SUMATERA BARAT baru saja resmi mendapatkan penghargaan sebagai daerah wisata halal terbaik di dunia.
Predikat halal sejatinya memang pantas diberikan kepada daerah Ranah Minang ini, karena memang sangat sulit, bahkan tidak ada ditemukan tempat kuliner yang berlabel "haram".
Hal ini ditenggarai karena memang mayoritas penduduk Sumatera Barat adalah umat Islam, yang mengharamkan apa-apa yang haram.
Bahkan penduduk Sumatera Barat yang bukan beragama muslim pun tidak ada yang berjualan kuliner "haram", hal ini terjadi karena mereka menghormati umat muslim yang senantiasa mengonsumsi makanan halal. (halal dalam artian berasal dari hewan-hewan yang diharamkan, seperti babi, anjing, ular dan lain-lain).
Namun ada hal yang menjadi pesaing utama wisata halal itu di Sumatera Barat, terutama di Kota Padang. Pesaing itu adanya pada malam hari, dimulai dari tenggelamnya matahari sampai terbit fajar dan azan subuh berkumandang.
Bolehlah dikatakan pesaing wisata halal itu sebagai sebuah fenomena langka, bahkan mungkin satu-satunya di dunia.
Caranya yang unik dan menawan dapat mengalahkan fenomena sama yang ada di luar negeri.
Pesaing wisata halal itu adalah praktek pelacuran. Keberadaannya selalu beriringan dengan wisata halal yang ada di Kota Padang, bahkan mungkin dapat pula diberikan penghargaan wisata "haram" agar benar-benar mampu menyaingi keberadaan wisata halal.
Namun bak kata orang, beda padang, beda belalang, beda lubuk, beda pula ikannya. Begitulah kira-kira peribahasa yang dapat menggambarkan perbedaan praktek pelacuran di Kota Padang dengan daerah lain.
Caranya yang unik telah menjadikan praktek pelacuran di Kota Padang berbeda dengan daerah mana pun.
Harganya yang murah pun ikut memberikan sensasi atau warna pembeda yang membedakan keberadaannya antara yang ada di Kota Padang dengan daerah lain.
Kalau di daerah lain, praktek pelacuran itu biasanya berada di tempat-tempat tertentu dengan perempuan pekerja seks tersebut ‘mangkal’ sembari menunggu pelanggan. Mereka menunggu penawar yang akan menawari mereka kencan atau pun berhubungan layaknya suami istri.
Namun bak kata orang, beda padang, beda belalang, beda lubuk, beda pula ikannya. Begitulah kira-kira peribahasa yang dapat menggambarkan perbedaan praktek pelacuran di Kota Padang dengan daerah lain.
Bila di daerah lain PSK biasanya ‘mangkal’, maka di Kota Padang para pekerja seks ini keliling kota sembari menawarkan diri kepada para lelaki kesepian yang butuh hiburan. Mereka berkeliling dan menawarkan diri kepada siapa pun laki-laki yang kesepian, apalagi terhadap lelaki yang tengah duduk bermenung di pinggir jalan.
Bahkan proses tawar-menawar pun dapat terjadi di tengah jalan dalam keadaan mobil berjalan, hal ini terjadi karena mereka (para pekerja seks) tidak segan-segan mendekati dan menghampiri para pengendara yang sedang berkendara.
Malam hari, para pekerja seks itu keliling menggunakan mobil-mobil mewah di sekitaran Taman Melati dan daerah sekitar. Mereka dengan jeli memandang setiap orang yang melintas.
Kemudian yang menjadi hal pembeda antara pelacuran di Kota Padang dengan daerah lain adalah di jajalkan dengan harga yang murah.
Menurut salah seorang teman, untuk dapat memakai pekerja seks yang dijajalkan menggunakan mobil tersebut cukup dengan merogoh kocek sekitar Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu ditambah biaya untuk sewa hotel untuk sekali pakai.
Bahkan seorang pelanggan yang sudah menyepakati harga dengan PSK tersebut tidak perlu repot-repot untuk mencari tempat eksekusi, sebab hotel menjadi tanggung jawab mereka yang menjajalkan PSK tersebut, atau dengan kata lain tanggung jawab dari mucikari.
Kira-kira demikianlah gambaran mengenai saingan wisata halal di Sumatera Barat. Hal ini merupakan fenomena langka yang mungkin saja sengaja dibiarkan oleh Pemerintah Kota Padang, sebab sampai saat ini praktek pelacuran masih saja terjadi.
Bahkan keberadaannya sudah menjadi rahasia umum pula dan Pemerintah Kota Padang tidak pernah melakukan langkah kongkrit untuk memberantas praktek pelacuran tersebut.
Bahkan saat terjadi razia, lari dari pekerja seks ini jauh lebih cepat dari pada petugas yang melakukan razia. Hal ini terjadi karena kendaraan yang digunakan oleh PSK jauh lebih moderen.
Hendaknya, Pemerintah Kota Padang merumuskan solusi jitu untuk menyelesaikan masalah ini, bukan hanya sekedar razia dengan cara pacu lari antara petugas dengan para PSK.
Sebab masalah pelacuran di Kota Padang bukanlah masalah pelacuran biasa, oleh sebab itu, harus ditangani dengan cara yang tidak biasa pula.