Batusangkar, Padangkita.com - Seiring menjamurnya kafe dan kedai kopi, terutama di daerah perkotaan, telah berdampak terhadap kebutuhan yang dengan sendirinya membuka pangsa pasar bagi para petani kopi arabika.
Bahkan, saking tingginya kebutuhan itu, petani kopi arabika terkadang kewalahan memenuhi kebutuhan pasar. Hal inipun dirasakan petani kopi arabika di Jorong Pato, Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo Utara, Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar).
Kawasan Jorong Pato yang merupakan lokasi puncak bukit tempat dicetuskannya Sumpah Sati Puncak Marapalam ternyata juga menyimpan potensi perkebunan. Tidak hanya palawija, namun komoditi kopi arabika juga cocok untuk daerah yang berhawa dingin dan sejuk karena berada pada ketinggian perbukitan tersebut.
Berbekal pengalaman dan pengetahuannya tentang kopi arabika selama di perantauan, Helmi yang akrab disapa Da Eng memilih mudik ke kampungnya untuk mencoba menanam kopi tersebut.
Helmi yang merupakan warga Pato sendiri merantau di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara (Sumut) dan bertugas selama puluhan tahun di kawasan itu. Kebetulan, di Sipirok tersebut banyak warga yang berkebun kopi arabika.
Setelah mendapatkan pengalaman itu, Helmi mengajak adiknya Irfan yang berdomisili di Jakarta untuk membuat kebun kopi di kampung halamannya dan disambut semangat oleh sang adik.
Awalnya apa yang hendak dilakukan Helmi bersama Irfan mendapat cemoohan, sindirian dan danggap sebelah mata mereka terima saat melakukan rintisan usaha penanaman di tahun 2017 lalu.
Namun sekarang kondisi itu berubah 180 derajat, bahkan banyak warga setempat maupun daerah tetangga yang berminat untuk mencontoh penanaman kopi arabika yang telah mereka lakukan.
Bahkan usaha itu kemudian makin berkembang seiring makin terbukanya pasar penampung kopi arabika, terutama pengusaha kafe di perkotaan seperti Padang dan Pekanbaru.
Pada tahun 2019, kopi yang ditanam di perkebunan itu mulai panen, kemudian diolah langsung mulai dari penjemuran, hingga pengolahan lanjutan. Setelah berbentuk greenbeen barulah kemudian didistribusikan ke pasar-pasar Sumbar bahkan ke luar Sumbar dengan nama Kopi Fanevi Arabica Puncak Pato.
Untuk terus mengembangkan usahanya, Hekmi Kemudian mengembangkan membeli lahan warga. Dan ia menyebut, usaha kopi tidak hanya sekedar bisnis saja. Akan tetapi juga untuk mendukung upaya pariwisata panorama puncak pato. Selain itu juga mengajak warga untuk mengolah lahan tidur warga agar lebih produktif.
"Alhamulillah saat ini sudah banyak warga yang mencontoh hal ini dengan menanam kopi di kebunnya. Kopi warga yang siap panen kita tampung, bahkan warga dari luar nagari juga banyak yang mencontoh terutama yang berada di kawasan yang cocok untuk tumbuhan kopi tersebut," jelas Helmi.
Dikatakan Helmi, awalnya ia memasarkan dengan mempromosikan ke pemilik kafe yang berjualan kopi arabika. Alhasil, seiring berjalan waktu, permintaan dari pengusaha semakin banyak, bahkan ia sudah cukup kewalahan memenuhi permintaan pasar.
"Berapapun ada stok kita selalu diminta, bahkan ada permintaan yang diatas stok kita," ujarnya.
Untuk menjual stok, dalam sebulan dilakukan dua kali, dimana untuk satu kilogram saja dengan kategori greenbeen dapat dijual Rp130 ribu -Rp150 ribu. Dia sendiri menjual rata-rata hingga 200 kilogram sekali jual.
Untuk menghasilkan 200 kilo tersebut ungkap Helmi, membutuhkan waktu lebih kurang satu hingga dua bulan mulai dari panen, penjemuran, hingga pengolahan.
“Alhamdulillah, ini tidak hanya sekadar berbisnis, namun juga membuka lapangan pekerjaan terutama saat panen, memupuk, dan mengolah lahan baru kepada masyarakat setempat,” sampainya.
Untuk satu hektar lahan, dapat ditanami lebih kurang 2000 batang bibit kopi arabika. Saat ini, Helmi memiliki lebih kurang lima hektar kebun kopi arabika.
"Jadi tanaman kopi arabika ini memang cocoknya tumbuh di daerah tinggi, minimal kisaran 1.600 Mdpl. Kalo didataran rendah ditanam, nantinya rasa dari kopi itu tidak akan didapat," tuturnya.