Padangkita.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, hutang Indonesia bukanlah penyebab menguatnya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Penguatan nilai tukar tersebut disebabkan oleh Defisit Transaksi Berjalan/Current Account Defisit.
“Apa yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap faktor eksternal. Indonesia bukan pada hutangnya, namun pada defisit transaksi berjalan,” kata Sri Mulyani sebagaimana dikutip dari setkab.go.id, Kamis (13/09/2018).
Menkeu mengatakan, undang-undang di Indonesia mengatur bahwa Defisit Transaksi Berjalan tidak boleh melewati angka 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB). “Angka tersebut masih dalam kendali,” tegasnya.
Lebih lanjut, Menkeu Menjelaskan, dinamika akan tercipta ketika Amerika Serikat memiliki sentimen terhadap negara berkembang di belahan dunia lain. Berdasarkan tantangan tersebut, pemerintah menurunkan defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan dengan cara membatasi impor secara selektif untuk menjaga momentum.
Selain itu, Pemerintah juga tengah berupaya meredam gejolak dinamika ekonomi global dengan membuat kebijakan yang memperhatikan faktor psikologis atau sentimen pasar disertai dengan aktif mengkomunikasikan kebijakan kepada para pemangku kepentingan.
Sementara itu, analisis terbaru Nomura Holdings Inc mengatakan, ada tujuh negara berkembang di dunia yang memiliki risiko besar dalam mengatasi krisis mata uang. Ketujuh negara tersebut yaitu: Pakistan, Turki, Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Mesir, dan Ukraina.
Dari tujuh negara itu, kata analisis Nomura, Argentina dan Turki mengalami krisis mata uang. Sementara Argentina, Mesir, Sri Lanka, dan Ukraina telah memutuskan untuk mengambil bantuan IMF sebagai cara untuk keluar dari krisis.
Indonesia, tambah analisis Nomura, merupakan salah satu dari delapan negara berkembang dengan risiko krisis paling rendah. Negara lainnya yaitu Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.
“Ini adalah sebuah hasil yang penting. Karena investor lebih fokus pada risiko. Penting untuk tidak menyamaratakan risiko krisis pada negara-negara berkembang,” ungkapnya.