Covid-19 dan Petani Bawang Putih

Nofi Candra

Nofi Candra. [Foto: Dok. Pribadi]

Selain harus melakukan intervensi harga, pemerintah semestinya memiliki kebijakan khusus untuk meningkatkan pasokan domestik, agar ketergantungan pada bawang putih impor bisa dikurangi dari waktu ke waktu.

Jauh hari sebelum Covid-19 merebak, saya acapkali menerima keluhan dari petani bawang putih,  utamanya soal rendahnya harga jual petani dibanding harga bawang putih di pasaran. Bahkan, tak jarang,  petani bawang putih harus melepas hasil panennya di bawah harga produksi.

Masalahnya kian berat setelah  Covid-19 dan PSBB diberlakukan. Permintaan bawah putih menurun, tetapi saat petani bawang putih harus melepas hasil panennya, harga pun sangat tidak berpihak. Beberapa hari belakangan, saya bahkan mendapat informasi langsung dari petani bawang putih bahwa harga di level petani hanya tersisa sekira Rp8000-Rp1000 per kg. Sungguh sangat menyakitkan mendengar kabar ini.

Tak berbeda dengan petani lainnya atau pengusaha,  harapan petani bawang putih terletak pada selisih harga jual dengan harga produksi. Di sanalah letak kesejahteraannya. Semakin besar selisihnya, semakin besar pendapatan petani bawang putih. Tak ada lagi peluang menambah kesejahteraan selain dari itu.  Tentu bisa dibayangkan jika harga jual di level petani anjlok terlalu tajam jauh di bawah harga produksi. Kerugian telah menunggu di hari esok.  Risikonya,  pendapatan petani bawang putih akan ikut jatuh beserta bayang-bayang kekurangan dan kemiskinan yang mengikutinya.

Harga Rp8000-Rp1000 per kg terbilang sudah keterlaluan.  Pemerintah semestinya turun tangan lebih intensif, untuk membela keberlangsungan hidup para petani bawang putih dengan berbagai instrumen kebijakan yang tersedia.

Indonesia memang kekurangan pasokan bawang putih. Hanya saja pemerintah terlalu terbiasa mengambil jalan pintas, impor, tanpa memperjuangkan keberlangsungan pasokan yang sedikit di level domestik. Sejatinya, kebijakan yang diambil berorientasi pada pemberdayaan petani bawang putih domestik terlebih dahulu, sebelum memberikan kertas kuota impor kepada importir atas nama stabilisasi harga, yang ternyata banyak celah koruptifnya.

Dengan kata lain, stabilisasi harga tidak bermakna mengenyampingkan keringat petani bawang putih.  Saya sangat memahami kondisi ketimpangan pasokan dan permintaan, tapi saya cukup heran jika pemerintah lebih memprioritaskan bawang putih impor di satu sisi dan membiarkan harga rendah di level petani menghantui keberlanjutan kehidupan petani di sisi lain.

Dalam konteks harga yang jauh di bawah harga produksi petani ini, saya kira, pemerintah harus bersikap jelas. Disparitas harga jual di level petani dan harga pasar harus diintervensi agar tidak merugikan petani bawang putih, jika diperlukan, pemerintah menetapkan batas bawah harga beli di level petani,  yang menyisakan keuntungan untuk petani, baru setelah itu berpaling kepada komoditas yang sama yang diimpor.

Harga jual hari ini berkisar antara Rp45.000- Rp60.000 per kg, tetapi di level petani harga jual hanya Rp8000-Rp10.000. Bukankan sangat mengherankan. Jadi selain harus melakukan intervensi harga, pemerintah semestinya memiliki kebijakan khusus untuk meningkatkan pasokan domestik, agar ketergantungan pada bawang putih impor bisa dikurangi dari waktu ke waktu.

Selama dua tahun terakhir, impor bawang putih terpantau meningkat walaupun sebelumnya sempat turun pada 2014 hingga 2016. Dikatakan turun tidak berarti terjadi perbaikan fundamental dari sisi kapasitas produksi nasional karena nyatanya kemampuan produksi domestik untuk bawang putih hanya wara-wiri di angka 5 persenan.

