Cingkahak

Cingkahak

Yusrizal KW. [Foto: dok.pribadi]

"Sacingkahak-cingkahak urang, pasti inyo mancari padusi nan elok. Baitu juo padusi!"

Kata yang menarik di situ, adalah “cingkahak”. Lama benar saya tidak mendengar kata cingkahak.

Cingkahak, sebagaimana juga mungkin dipahami Hakimah, adalah kata yang memiliki arti “kurang ajar”, “berperangai buruk”, “suka melakukan tindakan tidak terpuji”, “sumber masalah buruk bagi banyak orang” dan lain-lain, dan banyak lainnya seartian sama dengan ini.

Ungkapan itu, juga bisa memiliki arti yang tidak seperti sebenarnya, tapi jelmaan lain perilaku, jika ia diumpatkan kepada teman atau karib yang dalam bergurau atau tertawa, “Cingkahak kamu ya sama saya hehehe…!”

"Sacingkahak-cingkahak urang, pasti inyo mancari padusi nan elok. Baitu juo padusi (Sekurang ajar apa pun seseorang (laki-laki), pasti ia menginginkan perempuan baik. Begitu pula perempuan!)"

Artinya, kata “cingkahak”, juga memerlukan lawan katanya, sifat baik bagi siapa pun, tetap menjadi kerinduan. Karena ketika kata “cingkahak” ada, sesungguhnya di balik kata itu ada pesan, kebaikan akan dibutuhkan di saat ada nilai-nilai kebaikan yang tercederai.

Kata “cingkahak”, kata yang kalau kita ucapkan sebagai orang Minang saat ini, lain pula rasanya. Bagi yang pernah mendengar di masa lalu, sekarang mungkin sesekali saja di tempat tertentu oleh orang tertentu, kata “cingkahak” merupakan kata yang otomatis memberi deskripsi perangai buruk tertentu. “Paja cingkahak tu pulo nan ka jadi wakie rakyaik, usah lai (Orang berperangai buruk itu pula yang mau jadi wakil rakyat, janganlah).

Terkait kata cingkahak, ada pula istilah yang dulu sering kita dengar, yaitu “cingkahak urang”. Cingkahak urang ini kurang lebih berarati, seseorang yang telah diberi stigma, atau dirinya sudah dikenal dengan perangai buruknya. Mungkin dia suka buat onar, kurang ajar, bajingan atau penamaan-penamaan yang terkait dengan suka melakukan perbuatan tidak menyenangkan bagi orang lain.

Cingkahak urang ini, juga disebut dalam artian “sabana cingkahak”, yang kalau kita paparkan berarti sangat kurang ajar. Kalau ada yang paling kurang ajar di kampung itu, karena dia sudah dibilang “cingkahak urang” atau “paling kurang ajar”, setidaknya dia nomor dua.

Orang-orang cingkahak, banyak beredar di tengah masyarakat. Namun, kadang kita tidak bisa memastikan siapa yang cingkahak, kecuali dia menjadi bagian dari keseharian kita. Perilaku “cingkahak” ini cenderung terlihat spontan, mudah dibaca dalam pergaulan sehari-hari.

Kata ‘cingkahak” tidak melulu berkonotasi negatif jika disebutkan kepada diri seseorang, sebagaimana sekilas di atas sudah disebutkan. Seorang ayah, melihat anaknya yang lucu, nakal mengganggu adiknya, akan berujar sambil memukul lembut tangan anaknya dan tertawa kecil, “Iyo cingkahak parangai wa ang yo (Kurang ajar juga perangai kamu ya)”.

Begitu juga, seorang teman yang merasa dikerjai oleh teman sekosnya, pas ketemu kesal sambil mencubit dan tersenyum dia berkata, “Yo cingkahak kamu yo, bakarajoan ambo (Iya kurang ajar kamu ya, ngerjain aku)”.

Ungkapan “cingkahak” dengan emosi dan nada bersahabat, semacam bumbu, hanya itulah kata pilihan yang tepat untuk mengungkapakan betapa dekatnya kita, betapa bersahabatnya kita, sehingga kata “cingkahak” diucapkan dengan baik, maknanya berubah menjadi bukan makna dengan ruh buruk yang ada sesungguhnya.

Menjadi cingkahak, tentu menjadi gunjingan atau kebencian banyak orang, yang ketika kita mendekat orang menjauh, ketika pergi orang bahagia. Cingkahak, sesungguhnya kata yang juga memosisikan kita dan juga merupakan “identitas” karakter kita ketika kita berperangai buruk dan cenderung merugikan dan memuakkan bagi orang lain.

Baca juga: Galadia

Namun, yang namanya cingkahak adalah bagian lain bawaan perangai manusia, ia tetap menginginkan kebaikan, " Sacingkahak-cingkahak urang, pasti inyo mancari padusi nan elok. Baitu juo padusi!"

Itu saja, cingkahak! (*)


Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.

Baca Juga

Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK
Kisah Perempuan Minang Asal Lintau Jadi Sopir Bus AKAP, Satu-satunya di Jalur Sumatra-Jawa
Kisah Perempuan Minang Asal Lintau Jadi Sopir Bus AKAP, Satu-satunya di Jalur Sumatra-Jawa
Masjid Raya Sumbar Resmi Jadi Pusat Pembelajaran ABS-SBK Didukung Sejumlah Fasilitas
Masjid Raya Sumbar Resmi Jadi Pusat Pembelajaran ABS-SBK Didukung Sejumlah Fasilitas