Virtuous Setyaka
Dosen HI FISIP Unand, Direktur SANGKAKALA, Aktivis MDM, Mentor GSC Indonesia.
Sudah saatnya para sarjana pertanian bahkan juga harus berpolitik bersama para petani gurem dan buruh tani. Apa artinya ilmu pertanian dan teknologi pertanian jika senyatanya tidak berpihak pada para petani gurem dan buruh tani?
Tulisan saya dengan judul Mengapa Petani Harus Beroganisasi dan Berkoperasi? yang dimuat Padangkita.com pada Sabtu, 22/02/2020, mendapat respon positif dari pembaca, baik sesama dosen maupun petani, serta lainnya. Respon atas tulisan tersebut terutama pada pernyataan saya tentang: "investasi tanpa perubahan struktur kelas dan sistem pertanian secara menyeluruh, bukanlah solusi atas kemiskinan petani dan keluarga mereka."
Diantara respon tersebut juga pernyataan bahwa "...lebih lanjut ingin mendapat kelanjutan tulisan ini dengan bahasan yang lebih dalam...".
Perubahan Struktural?
Struktur selama ini dibicarakan dalam konteks bahwa secara politik, dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat tidak bisa dilepaskan dari negara sebagai organisasi sosial terbesar yang paling solid untuk mengatur atau menata dan mengelola kehidupan bersama.
Negara mendelegasikan pengaturan dan penatakelolaan kehidupan masyarakat melalui lembaga pemerintahan dengan aktornya adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Merekalah yang mengisi bagian atas dari struktur negara untuk melahirkan berbagai kebijakan yang diselenggarakan. Termasuk kebijakan pertanian yang akhirnya juga menentukan "nasib hidup" para petani di negeri ini.
Masalahnya adalah apakah mereka sesungguhnya merepresentasikan kepentingan para petani dengan menciptakan kebijakan pertanian yang pro-petani? Jika iya, mengapa nasib para petani di negeri ini sebagian besar memburuk bahkan terjadi depeasantization?
Lalu perubahan seperti apa yang diinginkan dengan kebutuhan seperti apa pula? Pastinya para petani menginginkan kehidupan yang makmur dan membutuhkan kebijakan yang pro-petani, bukan? Jika itu yang menjadi keinginan dan kebutuhan, apakah cukup dengan kebijakan yang mengafirmasi petani?
Mungkin satu-satunya cara memastikan kebijakan yang mengafirmasi petani adalah pemerintahan dengan berbagai lembaganya juga diisi oleh orang-orang yang pernah menjadi petani. Atau sebagai bagian dari keluarga petani, sebagai anak dan cucu para petani yang setidaknya pernah merasakan pahitnya kehidupan petani gurem apalagi buruh tani.
Kedua, dalam konteks sosial, struktur sosial yang berisi kelas sosial biasanya terbentuk dari diferensiasi terutama karena model produksi ekonomi. Dalam model produksi ekonomi selalu tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan tentang penguasaan kapital/modal (question of capital) dan pembagian kerja (division of labour). Dengan mendasarkan pada kerangka berpikir demikian, bagaimana posisi kelas sosial sebagian besar petani selama ini di negeri agraris ini?
Mereka yang disebut sebagai petani gurem (peasant) untuk konteks Indonesia bukanlah hanya mereka yang tidak memiliki dan atau tidak menguasai tanah/lahan, namun mereka juga tidak mampu berproduksi secara layak, apalagi mendistribusikan hasilnya sekalipun jika mampu berproduksi bahkan ala kadarnya.
Termasuk mereka yang disebut buruh tani, bukankah jelas sekali dalam pembagian kerjanya mereka tidak mungkin memiliki dan menguasai kapital/modal, dan juga teknologi? Lalu investasi besar-besaran bahkan berjangka panjang sekalipun, mungkinkah menambah kemakmuran atau setidaknya memperbaiki nasib para petani gurem dan buruh tani tersebut?
Jelas sekali bahwa struktur kelas sosial yang ada bahkan dalam pertanian sekalipun, ada petani yang berkapital/bermodal besar atau petani kaya, ada juga petani yang berkapital/bermodal ala kadarnya untuk bertahan hidup alias petani gurem, dan ada pula buruh tani yang tidak berkapital/bermodal sama sekali sehingga hanya mampu menjual tenaga kerjanya demi upah dan hampir bisa dipastikan hidupnya mengenaskan.
