapatkan surat rekomendasi dari Pak Totok karena ia dosen Linguistik di Universitas Indonesia (UI). Tentu rekomendasi darinya sahih sebab beliau berkompetensi pada bidang linguistik di perguruan tinggi ternama. Saya lantas bertanya kepada beliau tentang alasannya menawari saya surat rekomendasi. Saya bertanya mengapa beliau mau saja memberi saya surat rekomendasi, padahal kami belum pernah bertemu dan hanya kenal di grup WhatsApp—kenal sejak 2016. Kata beliau, saya orang yang kritis dan memiliki logika yang cukup kuat saat berdiskusi tentang bahasa di grup WhatsApp Klinik Bahasa. Karena itu, ia yakin saya dapat menempuh kuliah pascasarjana Jurusan Linguistik—kelak saya tertatih-tatih menyelesaikan kuliah karena kuliah linguistik tidak mudah. Faktornya ialah bahwa saya belajar linguistik secara autodidaktik dan saya belum pernah mendapatkan kuliah dasar linguistik sebab S-1 saya sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan.
Pada suatu obrolan, Pak Totok mengatakan bahwa ia punya teman di Jurusan Linguistik Unand, yakni Pak Gusdi. Beliau lalu menceritakan sedikit perihal pertemanannya. Saya mengatakan kepada Pak Totok bahwa saya mengenal Pak Gusdi meskipun saya belum kuliah di Unand. Saya tahu nama Pak Gusdi sebagai pakar neurolinguistik karena saya sering menongkrong di Unand. Selain itu, saya berteman dengan Pak Gusdi di Facebook. Meskipun tahu dengan Pak Gusdi, saya belum pernah mengobrol dengannya.
Saya baru berkomunikasi langsung dengan Pak Gusdi sewaktu menjadi mahasiswa beliau pada semester I, pertengahan 2017. Sewaktu itu, beliau mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu. Saya kira hanya saya yang mengenal beliau. Ternyata beliau juga mengenal saya, khususnya sebagai wartawan. Ketika itu saya bekerja sebagai wartawan Haluan (sejak 2013).
Pada waktu kuliah dengan Pak Gusdi itu pula saya menulis profil beliau, yang berjudul “Gusdi Sastra: Doktor Neurolinguistik Pertama di Indonesia” (Haluan, 13 November 2017). Klaim sebagai doktor neurolinguistik pertama di Indonesia memang datang dari beliau sendiri. Untuk memastikan hal itu, saya bertanya kepada Pak Totok. Pak Totok membenarkan bahwa Pak Gusdi doktor neurolinguistik pertama di Indonesia.
Neurolinguistik sebenarnya bukan bidang yang ditekuni Pak Gusdi dari awal. Berdasarkan skripsi dan tesisnya, beliau merupakan peneliti linguistik historis komparatif (LHK). Skripsinya pada 1988 berjudul “Leksiko Statistik dan Glotokronologi Bahasa Penghulu Jambi”, sedangkan tesisnya pada 1994 bertajuk “Rekonstruksi Fonologi Bahasa Kerinci”. Karena itu, saya tidak heran membaca artikel beliau tentang LHK pada buku Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II (1993). Artikel itu berjudul “Leksikostatistik atas Variasi Fonologis Bahasa Penghulu Jambi (Studi Komparatif Konstrastif dengan Bahasa Minangkabau)”.
Sebenarnya, Pak Gusdi tertarik mempelajari psikolinguistik sejak S-1 dan ingin menulis tesis tentang neurolinguistik sewaktu S-2. Menurut ceritanya saat saya wawancarai (2017), sewaktu ingin menulis skripsi tentang psikolinguistik, ia disarankan menulis tentang LHK karena dijanjikan untuk dikirim ke Jerman. Dulu ada kerja sama Unand dengan Frankfurt University. Namun, setelah ia tamat, kerja sama tersebut terhenti. Ketika kuliah magister di UI, ia mengenal Pak Totok, teman yang membuatnya makin tertarik mendalami neurolinguistik. Namun, saat ia akan menulis tesis tentang neurolinguistik, dosen pembimbing bidang itu belum ada di UI. Akhirnya, ia menulis perihal LHK lagi.
Daripada Pak Gusdi, Pak Totok justru lebih dulu meneliti neurolinguistik. Beliau meneliti neurolinguistik sejak S-1 hingga S-2. Beliau merupakan orang kedua yang menulis skripsi tentang neurolinguistik—orang pertama ialah Yundafi Husni dari Universitas Hasanuddin (1987). Judul skripsi Pak Totok pada 1993 ialah “Cacat Gramatikal pada Keluaran Wicara Penderita Afasia Broca”. Pada 2000 ia menulis tesis “Kecenderungan Kesalahan Fonologis pada Penderita Afasia Motoris”. Oleh karena itu, saya pikir Pak Totok dapat disebut sebagai pakar neurolinguistik. Beliau bahkan orang yang membuka mata kuliah Neurolinguistik di Universitas Indonesia setelah lulus S-2. Mata kuliah itu tutup ketika Pak Totok studi doktoral di Keio University, Jepang.
Namun, Pak Totok tidak melanjutkan untuk meneliti neurolinguistik sewaktu kuliah doktoral. Beliau memilih bidang linguistik komputasi sebagai topik disertasi. Judul disertasinya ialah “A Cross Cultural Multiple-Language Analysis System with A Semantic-Phonological Correlation Computing Method.” Sebagai informasi, linguistik komputasi adalah cabang linguistik yang mempergunakan teknik komputer dalam penelitian bahasa dan kesusastraan, a.l. dengan mesin penerjemah dan sintesis wicara (Kamus Linguistik, 2008). Ketika kembali mengajar di UI, beliau tidak lagi mengajar Neurolinguistik. Saya mendapatkan informasi dari Bu Felicianuradi Utorodewo, rekan Pak Totok sesama dosen di FIB UI, bahwa hingga kini tidak ada mata kuliah Neurolinguistik di UI karena tidak ada pengajarnya. Sepulang kuliah doktoral, Pak Totok justru membuka mata kuliah Korpus Linguistik.
Pak Gusdi mendalami psikolinguistik di Gifu University pada 1998—2000 ketika mengikuti program beasiswa Research Student dari Pemerintah Jepang. Ketika belajar di sanalah ia tertarik dengan masalah gangguan berbahasa. Seorang profesor Jepang di sana menyarankannya ke Malaysia untuk melanjutkan S-3 dengan bidang Neuropsikolinguistik. Atas saran itu, ia mengambil S-3 di Putra Universiti pada 2002—2005. Ia menulis disertasi berjudul “Ekspresi Verbal Penderita Stroke: Tinjauan Neurolinguistik”. Setelah lulus S-3, beliau mendalami bidang terapi wicara saat mengambil program posdoktoral di Hamburg University, Jerman, pada 2009—2010.
Setelah mewawancarai beliau untuk feature sosok itu, saya dihadiahi buku oleh Pak Gusdi, yang berjudul Neurolinguistik: Suatu Pengantar (2011). Buku itu buku kedua Pak Gusdi yang saya ketahui. Buku pertamanya yang saya lihat berjudul Bahasa dan Strok (2014). Buku lain beliau tentang neurolinguistik berjudul Model Terapi Wicara bagi Penderita Gangguan Berbahasa (2021).
Saya bertemu lagi dengan Pak Gusdi pada semester kedua 2019. Pada semester itu, saya kuliah Neurolinguistik dengan beliau. Entah mengapa saya tidak tertarik terhadap bidang tersebut. Oleh karena itu, saya tidak mengambil neurolingiustik sebagai topik tesis saya. Sewaktu menerima kiriman buku saya, Perca-Perca Bahasa: Kumpulan Esai(2021), beliau menulis di Facebook pada 2 April, “Smg kado tesisnya segera menyusul walaupun Adib tidak memilih neurolinguistik sbg pilihan.”
Itu bukanlah komunikasi terakhir saya dengan Pak Gusdi. Komunikasi terakhir saya dengan beliau ialah sewaktu Pak Totok wafat. Ketika itu saya mengirimi Pak Gusdi tangkap layar obrolan terakhir saya dengan Pak Totok di grup WhatsApp Klinik Bahasa. Dalam skrinsut itu Pak Totok mengucapkan kepada saya, “Selamat dan sukses, Adib. Senang mendengarnya. Jadi, saya gak di-wa terus sama Pak Gusdi.” Ucapan tertanggal 13 Agustus itu merupakan tanggapan beliau terhadap ucapan selamat dari Kepala Badan Bahasa, Prof. Endang Aminudin Aziz, kepada saya sekaligus informasi kepada anggota grup WhatsApp itu bahwa saya telah selesai mengikuti ujian komprehensif. Di bawah tangkapan layar tersebut saya mengatakan kepada Pak Gusdi bahwa obrolan itu merupakan obrolan terakhir saya dengan Pak Totok. Pak Gusdi membalas pesan saya itu dengan pesan terusan yang berisi informasi tentang penyakit Pak Totok yang membuat beliau wafat. Itulah komunikasi terakhir saya dengan beliau.
Sementara itu, komunikasi saya dengan Pak Totok lebih sering melalui WhatsApp. Interaksi saya secara tatap muka dengan beliau hanya dua kali: pertama di Jakarta ketika saya menghadiri acara Badan Bahasa pada Juni 2019; kedua di Padang ketika beliau menghadiri International Seminar on Linguistics 4 pada Juli 2019 di Unand.
Selamat jalan, Pak Gusdi (1964—2021) dan Pak Totok (1969—2021). Saya sebut pada awal tulisan ini bahwa kepergian keduanya merupakan kehilangan besar bagi dunia linguistik Indonesia, khususnya bagi kampus tempat mereka mengajar. Kehilangan bagi dunia linguistik Indonesia ialah bahwa sedikitnya pakar neurolinguistik dan linguistik komputasi. Sementara itu, kehilangan bagi kampus mereka mengajar ialah bahwa Pak Gusdi merupakan satu-satunya pengajar mata kuliah Neurolinguistik di Unand, sedangkan Pak Totok merupakan satu-satunya pengajar mata kuliah Korpus Linguistik di UI, sebagaimana yang diinformasikan Bu Felicia kepada saya.
Baca juga: Doktor Gusdi Sastra Meninggal Dunia, Unand Kehilangan Satu-satunya Peneliti Neurolinguistik
Atas segala kebaikan dan ilmu yang diberikan oleh Pak Gusdi dan Pak Totok kepada saya, saya berdoa semoga keduanya diberi tempat yang terbaik. Tentu sudah banyak ilmu yang mereka berikan kepada orang lain, baik mahasiswa dan teman keduanya, maupun orang umum, melalui kuliah, tulisan, dan ceramah-ceramah linguistik di berbagai tempat dan pada banyak kesempatan. Sebagaimana yang saya ketahui dalam Islam bahwa jika meninggal anak Adam, satu dari tiga pahala yang tidak terputus ialah pahala dari ilmu yang bermanfaat. (*)
Penulis: Oleh Holy Adib, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Andalas