Berita Payakumbuh terbaru dan Berita Sumbar terbaru: Payakumbuh “tempo doeloe”, berada di antara ulayat dua dari lima raja yang terdapat di Luak Limopuluah
Payakumbuh, Padangkita.com - Jauh sebelum menjadi sebuah kota administratif hasil pemekaran dari Kabupaten Limapuluh Kota, Payakumbuh “tempo doeloe”, berada di antara ulayat dua dari lima raja yang terdapat di Luak Limopuluah. Bagaimana ceritanya?
Pertemuan antara "Niniak Nan Batigo" atau Tiga Nenek Moyang dari Payakumbuh, dengan anggota rombongan kaum 50 dari Pariangan, Tanah Datar, yang diperkirakan berlangsung ratusan tahun silam di Tanjuang Himpun atau Tanjuang Alai, Nagari Aia Tabik, ternyata membawa hikmah besar bagi Payakumbuh. Setelah pertemuan itu, tidak hanya persaudaran yang tumbuh, tetapi Payakumbuh juga berkembang cepat.
Sejumlah kawasan di Payakumbuh “tempo doeloe”, seperti kawasan "Kumbuah Nan Payau" atau "Payau Nan Kumbuah", "Titian Aka", dan "Aia Tabik", berubah total dari dataran luas yang dipenuhi rawa-rawa, menjadi areal permukiman penduduk. Ini pernah ditulis oleh HC Israr, Ketua Panitia Peresmian Kota Madya pada Desember 1970 silam.
Menurut HC Israr, saat masih dihuni oleh "Niniak Nan Batigo" atau Tiga Nenek Moyang dan anggota rombongan kaum 50 dari Pariangan, wilayah Payakumbuh masih dataran luas. Lama kelamaan, dataran luas ini menjadi tempat permukiman manusia. Lalu, tempat permukiman itu berkembang menjadi "taratak" atau teratak (dusun kecil yang hanya terdiri atas beberapa rumah-KBBI).
Nah, taratak-taratak yang ada di Payakumbuh “tempo doloe” ini berkembang pula menjadi dusun. Dari dusun, menjadi koto. Dari koto, baru menjadi nagari. Ini sesuai dengan pola pembentukan nagari/desa di Minangkabau seperti ditulis Amir MS dalam buku "Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang" (1999), serta H Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu dalam buku "Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau (1984)".
Hanya saja, seperti ditulis Amir MS dan Idrus Hakimy, sebelum menjadi nagari, sebuah wilayah di Minangkabau mesti babalai-bamusajik (memiliki balai adat dan memiliki masjid). Kemudian, nagari itu juga mesti basosok-bajurami (punya area untuk peternakan dan pertanian), bapandam-bapakuburan (memiliki tempat pemakaman umum), dan batapian tampek mandi (bertepian tempat mandi).
Baca Juga: Menguak Misteri Asal Muasal Munculnya Nama Kota Payakumbuh dari “Payau Nan Kumbuah”
Adapun di Payakumbuh, menurut HC Israr, nagari yang mula-mula terbentuk itu adalah Koto Nan Godang, Koto Nan Ompek, dan disusul nagari lainnya. Namun, sesuai kisah "Tigo Niniak" di Payakumbuh yang bertemu dengan anggota rombongan 50 kaum dari Pariangan, diperkirakan, nagari yang paling awal dibentuk di Payakumbuh adalah Aia Tabik, Tiaka, dan Koto Nan Gadang. Disusul, Koto Nan Ompek, dan seterusnya.
Sementara pada tahun 2020 ini, jumlah nagari di Payakumbuh, sudah bertambah menjadi 10 nagari. Dengan rincian, Nagari Koto Nan Gadang, Nagari Koto Nan Ompek, Nagari Tiaka, Nagari Payobasuang, Nagari Aia Tabik, Nagari Limbukan, Nagari Aua Kuniang, Nagari Sungai Durian Lamposi, Nagari Parambahan Lamposi, dan Nagari Koto Panjang Lamposi.
Masuk Wilayah Luak Limopuluah
Kembali kepada sejarah Payakumbuh “tempo doeloe”, begitu wilayah "Kumbuah Nan Payau atau "Payau Nan Kumbuah", "Titian Aka" dan "Aia Tabik", sudah berkembang menjadi nagari, wilayah-wilayah lainnya di sekitaran Payakumbuh dan Limapuluh Kota pada saat itu juga telah berkembang pula menjadi nagari. Begitu pula dengan wilayah di Limo Koto, Kampar, Riau.
