Setelah video marah-marah Presiden Jokowi tentang kinerja para menterinya beredar ke publik, semua pihak yang menaruh perhatian tengah menebak apakah akan ada reshuffle kabinet atau hal tersebut hanya sebuah drama politik dari Medan Merdeka.
Jika serius memperhatikan, kondisi seperti ini sejatinya sudah amat biasa dan memiliki kesamaan pola tatkala presiden mengevaluasi kabinetnya sejak Presiden Yudhoyono hingga Presiden Jokowi. Berawal dengan tagihan kinerja presiden kepada menteri-menterinya. Dalam tagihan tersebut tak lupa presiden menggarisbawahi selalu mengawasi dan mengevaluasi kinerja para menteri. Momentum inilah yang biasanya selalu menjadi titik awal pertanda reshuffle kabinet oleh presiden ada di depan mata.
Ketika isu reshuffle menguat, partai koalisi akan selalu menyampaikan kalau pengangkatan menteri itu hak prerogatifnya presiden. Tugas mereka adalah mendukung dan menyiapkan kader terbaik jika diminta. Sementara menteri-menteri akan menyampaikan kalau mereka sudah bekerja secara maksimal. Bahkan partai di luar koalisi pun terkadang menyatakan diri siap membantu pemerintahan jika dibutuhkan.
Misalnya, belakangan beberapa elit dari PAN menemui Jokowi ke istana. Seakan memberikan sinyal kalau matahari akan terbenam untuk kedua kalinya di beranda istana pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Kesamaan pola ini, membuat kata “hak prerogatif” seolah menjadi senjata sekaligus tameng kekuasaan terhadap gonjang-ganjing posisi menteri.
Sejarah Hak Prerogatif
Sebelum dikenal konsep dan praktik pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, semua tindakan kekuasaan atas nama pemerintah ialah hak prerogatif kepala negara yang sekaligus merangkap kepala pemerintahan. Sebab seluruh cabang kekuasaan berada dan dijalankan oleh satu tangan.
Istilah hak prerogatif untuk pertama kalinya dikenal untuk pertama kali dalam sistem pemerintahan monarki Inggris dengan istilah the royal prerogatif (Turpin & Tomkins, 2007). Dalam perkembangannya, the royal prerogative mulai dibatasi karena adanya perubahan struktur dan sistem ketatanegaraan, terkhusus dengan adanya praktik pembagian dan pemisahan kekuasaan.
Protes terhadap absolutisme kerajaan sehingga melahirkan konsep perwakilan rakyat yang terlembagakan lewat parlemen, kemudian melahirkan sistem pemerintahan parlementer. Keberadaan parlemen yang muncul sebagai sentral penyelenggaraan pemerintahan Inggris secara tidak langsung telah mengikis kuasa the royal prerogative. Lewat beberapa undang-undang yang dibentuk secara langsung untuk membatasi atau mengurangi the royal prerogative.
Selain dari pembatasan atau pengurangan the royal prerogative, hal lainnya juga tidak terlepas dari penyerahan sebagian kewenangan menjalankan pemerintahan kepada parlemen yang dipimpin oleh perdana menteri. Sehingga muncullah istilah prerogative right. Karena terdapat pembedaan hak prerogatif milik kerajaan sebagai kepala negara dan hak prerogatif milik perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Dilema Kabinet Pelangi
Dalam pemerintahan yang dibentuk dengan melembagakan koalisi lewat komposisi kabinet pelangi, urusan evaluasi kinerja menteri akan menjadi drama. Tarik ulur antar-evaluasi, kursi dan koalisi menjadi pembicara dalam ruang tak terlihat. Sebab sama-sama berlindung dalam selubung bernama hak prerogatif.
Jika pengangkatan menteri benar-benar hak prerogatif presiden, maka seharusnya ketika bicara tentang menteri ke hadapan publik, presiden hanya akan berucap tentang siapa akan mengerjakan apa dan di kementerian mana. Evaluasi tak perlu disebutkan. Sebab kemutlakan penentuan lanjut atau tidak lanjutnya seseorang berada dalam kabinet ada di tangan presiden. Tanpa adanya tarik ulur, tanpa ada ketersanderaan oleh balas budi pemenangan.