Lihat saja dari data Kementerian Pertanian pada tahun 2016 misalnya, yang mencatat konsumsi bawang putih masyarakat pada 2016 mencapai 465,1 ribu ton, sementara produksi hanya sekitar 21,15 ton sehingga terjadi defisit 443,95 ribu ton.

Lalu data pada tahun 2017 tercatat konsumsi bawang putih mencapai sekitar 482,19 ribu ton sedangkan produksi hanya 20,46 ribu ton sehingga terjadi defisit 461,74 ribu ton. Dari data Kementan tersebut terlihat bahwa kebutuhan bawang putih nasional terus meningkat, sementara produksi justru menyusut yang membuat defisit bawang putih semakin melebar.

Pelebaran defisit tersebut misalnya dapat dilihat dari data impor bawang putih tahun 2018. Total volume impor bawang putih Indonesia mencapai 583 ribu ton, meningkat 4,16% dari tahun sebelumnya yang sebesar 559,7 ribu ton. Sementara itu, nilai impor bawang putih pada 2018 menurun 16,5% dari US$ 596 juta menjadi US$ 497,3 juta (faktor apresiasi Rupiah).

Secara pukul rata, diperkirakan selama tenggang waktu 2017-2021, produksi bawang putih bertengger di angka sekitar 19-20 ribu ton per tahunnya. Padahal konsumsi bawang putih diperkirakan terus meningkat dari 480 hingga 560 ribu ton. Alhasil ada defisit sekitar 480-550 ribu ton hingga 2021. Angka tersebut tentu saja menjadi sebuah gambaran numerik yang gurih bagi para pelaku impor, tapi juga semestinya gurih bagi petani, sekalipun secara sosial ekonomi cenderung jarang muncul dalam radar perhatian publik karena bawang putih kurang bernilai strategis apabila dibandingkan dengan beras, bawang merah,  daging sapi, alih-alih dengan minyak.

Bagaimana tidak, secara rata-rata setiap orang Indonesia hanya butuh bawah putih tak lebih dari satu kilogram dalam setahun. Mari kita lihat, jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 261,89 juta dan konsumsi bawang putih sebanyak 482,19 ribu ton, maka konsumsi per kapita bawang putih mencapai hanya 0,18 kg/tahun. Namun sialnya,  karena keremehan tersebut, kita akhirnya hanya punya luas lahan yang menghasilkan panen bawang putih sekira 2,42 ribu ha dengan produktivitas 8,45 ton/ha.

Boleh jadi sebagian lahan tersebut hanya lahan basa-basi dari para importir untuk memenuhi kualifikasi layak impor, yakni harus menanam bawang putih sekira lima persen dari volume yang diimpor. Walhasil, lahan petani yang benar-benar bergantung pada hasil panen bawang putih pun ikut teremehkan.

Jadi secara kasat mata, bisnis bawang putih terlihat remeh. Padahal bumbu dapur yang banyak terserak di los-los becek pasar tradisional tersebut merupakan bisnis yang sangat gurih jika dilihat secara detail.  Mari kita lihat, kebutuhan nasional bawang putih mencapai 30.000 ton per bulan. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang bisa dipenuhi petani lokal. Sisanya, 95 persen alias 340.000 ton bawang putih, harus diimpor, setiap tahun.

Lalu dikonfrontasikan dengan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menunjukkan bahwa selama tahun 2019 ini, harga bawang putih yang dipantau pada lebih dari 90 kota di Indonesia bergerak antara Rp17.000 hingga Rp46.000 per kg. Jadi dengan harga rata-rata Rp30.000 per kg saja, nilai bisnis bawang putih impor mencapai Rp10,2 triliun. Apalagi kalau harganya dipermainkan alias diayun-diayun bak roller coaster,  sesuai kekuatan stok bawang putih yang dimiliki oleh importir, maka seni berbisnis bawang putih menjadi semakin menarik.

Jadi kondisi fundamental bawang putih yang memang sudah seperti itu atau boleh jadi memang sengaja dibiarkan seperti itu, secara teoritik, mau tak mau memenuhi prasyarat untuk lahirnya kebijakan kuota impor. Pembatasan impor (Import Quota) merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan alasan untuk melindungi produksi dalam negeri (yang kecil sepicing mata itu).

Pemaknaannya nampaknya sangat statis, yang berakibat bahwa angka produksi bawang putih nasional sangat terlindungi, selalu berkisar di angka yang sangat kecil secara konsisten dan terus-menerus.  Pemerintah via Kementerian Pertanian dan Perdagangan ibarat memuseumkan angka produksi bawang putih nasional,  melindungi dan memproteksi agar tetap pada kisaran yang terus kecil, lalu di waktu yang bersamaan memelihara para importir di luar museum dengan sistem kuota impor.

Secara teoritik,  pembatasan  biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan. Misalnya, Amerika Serikat membatasi impor keju. Hanya perusahaan-perusahaan dagang tertentu yang diizinkan mengimpor keju, masing-masing diberikan jatah untuk mengimpor sejumlah tertentu setiap tahun, tak boleh melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan. Besarnya kuota untuk setiap perusahaan didasarkan pada jumlah keju yang diimpor pada tahun-tahun sebelumnya. Karena berangkat dari filosofi dan teori yang sama, bawang putih pun diperlakukan dengan kebijakan yang sama, yakni kuota impor.

Selama ini, untuk bawang putih, kuota impor diberikan kepada sejumlah perusahaan yang disaring oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), berdasarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan). Sejak 2017, Kementan menetapkan sejumlah syarat bagi "calon" importir bawang putih agar bisa masuk daftar RIPH. Satu di antaranya, importir wajib membuka kebun bawang putih, paling kurang lima persen dari jumlah yang akan diimpor.

Jadi sangat bisa “diwajari” mengapa dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan beberapa kebun bawang putih di tanah air, terutama di daerah beriklim sejuk seperti Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah; lereng Gunung Ijen di Jawa Timur; dan kawasan Sembalun di lereng timur Gunung Rinjani, di Lombok, NTB.

Dari konstelasi tersebut, sangat jelas bahwa hasil panen petani bawang putih tidak terlalu masuk ke dalam radar pemerintah yang mengakibatkan keberpihakan pada mereka juga sangat kecil. Apapun sudut pandangnya, impor dilakukan setelah pemerintah memberi prioritas pada kapasitas produksi bawang putih domestik terlebih dahulu, mengarahkan berbagai kebijakan pada keberlangsungan keuntungan para petani bawang putih terlebih dahulu sebelum mempertebal kocek para importir bawang putih. Saya yakin,  pemerintah mampu menetapkan harga jual di level petani yang lebih berpihak pada petani,  sebelum memutuskan untuk mengguyur pasar domestik dengan bawang putih impor.

Dari konstelasi pasokan dan permintaan yang ada,  pemerintah sangat mampu menetapkan harga sekira Rp20.000-Rp30.000 per kg di level petani, mengingat harga jual di pasaran hari ini, sejak Covid-19 merebak, sudah berada pada level yang cukup tinggi,  Rp45.000-Rp60.000 per kg, selain kebijakan pendukung lainya, seperti keharusan pemerintah daerah untuk mengutamakan konsumsi bawang dari petani, bukan bawang putih impor untuk semua  jajarannya, misalnya.

Pendeknya, pada saat stimulus ekonomi berlimpah karena Covid-19, petani bawang putih pun semestinya bukan pengecualian. Pemerintah perlu melirik kondisi petani bawang putih dan merumuskan kebijakan penyelamatan yang sesuai dengan persoalan di lapangan. [*]


Novi Candra
Anggota DPD RI 2014-2019

Baca Juga

Andre Rosiade: Nofi Candra-Jon Pandu Siap Menangkan Pilkada Kabupaten Solok
Andre Rosiade: Nofi Candra-Jon Pandu Siap Menangkan Pilkada Kabupaten Solok
Nofi Candra Bergabung ke Gerindra, Andre Rosiade: Rebut Kemenangan Pilkada Kabupaten Solok 2024
Nofi Candra Bergabung ke Gerindra, Andre Rosiade: Rebut Kemenangan Pilkada Kabupaten Solok 2024
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat