Amba

Amba

Yusrizal KW. [Foto: dok.pribadi]

Orang Minang memiliki kata “amba”, yang artinya sama dengan hambar, tidak berasa, atau tawar. Airnya hambar, itu artinya tidak ada rasa apa pun pada air yang dikatakannya. Roti tawar, sama dengan roti amba, roti yang tanpa variasi rasa lain di atas, dalam atau di sekitarnya. Orang Minang, sering berkirim, kalau ke kedai, “Tolong titip juga beli roti amba ya.”

Kata “amba”, juga menyangkut perasaan seseorang atau orang lain. Misalnya, lah amba hati den jo paja tu, artinya sudah tak ada rasa apa pun hati saya pada dia. Jika dulu berbunga, memberi kesan mendalam, karena hati sudah “amba”, kenyataannya adalah rasa yang biasa-biasa saja. Apa adanya.

Karena itu, “Hati nan amba, gulo jo madu pun indak ka bisa maubah kaadaan (Hati yang hambar, gula dan madu pun tidak akan bisa mengubah keadaan…” Karena itu, dua orang yang saling berhubungan secara emosional, kalau sama-sama hambar hati mereka, sulit dipertemukan dalam koridor perasaan yang sama.

Kehilangan semangat, tidak seceria semula, kadang pakai kata “amba” juga orang Minang ini. Dulu, dia si upik itu, ceria, periang gembira bawaannya. Sejak ibunya meninggal, amba saja bawaannya. Senyum kadang susah. Ibaratnya, darah dalam dirinya sudah hambar—tidak ada terlihat gejolak atau gairah ceria yang menyenangkan bagi yang melihat.

Orang Minang, banyak menggunakan kata konotatif, menyampaikan sesuatu dengan menawarkan makna tertentu. Kalau ada orang menyebut “upik amba”, itu sama dengan, kurang lebih upik yang pucat wajah atau kulitnya. Dia tetap manis, tapi memandangnya, seakan dia kurang atau pantang tersentuh matahari.

“Paamba”, ada pula sebutan begitu. Ini maksudnya, suka yang tidak berasa, makanan yang paling dinikmati adalah hal-hal yang tawar, tidak ada rasa yang menonjol di lidah ketika dikunyah.

Ketika kata “amba” berarti, boleh juga bermakna, sesuatu yang belum berasa. Ketika lidah menyentuhnya, ia jauh dari rasa umum, apakah itu asin, asam, manis, pahit dan lainnya. Kita, lidah sehat, bisa memastikan, “amba” (hambar) atau tidaknya makanan itu. Begitu juga, permainan atau sebuah karya seni.

Ketika seorang komentator sepak bola mengatakan, pertandingan sepakbola terasa hambar, ini artinya permainan yang tidak mengalami sentuhan teknik yang bagus, terampil bola yang masih kaku, serta kerja sama tim yang terlihat lemah. Sehingga, kita, atau siapa pun menyaksikan sepakbola, akan berkomentar, biasa-biasa saja. Hambar pertandingannya.

Hidup ini mesti berwarna, berasa lain. Karena itu, banyak orang bijak, para motivator, bagaimana kita selalu bisa menyiasati hidup lebih baik dan berwarna. Tujuannya agar hidup tidak monoton. Agar hidup tidak “amba”, bukan sesuatu yang tanpa rasa apa pun.

Orang yang sering gelisah, mengaku terjebak rutinitas, merasa hidup begitu-begitu saja. Ini maksudnya, kehilangan variasi, sehingga, kembali kepada sisi amba, sisi di mana sebuah ruang terasa kosong, dan kita berpikir, belum ada sentuhan apa-apa. Artinya, perlu diberi warna baru, didekorasi, diberi sentuhan artistik tamannya.

Kita juga kadang menerjemahkan mimik atau raut muka seseorang ke kita dengan pegangan kata “amba”. Misalnya, kita bertemu dengan seorang sahabat lama, entah ada masalah apa, memandang kita tidak antusias. Pandangannya letih saja, kosong, tak ada ekspresi senang atau sedih. Yang ada, datar-datar tanpa riak. Kita bisa saja merasa dia “memandang kita dengan hambar” alias “Amba sajo pandangannyo ka awak mah”. Sadang banyak pikiran, atau sadang ditagih utang banyak.

Baca juga: Samalero

Kata “amba”, kata yang di sisi lain, boleh juga kita pahami, tiada berasa atau tawar, adalah sesuatu yang memberi ruang bagi kita, untuk memberi rasa, sentuhan warna atau menjadi sesuatu yang tidak sekadar datar, hambar atau tawar. “Amba”, adalah kata yang juga menjabarkan, ketidakgairahan merasakan dan menikmati sesuatu. Hambar saja dia merespons hari ini. (*)


Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.

Baca Juga

Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Lebih Berupa Kebijakan dan Payung Hukum, Ini Rekomendasi Hasil Kongres Bahasa Indonesia XII
Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Puan Bangga, Lagu Tak Tong Tong dan Baju Adat Minang Bawa TRCC Juara Internasional
Puan Dorong Pemerintah Perjuangkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Puan Dorong Pemerintah Perjuangkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Mengenal Istano Basa Pagaruyung, Pusat Kejayaan Minangkabau di Masa Lalu (1)
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Bertemu Mahyeldi, Wamenkumham Ungkap akan Akomodasi Hukum Adat Minang dalam RKUHP
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK
Sejalan dengan Progul, Gubernur Mahyeldi: KAN Penjaga Eksistensi Nagari dan ABS-SBK