Sejak tahun 1970-an, jumlah jumlah doktor kita lumayan meningkat hebat. Dapat dikata, perubahan kuantitas sedang terjadi pada aspek sumber daya manusia dalam dunia pendidikan kita. Ditambah lagi gelombang doktor-doktor luar negeri yang baru pulang ketika itu.
Mereka jadi primadona di kampus-kampus, jadi bintang di berbagai konsorsium dan seminar. Sekalipun, terang-kilatnya juga tidak lama, hanya sampai teori-teori menterang yang mereka banyak kutip dari bab disertasi mereka sendiri itu tidak menarik lagi bagi orang banyak.
Bukan saja karena kegagapan dalam upaya mereka menyesuaikan teori-teori yang didapatkan dalam sekolah dengan realitas sosial yang justru lebih rumit lagi, tetapi juga, demi hidup yang memang susah, pulang dari sekolah doktor kebanyakan mereka langsung terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat teknis-praktis.
Inilah zaman ketika Indonesia tengah sibuk 'membangun'. Orde Baru sedang menggulirkan Repelita demi Repelita demi menggapai 'tinggal landas'. Lalu para doktor-doktor itu disedot ke dalam arus itu sebagai punggawa-punggawa pembangunan. Mereka ditarik masuk sebagai pendukung dan pembela kebijakan-kebijakan pro-pemerintah alih-alih mengkritisi, menjadi suara oposan yang mengimbangi, ataupun pembela kepentingan-kepentingan masyarakat banyak yang acap menjadi korban dari kebijakan-kebijakan kekuasaan itu tadi.
Jadi, tidak butuh waktu lama, kemampuan refleksi maupun empati bagi mereka menjadi barang yang mahal. Tidak ada lagi waktu untuk berpikir dan merenung, kebiasaan itu kadang hilang sudah dengan cepat sejak mereka tercerap dalam lingkar kekuasaan. Pembangunan yang sedang giat butuh implementasi yang serba cepat. Mereka perlahan-lahan berubah jadi birokrat dan teknokrat, yang selalu harus menghasilkan sesuatu yang pasti-pasti, yang jelas tolok-ukurnya, dan jika perlu, praktis dan mudah implementasinya, demikianlah kira-kira gambaran yang diberikan Mohammad Sobary mengenai kaum intelegensia Orde Baru dalam "Kemarau di Dunia Intelektual Kita".
Sekarang sudah tidak terhitung jumlah doktor yang kita punya, baik yang lulusan dalam negeri maupun luar negeri, dan kita tidak lagi menjadi heran atas jumlah yang tak terbilang itu. Pemerintahan juga sudah tidak akan merasa kehausan doktor untuk direkrut jadi bagian dari dirinya atau sekadar jadi konsultan ahli di belakang lahirnya kebijakan-kebijakan.
Sudah jadi biasa orang-orang bergelar doktor hadir di tengah-tengah kita kini. Jadi, jika tahun 1970-an, sebagian orang terkejut dengan 'gelombang' doktor, sekarang kata 'gelombang' mungkin tidak lagi cocok digunakan untuk menyebut betapa peningkatan kuantitas yang begitu besar dan pesat pada sumber daya manusia dalam dunia pendidikan.
Tapi kadang terbersit juga tanya dalam hati, apakah meledaknya kuantitas sumber daya berpendidikan amat tinggi itu telah memenuhi ekspektasi kita akan peran yang mesti dimainkan wakil-wakil universitas itu?
Zaman kita barangkali, seperti zaman-zaman lainnya sebelum ini, juga tengah menghindar dengan semacam kelokan amat tajam dari 'impian-impian' ideal. Termasuk dari impian-impian ideal akan peran yang seharusnya dijalankan wakil-wakil univesitas sebagai bagian dari kaum intelegensi negeri ini.
Apakah sesungguhnya impian-impian ideal itu?