Kesatuan atau konfederasi dari nagari-nagari yang ada di di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, Sumbar, serta sebagian Kampar, Riau tersebut, kemudian dinamai sebagai wilayah Luak Limopuluah. Hal ini juga ditulis oleh mantan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Kamardi Rais Dt Panjang Simulie dalam catatan hariannya yang dinamai sebagai "Acta Diurna", dan Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu dalam buku "Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau” (1994).
Menurut Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, para pemuka adat dari nagari-nagari yang terdapat dalam wilayah Luak Limopuluah “tempo doeloe”, pernah menggelar pertemuan di Balai Koto Tinggi, Sitanang Muaro Lakin (sekarang Sitanang menjadi nagari dalam Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota). Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa Luhak Limopuluah terbagi atas lima ulayat.
Masing-masing ulayat dipimpin oleh seorang rajo atau raja yang hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Sebab itu pula, kelima ulayat yang terdapat di Luak Limopuluah ini disebut juga sebagai "Ulayat Limo Rajo" atau Ulayat Lima Raja.
Baca Juga: Kisah Rombongan 50 dan Tiga Orang Penghuni Pertama Kota Payakumbuh
Menurut Bahar Datuak Nagari Basa dalam buku "Tambo Minangkabau" (1966), "Ulayat Limo Rajo" di Luak Limopuluah itu terdiri dari Ulayat Rajo di Hulu yang berkedudukan di Situjuah Banda Dalam dan Ulayat Rajo di Luhak yang berkedudukan di Aia Tabik Minyak Selabu. Kemudian, Ulayat Rajo di Lareh yang berkedudukan di Sitanang Muaro Lakin, Ulayat Rajo di Ranah yang berkedudukan di Talago Gantiang, dan Ulayat Rajo di Sandi yang berkedudukan di Kumbuah Nan Payau atau sebagian juga menyebut di Koto Nan Godang.
Tiap-tiap ulayat ini dilengkapi pula dengan batas, barih balobeh (asal-usul) ulayat, serta orang-orang kebesarannya. Untuk Ulayat Rajo di Hulu, sebagai raja atau pemimpinnya ialah Datuk Simagayur Nan Mangiang (tapi sebagian ada juga yang menyebutnya Datuk Marajo Simagayur). Untuk Ulayat Rajo di Luhak sebagai rajanya ialah Datuk Majo Indo Nan Mamangun (sebagian menulisnya Datuak Rajo Indo nan Mamangun).
Kemudian, untuk Ulayat Rajo di Lareh, ditetapkan sebagai rajanya Datuk Paduko Marajo. Sedangkan untuk Ulayat Rajo di Ranah yang menjadi rajanya ialah Datuk Bandaro Hitam. Sementara untuk Ulayat Rajo di Sandi sebagai rajanya ialah Datuk Parmato Alam Nan Putiah. Kelima raja ini dikenal juga sebagai Rajo Mufakat Luak Limopuluah. Mereka juga disebut "Kapak Radai dan Timbang Pacahan" atau perangkat kerajaan Pagaruyuang.
Dalam melaksanakan tugas, kelima raja dibantu oleh lima "Kunci Pasak" yang biasa juga disebut sebagai "Ampang Nan Limo" atau Panglima (Panglima). Mereka adalah Datuk Munsaid (Munsoik) sebagai Pasak Jalujua, Datuk Rajo Dubalang sebagai Pasak Ampang Baramban Basa, Datuk Sinaro Garang sebagai Pasak Kunci Loyang, Datuak Marajo Indo sebagai Pasak Hulu atau Kungkuang Parangkok, dan Rajo Mangkuto sebagai Pasak Kunci Basi atau Ampang Panginang.
Tiap-tiap "Kunci Pasak" atau "Ampang Nan Limo" di Luak Limopuluah ini memiliki fungsi yang beragam. Pasak Ampang Baramban Basa, misalnya, bertugas menjaga agar tidak masuk orang salah rupa, bercawat tidak berbaju, berdeta usang, berkain senteng ke Luhak Limopuluah. Kemudian, Pasak Kunci Loyang bertugas mengantisipasi racun, pukau, dan sihir yang datang dari Kampar Kiri atau Kampar Kanan.
Sedangkan Pasak Hulu atau Kungkuang Parangkok, berjaga-jaga agar orang berkulit tebal dan tahan besi dari Rao Simalungun, tidak masuk ke Luhak Limopuluah. Lalu, Pasak Kunci Basi atau Ampang Panginang, memiliki tugas, mencegat para pengacau yang datang dari Mudiak (Mudik) atau Luar. Sementara, Pasak Jalujua tugasnya adalah menerima sudi-siasat, aturan adat, atapun titah dari Basa Ampek Balai dan Daulat Yang Dipertuan Rajo Alam Pagaruyuang, untuk kemudian disaring dan dikabarkan ulang.