Ruang evaluasi dan teguran semestinya hanya konsumsi internal presiden dengan kabinetnya. Berdasarkan pedoman kerja dan target capaian yang diharapkan dengan tenggat waktu yang ditetapkan. Di sini lah kita bisa memahami bahwa hak prerogatif itu adalah memang kewenangan mutlak. Oleh John Locke (1988:375) bahkan disebutkan jika hak prerogatif merupakan kekuasaan untuk bertindak sesuai dengan kebijaksanaan untuk kepentingan umum, tanpa kaidah hukum, dan kadang-kadang bahkan bertentangan dengan kaidah hukum tersebut.
Fungsi kabinet sebagai pembantu dalam menjalankan fungsi pemerintahan sekaligus menjadi jembatan kekuasaan eksekutif dengan parlemen merupakan cikal bakal yang hidup dalam tradisi pemerintahan dengan sistem parlementer. Apalagi sistem pemerintahan parlementer tersebut berkombinasi dengan sistem multipartai.
Kesulitan menghadirkan kekuatan mayoritas di parlemen kemudian mengharuskan adanya koalisi untuk membangun sebuah pemerintahan yang kuat atau stabil secara politik. Memudahkan dalam mengambil kebijakan yang bersinggungan dengan parlemen serta memperkecil kemungkinan dalam menghadapi penggalangan mosi tidak percaya oleh oposisi. Karena secara matematis menghimpun suara mayoritas parlemen artinya menghadirkan pemerintahan yang kuat secara dukungan politik.
Sementara dalam sistem presidensil multipartai keberadaan kabinet dikatakan dapat membawa presiden pada kondisi dilematis. Sekalipun secara teori presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, kabinet bisa saja menjadi alat penyandera presiden karena pelembagaan koalisi lewat kabinet dianggap sebagai suatu keharusan.
Pelembagaan koalisi dianggap keniscayaan karena ketakutan adanya hambatan dalam pembentukan undang-undang hingga ancaman pemakzulan. Seperti halnya yang selalu dijadikan alasan membangun koalisi baik oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden Jokowi. Sehingga pertemuan politik koalisional dengan sistem presidensil multipartai dapat dimaklumi, bahkan dinilai sebagai sebuah keuntungan.
Jika melacak letak hak prerogatif dalam sistem pemerintahan presidensil multipartai, hal itu akan terlihat parsial bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada sama sekali. Sebab presiden cenderung membentuk kabinet akomodatif daripada kabinet yang diisi para profesional.
Apabila dilakukan pembuktian, maka secara perbuatan sulit untuk mengatakan dalam pemerintahan yang dibentuk berdasarkan koalisi masih terdapat hak prerogatif presiden dalam pengangkatan menteri. Begitu juga apabila menguji niat, kita akan sulit percaya menteri tertentu diangkat bukan karena alasan partainya. Tapi memang karena kapasitasnya.
Dari sisi sumber hukum tata negara, pengangkatan menteri dilakukan dengan dasar hukum formil berupa keputusan presiden. Sementara nilai yang menentukan sumber hukum formil tersebut sebagai sumber hukum materiil ialah paham pemerintahan koalisional yang terlembagakan.
Jika kemudian pengangkatan menteri masih dipahami sebagai hak prerogatif, barangkali kita perlu menurunkan standar bahwa hak prerogatif yang dimaksud hanya sebatas kewenangan presiden menandatangani keputusan presiden tentang pengangkatan menteri. Tetap dengan pertanyaan besar tentang alasan yang mendasari seseorang diangkat menjadi menteri.
Jika hendak sedikit berdamai, barangkali dengan pengecualian pengangkatan menteri-menteri tertentu yang tidak urusannya sama sekali dengan politisi atau partai politik koalisi pemerintahan. Namun begitu hak prerogatif dalam praktiknya memang tak sesuperior namanya. Hak prerogatif itu setengah kosong, serupa marahnya macan ompong. (*)
M Nurul Fajri
Penulis adalah Alumni Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Scholarship Program, Radboud University