Padang, Padangkita.com – Sejumlah organisasi, akademisi, dan aktivis yang tergabung dalam “Masyarakat Sipil Sumbar” menilai pengamanan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, tanggal 8-9 Oktober 2020 di DPRD Sumatra Barat (Sumbar) seolah-olah dilakukan dengan tidak profesional, diwarnai tindakan represif oleh petugas yang berasal dari Polda Sumbar dan Polresta Padang. Setidaknya 250 orang pelajar dan 5 orang mahasiswa ditangkap, diamankan dan diinterogasi oleh Kepolisian.
Organisasi yang tergabung dalam “Masyarakat Sipil Sumbar” ini adalah LBH Padang, Walhi Sumbar, UKM PHP Unand LAM & PK FHUA, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand, Perkumpulan Qbar, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).
Berikutnya, Negara Mahasiswa FISIP Unand, SIRIAH SUMBAR, Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, PBHI Sumbar, BEM Fakultas Hukum Unand, Aksi Kamisan Padang, Gerakan Kolektif Sumbar, Daulat Institute, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar, dan WCC Nurani Perempuan. Sementara itu, akademisi dan aktivis antara lain, Feri Amsari, Hendriko Arizal, Khairul Fahmi, Roni Saputra, Fabio Dinasti dan Feri Ardila.
Dalam pernyataan sikap tertulis yang diterima Padangkita.com, Sabtu (10/10/2020) sore, “Masyarakat Sipil Sumbar” menyebutkan, pada tanggal 9 Oktober, setidaknya 163 orang masyarakat (rata-rata pelajar dan anak muda) dicokok dan diamankan pihak kepolisian ke Mako Brimob di Padang Sarai.
“Mereka yang dicokok dan diperiksa tidak didampingi oleh orang tua dan tim penasihat hukum (PH). Berbagai dalih yang disampaikan oleh pihak kepolisian untuk menghalang-halangi orang tua atau PH untuk menemui pelajar dan anak-anak muda yang ditangkap, salah satunya adalah adanya larangan langsung dari Kapolda,” kata Feri Amsari, akademisi dari Fakultas Hukum Unand mewakili “Masyarakat Sipil Sumbar”.
Pola yang sama, kata dia, juga terjadi di berbagai lokasi lain di Indonesia, seperti Surabaya, Makassar dan Jawa Barat.
Persoalan lain dari yang menjadi masalah baru, menurut “Masyarakat Sipil Sumbar”, adalah pernyataan Kapolresta Padang di media lokal dan Brimob Sumbar melalui akun media sosial @brimob_sumbar yang menyatakan bahwa siswa STM menerima bayaran untuk melakukan aksi demonstrasi.
“Tuduhan ini merupakan persoalan serius yang perlu disikapi, karena aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, petani, pelajar dan masyarakat merupakan reaksi atas kebijakan Pemerintah Indonesia (Presiden dan DPR) yang masih saja membahas dan mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Padahal sedari awal telah diingatkan oleh publik untuk tidak dilanjutkan karena cacat secara hukum dan prosedural serta tidak pro pada kepentingan rakyat (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).”
Tuduhan-tuduhan pada remaja atau pelajar yang akan membuat rusuh karena dibayar tersebut tentu wajib dibuktikan oleh pihak Kepolisian.
“Apabila nantinya terbukti bahwa tidak ada masyarakat yang menyuarakan penolakan Omnibus Law yang membayar para pelajar yang diamankan tersebut, atau yang membayar adalah para penyusup, maka pihak kepolisian berkewajiban untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik,” tegas Feri.
Jangan sampai, lanjut dia, Kepolisian sebagai penegak keamanan malah terjebak membangun kontra opini dengan menyampaikan informasi-informasi yang menyesatkan.
Sementara itu, beberapa catatan yang dikumpulkan “Masyarakat Sipil Sumbar” terkait penangkapan sewenang-wenang penegak hukum dalam Aksi pada tanggal 8 dan 9 Oktober 2020 adalah:
Pertama, DRA, 15 tahun, kebetulan sedang magang di salah satu CV di dekat kantor DPRD sumbar, diminta untuk membeli rokok oleh pembimbing. Namun selang beberapa lama dia tak kunjung kembali dan ternyata sudah berada di Mako Brimob.
Kedua, GD, 14 tahun, korban dari rumah di Tabing jam 15.39 menuju bengkel ayahnya di Jalan Khatib Sulaiman untuk mengantar karbit, lalu ditunggu ayahnya, tetapi tidak sampai-sampai, ternyata sudah di Mako Brimob.
Ketiga, AA, 15 tahun, korban mau latihan bola di Brandon (di belakang Mal Basko), ketika lewat di DPRD Sumbar ternyata sudah tidak terlihat lagi, ternyata sudah di Mako Brimob.
Atas tindakan yang berujung pada munculnya kekerasan sesungguhnya mesti menjadi evaluasi diri bagi institusi Kepolisian yang selama ini justru mempertontonkan kesewenang-wenangan pengamanan massa aksi secara terang-terangan hingga memunculkan sentimen negatif dari peserta aksi pelajar. Oleh karena itu, polisi mesti mengupayakan pendekatan humanis dan kebijaksanaan untuk tidak terpancing emosi dalam penanganan tugas pengayoman terhadap kebebasan berpendapat.
Dalam situasi ini, “Masyarakat Sipil Sumbar” menyampaikan sikap yakni:
Pertama, aspirasi kaum muda dari pelajar mesti juga dilindungi oleh negara. Kepolisian mesti memprioritaskan kebijaksanaan dan kemanusiaan dalam pengawalan aksi yang juga diikuti pelajar. Penting bagi semua institusi kepolisian tidak melakukan stigma negatif dan menangkap semua pelajar yang ikut aksi. Perlu dipahami bahwa kehadiran pelajar didasari dari empati terhadap nasib bangsa.
Kedua, bagi orang tua pelajar agar menghargai aspirasi anak-anaknya dan selalu mengingatkan agar melakukan aksi-aksi damai.
Ketiga, Kepolisian mesti melakukan pengayoman terhadap semua peserta aksi tak terkecuali pelajar. Kepolisian mesti patuh dan konsisten menerapkan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 dan tidak menggunakan kekerasan.
Keempat, Siapapun harus menghargai kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum dan menghargai keberagaman sikap terhadap UU Omnibus.
Kelima meminta Ombudsman untuk melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan terhadap prosedur penangkapan yang patut diduga tidak sesuai dengan prosedur hukum. [pkt]