Payakumbuh Antara Ulayat Dua Raja
Sejak pemuka adat dari nagari-nagari yang terdapat dalam wilayah Luak Limopuluah “tempo doeloe”, menggelar pertemuan di Balai Koto Tinggi, Sitanang Muaro Lakin, Lareh Sago Halaban, Limapuluh Kota, sejak itu pula, kawasan-kawasan yang ada di Kota Payakumbuh sekarang, berada dalam ulayat dua raja. Yakni, Ulayat Sandi atau Ulayat Rajo Di Sandi dan Ulayat Luhak atau Ulayat Rajo Di Luhak.
Lantas, dimanakah Ulayat Sandi dan Ulayat Luhak dalam kisah Payakumbuh “tempoe doeloe” itu? Menurut Datuk Nagari Basa, seorang filsuf asal Koto Nan Ompek Payakumbuh, yang dinamakan Sandi Sandi dalam Luhak Limopuluah ialah Balai Gadang di Kumbuan Nan payau, Balai Batimah di Titian Aka.
Kemudian, Datuk Nagari Basa menyebut, Sandi alam Luhak Limopuluah sebagai hubungan kata dari bumi, penyambut gayung dari langit. Sedangkan Ulayat Sandi itu terletak antara Nasi Rondam ke tengah, Padang Somuk ke tepi. Dari Muaro di wiliyah mudik (atau hulu), sampai ke Bukik Cik Kabau di wiliah hilir.
Sedangkan HC dalam beberapa karyanya menjelaskan, yang disebut dengan daerah Nasi Rondam itu adalah dekat rumah dinas Bupati Limapuluh Kota sekarang atau kawasan Labuah Basilang. Sedangkan Padang Somuk adanya di perbatasan Sungai Beringin (Limapuluh Kota) dan Koto Nan Ompek. Sementara Bukik Cik Kabau (Bukik Sikabau) berada di depan Ngalau Indah. Adapun Muaro adalah Kelurahan Muaro di Koto Nan Gadang.
"Jadi kalau dipahami, Ulayat Sandi sesuai dengan Barih Balobeh itu adalah Koto Nan Ompek, Koto Nan Godang, dan sebagaian dari Titian Aka," begitu pendapat HC Israr. Kecuali itu, HC Israr juga memaparkan tentang Barih Balobeh (Asal-Usul) Nagari Koto Nan Gadang.
Menurut HC Israr, yang dikatakan dengan Koto Nan Godang itu adalah dari Muaro Mudiak, Bukik Sikabau Hilia, Nasi Rondam ke tengah dan Padang Somuk ke tepi. Dengan demikian, wilayah Koto Nan Gadang, sama dengan Ulayat Sandi atau wilayah kekuasan Rajo Di Sandi.
Kenapa bisa demikian? Apakah dahulunya daerah Koto Nan Ompek sekarang termasuk Koto Nan Godang? Bisa jadi saja. Namun karena perkembangan penduduk dengan segala aspek budaya, terlahirlah suatu nagari baru sebagai pemekaran dari Koto Nan Godang. Kapan terjadinya pemekaran atau istilah "dikabuang" itu belum bisa diketahui secara pasti.
Meskipun demikian, sejumlah orang memperkirakan, terjadinya pemekaran Koto Nan Godang atau "dikabuang" alias "dipotong" itu menjelang Perang Paderi. Karenanya, banyak kesamaan budaya antara Koto Nan Godang dengan Koto Nan Ompek.Dua nagari ini bak pinang dibelah dua. Satu rancak, satu lagi santiang (pintar).
Lalu, mana pula yang disebut dengan Ulayat Luhak atau ulayat Rajo di Luhak? Menurut orang tua-tua dan barih balobeh Luhak Limopuluah, Ulayat Luhak itu terletak dari Mungo Mudiak sampai Limbukan Hilia. Diantaranya, terdapat dari Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Sikabu-kabu/Tanjuang Haro, Aua Kuniang, Tanjuang Pati, Gadih Angik, Limbukan, dan Limau Kapeh.
Saat ini, Ulayat Luak itu, sebagian berada di Kota Payakumbuh dan sebagian lainnya berada di wilayah Limapuluh Kota. Ini semakin menguatkan, bahwa Payakumbuh dan Limapuluh Kota, memang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Karena memang serumpun budaya. [pkt]