Maka solusi apa yang ditawarkan pada aspek strultural itu jawabannya sudah sangat populer: reforma agraria. Ketika orang mempertanyakan lagi reforma agraria yang seperti apa, maka tentu saja bukan reforma agraria yang dipimpin oleh pasar (market lead agrarian reform), dan bukan juga reforma agraria yang dipimpin oleh negara (state lead agrarian reform) jika yang memimpin negara juga bukanlah representasi dari para petani gurem dan buruh tani. Lalu apakah ada reforma agraria yang dipimpin oleh petani (peasant lead agrarian reform)? Ada, jika petani gurem dan buruh tani memang mempunyai daya tawar politik tinggi dan besar, bahkan apalagi ketika mereka berkuasa.
Bagaimana kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi para petani gurem dan buruh tani bisa diperjuangkan? Sekali lagi, melalui organisasi dan koperasi. Jika belum ada organisasi dan koperasi tani yang terbukti secara nyata mengubah kehidupan para petani gurem dan buruh tani, maka sudah saatnya dibentuk dan dikembangkan, bukan?
Aspek Non-struktural Kemiskinan Petani?
Dalam tulisan Mengapa Petani Harus Beroganisasi dan Berkoperasi? saya seperti mencampuraduk pengelolaan keuangan dan perbaikan aspek manajemen dalam produksi keluarga tani dengan aspek struktural pertanian.
Contoh-contoh non-struktural pun sebenarnya adalah "buah" dari struktur yang sudah ada. Struktur yang tidak pro-petani sehingga melahirkan sistem sosial yang menciptakan kelas-kelas petani kaya, petani gurem, dan buruh tani.
Kelas petani gurem dan buruh tani jelas mengalami kesulitan dalam manajemen dalam produksi dan pengelolaan keuangan keluarga mereka. Apakah mereka kurang pendidikan? Iya, untuk mengakses pendidikan khususnya manajemen produksi dan manajemen keuangan dalam konteks formal adalah barang mewah bagi mereka.
Ketika mau menerapkan manajemen produksi dan manajemen keuangan non-formal dan non-modern pun, kehidupan mereka telah terrampas oleh sistem pertanian yang disebut modern yang justru diproduksi dan terus direproduksi di lembaga-lembaga pendidikan formal sebagai produk politik struktural dan sistemik juga oleh negara.
Kehidupan para petani gurem dan apalagi buruh tani, pada dasarnya tidak pernah mendapatkan imbalan balik yang sepadan dari yang sudah mereka berikan. Bahkan nilai-nilai yang diciptakan oleh para petani gurem dan buruh tani memang telah "dirampas" oleh pemilik kapital/modal, bahkan oleh para konsumen produk-produk pertanian, dan sebagainya yang sering kali juga tidak berempati kepada mereka.
Bahkan ketika kolaborasi yang terus menerus jadi "mantra sakti" untuk disuarakanpun, tidak ada artinya tanpa perubahan struktur dan sistem. Apa artinya kolaborasi jika posisi kelas dan status sosial tidak setara dan tidak sederajat?
Apakah para petani gurem dan buruh tani harus terus menerus dalam posisi "yang (di)lemah(kan)" dengan status "yang (di)kasihan(i)"? Perampasan pada petani gurem dan buruh tani telah benar-benar merampas (ruang) hidup mereka. Bukan hanya struktural, bahkan juga kultural dalam seluruh kehidupan sosial.
Kemana para Sarjana Pertanian?
Saya belum tahu pasti berapa banyak jumlah sarjana pertanian di negeri ini. Namun pastinya banyak sekali apalagi jika hampir di setiap kampus negeri (setidaknya) ada jurusan dan atau program studi pertanian dan terapannya. Bahkan bukan hanya setingkat sarjana (S1) saja, namun juga ada setingkat pascasarjana (S2 dan S3).
Pertanyaannya adalah kemana saja mereka selama ini? Pastinya mereka ada di mana-mana, dan pastinya mereka juga tahu bahwa pertanian adalah sektor yang tidak bisa dilepaskan dari aspek politik. Sudah saatnya para sarjana pertanian bahkan juga harus berpolitik bersama para petani gurem dan buruh tani. Apa artinya ilmu pertanian dan teknologi pertanian jika senyatanya tidak berpihak pada para petani gurem dan buruh tani?
Salah satu yang sangat diharapkan kepada para sarjana pertanian -bahkan dari sebagaian sarjana pertanian yang saya kenal- adalah ikut dalam memikirkan dan memperjuangkan pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial bagi para petani. Masuk dalam kehidupan dan melebur bersama petani, terutama petani gurem dan buruh tani.
Harapan ini saya jumpai misalnya di dalam sebuah grup whatsapp yang bernama Komunitas Relawan Petani yang anggotanya tidak hanya dari Padang dan Sumatera Barat saja, tapi dari daerah lain di Indonesia. Saatnya ada Sekolah Politik dan Kepemimpinan Petani (SEPOKAT)! (*)