Tulang punggung keluarga
Penahanan terhadap tersangka yang merupakan tulang punggung keluarga sangat berdampak terhadap kondisi perekonomian keluarga, terutama bagi Aslinda. Sejak Masnefi yang bermata pencarian sebagai pedagang sate keliling ditahan, otomatis tidak ada lagi nafkah yang bisa diberikan untuk keluarga.
Keluarga Masnefi termasuk golongan ekonomi bawah. Di rumah kayu yang tidak terlalu besar, tinggal 12 orang dengan tiga kepala keluarga.
Kehilangan sumber pencarian membuat keluarga sangat terpukul. Bahkan putri keempatnya yang duduk di bangku kelas III MTs, terpaksa putus sekolah karena tak punya ongkos untuk pergi ke sekolah.
“Anak bungsu saya juga sempat malu ke sekolah karena bapaknya dipenjara,” kata Linda.
Pihak keluarga sebelumnya sudah memohon penangguhan penahanan terhadap Erdi dan Masnefi. Namun, upaya itu ditolak polisi. Mereka juga sudah berupaya untuk meminta tolong kepada Bupati dan Wakil Bupati Agam serta anggota DPRD, tetapi tak kunjung ditanggapi.
“Setidaknya kalau tidak ditahan, uda bisa bekerja untuk kebutuhan hidup anak-anak,” ujar Linda.
Direktur LBH Padang Era Purnama Sari menyayangkan penahanan yang dilakukan penyidik kepolisian terhadap Erdi dan Masnefi. Penahanan itu dinilai tidak memenuhi alasan objektif dan subjektif. Menurut Era, kedua orang tersebut tidak akan mungkin melarikan diri, mengulangi perbuatan, dan menghilangkan barang bukti.
Selain itu, Era juga meminta kasus ini untuk dihentikan karena tidak sesuai asas hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dari segi keadilan, hal ini jelas tidak adil karena penegak hukum hanya berani dengan kasus yang menjerat masyarakat kecil, tetapi tidak berani dengan kasus yang melibatkan koporasi.
“Azas kemanfaatan juga. Apa manfaatnya? Bahkan keluarga jadi terbengkalai karena tulang punggungnya ditahan,” ujar Era.
Pihak LBH Padang yang saat ini memegang kasus ini berjanji akan melakukan upaya hukum agar keadilan benar-benar bisa didapatkan Erdi dan Masnefi. Sementara itu, terkait pendidikan anak, pihak LBH Padang akan menghubungi Dinas Sosial agar anak Masnefi bisa kembali bersekolah.
Kini Erdi dan Masnefi terancam dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) huruf b dan Pasal 12 huruf b dan huruf f Undang-Undang nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan hukuman satu hingga lima tahun penjara serta pidana denda Rp500 juta hingga Rp 2,5 miliar.