Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Setiap 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tanggal tersebut merupakan tanggal pertama kali produksi film “Darah dan Doa”.
Padang, Padangkita.com – Setiap 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tanggal tersebut merupakan tanggal pertama kali produksi film “Darah dan Doa” yang disutradarai oleh Usmar Ismail pada tahun 1950.
Sejak tahun 1950 hingga sekarang, film Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dengan berbagai tema cerita. Nah, dalam perkembangan itu, daerah atau adat Minangkabau atau Sumatra Barat (Sumbar) telah sering diangkat dalam film-film nasional.
Berikut ini, Padangkita.com merangkum sejumlah film Indonesia yang memiliki latar cerita Sumatra Barat.
Surau dan Silek
Film Surau dan Silek mengangkat tema keberadaan surau dalam masyarakat Minangkabau yang mulai ditinggalkan. Di film ini surau memegang peranan penting bagi setiap pemuda Minangkabau karena merupakan pusat pendidikan dan pengembangan diri.
Diketahui, pada masa lalu setiap anak laki-laki yang telah akil balig atau cukup umur akan tinggal di surau. Di sinilah mereka belajar termasuk belajar silek atau silat. Film ini mengangkat kebudayaan yang mulai terkikis itu. Seluruh proses pengambilan gambar film Surau dan Silek dilakukan di Sumatra Barat.
Cinta Tapi Beda
Film ini menceritakan tentang perempuan asal Padang bernama Diana. Ia merupakan seorang Katolik, namun mencintai Cahyo seorang muslim. Proses syuting, film cinta beda agama ini dilakukan di Padang. Film ini sempat dilaporkan ke jalur hukum oleh masyarakat Minangkabau terkait pelecehan agama.
Alasannya, tidak ada orang Minang yang beragama Katolik. Namun, Hanung Bramantyo selaku sutradara mengatakan jika tokoh Diana bukan orang Minangkabau.
Me vs Mami
Film ini menceritakan perjalanan ibu dan anak Mira dan Maudy dari rantau mereka Jakarta pulang ke kampung mereka di Sumbar. Perjalanan mereka dipenuhi dengan perdebatan dan pertikaian kecil. Selain itu, tentu juga diwarnai dengan kisah cinta.
Dalam film ini juga mengangkat tradisi “marosok”, yaitu proses tawar menawar ternak yang dilakukan dengan gerak tangan di bawah kain tertutup. Proses syuting film ini dilakukan di Payakumbuh, Padang Panjang, dan Bukittinggi.
Malik dan Elsa
Film Malik dan Elsa diangkat dari novel dengan judul yang sama ditulis oleh Boy Candra. Film ini bercerita tentang percintaan sepasang remaja yang baru saja mulai berkuliah. Proses syuting dilakukan seratus persen di Padang, di antaranya di kampus Universitas Negeri Padang dan Pantai Pasir Jambak.
Boy Candra mengatakan proses syuting di Padang adalah syarat ia mengizinkan karyanya diadaptasi menjadi film. Selain itu, Gubernur Mahyeldi pada saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Padang menjadi figuran dalam film tersebut.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Film ini diadaptasi dari novel Buya Hamka dengan judul yang sama. Bercerita tentang kasih tak sampai Zainudin kepada Hayati karena persoalan adat.
Baca juga: Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Film ini mengambil beberapa lokasi di kawasan Sumatra Barat, di antaranya Tarusan Kamang, Batipuh, Bukik Ambacang, dan Batu Sangkar. [pkt]