Kabar buruk itu akhirnya datang juga. Yaitu resesi ekonomi. Resesi ini bak hantu yang paling menakutkan bagi perekonomian. Ia menunjukkan titik paling lemah dari kinerja perekonomian. Alat ukurnya, penurunan laju pertumbuhan ekonomi – angka pertumbuhan minus – dalam dua kali kuartal secara berturut-turut.
Indonesia yang bercita-cita mencapai pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Itu menurut harapan dan janji politik Presiden Jokowi. Ternyata, tak mampu berkelit dari jurang resesi. Alih-alih mewujudkan harapan dan janji Presiden Jokowi. Kita terjerebab dalam pertumbuhan minus dalam dua kali kuartal. Kuartal kedua 2020 (Q2/2020), pertumbuhan terkontraksi mencapai -5,29%. Selanjutnya kuartal ketiga 2020 (Q3/2020), kembali terkontraksi mencapai -3,48%.
Tapi, tak usah dulu menyebut Presiden Jokowi sebagai pemberi harapan palsu – meski janji pertumbuhan 7% itu jelas tak realistis. Memang itulah fakta yang harus kita hadapi. Resesi ini tak hanya menimpa Indonesia, tapi juga menimpa banyak negara lain. Termasuk juga negara adidaya (Amerika Serikat), yang juga presidennya sering memberikan harapan palsu bagi rakyatnya: Donald Trump, yang sebentar lagi, mungkin akan lengser dari Gedung Putih.
Resesi itu sendiri juga menimpa Sumatera Barat. Dua kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi di Ranah Minang itu terjungkal: Q2/2020 sebesar -4,90 dan Q3/2020 sebesar -2,87. Inilah resesi ekonomi yang paling dalam menimpa Sumatera Barat, setelah krisis ekonomi 1998.
Meski termasuk provinsi yang memiliki daya tahan terhadap krisis ekonomi. Resesi ekonomi kali ini berbeda dengan resesi sebelumnya. Bila pada 1998, disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik. Resesi kali ini dipicu oleh pandemi.
Sejak awal 2020, hampir semua wilayah di belahan dunia ini terserang virus SARS-CoV-2. Tak terkecuali Sumatera Barat. Virus ini ternyata tak hanya mengakibatkan krisis kesehatan. Tapi juga berdampak terhadap lesunya kinerja perekonomian.
Kegagapan pun terjadi. Selain berpacu dengan penanganan virus. Kita juga berpacu meningkatkan daya tahan ekonomi. Tapi, pada akhirnya, semua itu jadi tak terkendali. Karena semua bingung, mau mempriotaskan yang mana. Yang terjadi, virus terus menyebar, perekonomian pun mengalami kelesuan.
Yang paling terpukul adalah komponen daya beli masyarakat. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menyebabkan daya beli menurun. Padahal, perekonomian Indonesia dan juga Sumatera Barat sangat tergantung dengan komponen ini. Lebih dari 52% kinerja ekonomi disumbangkan oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Saat daya beli masyarakat lesu. Harusnya ada stimulus dari pengeluaran pemerintah. Itu sudah lazim dalam penanganan krisis. Belanja pemerintah harus digenjot, agar daya beli meningkat. Peningkatan daya beli membuat kinerja produksi kembali bergairah. Oleh karena itu, program bantuan langsung tunai (BLT) harus diperbesar. Selain belanja pemerintah lainnya juga harus optimal realisasinya.
Tapi, dalam hal tersebut, pemerintah daerah di Sumatera Barat justru loyo. Kinerja pengeluaran konsumsi pemerintah justru yang paling jelek. Kontraksinya mencapai 9-10%. Tak ada stimulus untuk menggenjot komponen daya beli masyarakat. Masyarakat seakan dibiarkan sendiri menghadapi krisis ini.
Ketidakhadiran pemerintah daerah dalam penanganan krisis ini sungguh tak elok. Mereka tak memenuhi janji dan kewajiban konstitusi. Yang salah satunya, selalu berada bersama masyarakat dalam kondisi apa pun.
Memang dalam situasi pemerintahan yang pada fase akhir. Karena banyak kepala daerah yang memasuki akan habis masa jabatanya. Termasuk kesibukan menghadapi pilkada. Keabaian pada janji dan kewajiban konstitusi itu jadi lumrah. Mereka lebih mementingkan melanggengkan kekuasaan dibanding bersusah payah bersama rakyatnya.
Apalagi, banyak kepala daerah yang ikut kembali mencalonkan diri dalam pilkada. Mereka diwajibkan untuk cuti. Sedangkan pengantinya banyak yang kurang kompeten mengelola anggaran dan terbatas juga dalam eksekusinya. Itu memperburuk kemampuan stimulus fiskal dalam penanganan krisis. Jadi lumrah, pengeluaran konsumsi pemerintah bermasalah.
Pada kondisi ini, tak ada cara terbaik, selain memperkuat solidaritas sosial antar masyarakat. Ketika pemerintah tidak mengulurkan tangan, solidaritas antar masyarakat menjadi solusi terbaik mengatasi dampak resesi. Apalagi, masyarakat Minang memiliki budaya kekerabatan yang kuat. Itu modal utama untuk bisa keluar dari resesi. Semoga kita semua bisa bertahan menghadapi resesi dan pandemi ini. [*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang