Banyak pertanyaan muncul di benak publik, siapa yang berpeluang menjadi gubernur Sumatra Barat ke depan? Bagi saya ini memang bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Karena masing-masing calon gubernur juga sudah melakukan sosialisasi sejak setahun terakhir dengan strategi yang beragam. Selain analisis kuantitatif yang sering dimunculkan oleh lembaga survei, maka prediksi suara seorang calon gubernur sebenarnya juga bisa dijelaskan dengan pendekatan kualitatif.
Saya akan coba menganalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif ini dengan melihat karakteristik masyarakat dan perilaku memilihnya, terutama di daerah yang menjadi basis pendukung loyalis calon gubernur tersebut. Oleh karena keterbatasan ruang kolom Padangkita ini, maka saya hanya fokus menganalisis calon gubernur saja.
Saya sadar suara calon wakil gubernur tentu juga akan bisa menambah perolehan suara dalam Pilkada 2020 ini. Walaupun begitu, keberadaan suara calon wakil gubernur ini tentu tidak sebanyak calon gubernur yang memang menjadi dasar bagi pemilih membuat pilihannya dalam Pilkada tersebut.
Basis Suara Cagub
Pertama, Nasrul Abit bisa disebut sebagai petahana dalam Pilkada ini. Karena dari segi posisi saat ini, Nasrul Abit masih menjabat sebagai wakil gubernur. Sebagai petahana Nasrul Abit memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh pasangan lain. Paling tidak, dari segi pengalaman, Nasrul Abit mengetahui fokus pembangunan seperti apa yang dibutuhkan masyarakat yang akan dituangkan ke dalam visi-misinya. Di tambah lagi dengan soliditas basis dukungan masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan kepada Nasrul Abit menjadi modal utama dalam Pilkada mendatang.
Mengacu pada data pemilih di Kabupaten Pesisir Selatan pada Pemilu 2019 adalah sebanyak 331 ribu orang dengan angka partisipasi sebesar 81 persen. Jika partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 mendatang di Pessel pada angka 70 persen saja, mengingat jumlah Pemilih pada Pilkada tahun 2015 hanya sekitar 65 persen, maka akan ada pemilih yang datang ke TPS sebanyak 231 ribu orang. Kalau pun ada penambahan data pemilih untuk Pilkada 2020 ini tentu tidak akan signifikan.
Baca juga: Peluang Poros Baru dalam Pilgub Sumbar
Dari 231 ribu pemilih ini saya asumsikan, dengan melihat karakteristik dan perilaku masyarakat Pesisir Selatan, paling tidak akan ada 70 persen yang memilih Nasrul Abit. Dengan demikian, Nasrul Abit akan bisa mendapatkan suara di daerah basisnya sebesar 162 ribu orang. Dan, hanya akan ada 30 persen suara pemilih di daerah ini diperebutkan oleh calon gubernur yang lain. Itu pun kalau memang diupayakan secara maksimal oleh calon yang lain. Kalau tidak jumlah 30 persen sisa pemilih ini tentu akan kembali ke Nasrul Abit.
Kedua, adalah Mulyadi yang memiliki basis di Agam dan Bukittinggi. Kabupaten Agam memiliki jumlah pemilih nomor dua terbanyak di Sumatra Barat sekitar 365 ribu orang berdasarkan data pemilih pada Pemilu 2019. Namun, sebagaimana diketahui calon gubernur di daerah Agam ini ternyata lebih dari satu orang sehingga memungkinkan terjadinya polarisasi suara di daerah ini. Satu hal yang perlu dipahami bahwa preferensi pemilih kepada calon gubernur akan berbeda dengan preferensi pemilih kepada calon legislatif dan ini akan mempengaruhi dukungan kepada Mulyadi.
Pemilih Agam pada Pemilu 2019 yang lalu sebanyak 365 ribu orang dengan angka partisipasi sebesar 71 persen. Sementara dalam Pilkada 2015 angka partisipasi masyarakat Agam hanya berada di angka 55 persen. Jika diasumsikan saja ada kenaikan partisipasi pemilih sebanyak 65 persen karena adanya calon dari daerah Agam di Pilkada 2020, maka pemilih yang akan datang ke TPS sebesar adalah 237 ribu orang.
Tentu tidak akan semua pemilih yang mendukung Mulyadi karena tingginya polarisasi pilihan masyarakat di daerah ini. Jika melihat perolehan suara Mulyadi pada Pileg 2019 sebesar 145 ribu dari 9 kabupaten/kota yang menjadi Dapil II, maka gambaran suara yang akan didapatkan didaerah ini tidak akan jauh berbeda untuk Pilkada 2020 mendatang. Paling tidak 50 persen suara pemilih di Agam akan berpihak kepada Mulyadi. Di tambah dengan suara pemilih di Kota Bukittinggi yang mencapai 81 ribu orang pada Pemilu 2019 yang lalu dengan angka partisipasi sebesar 74 persen.
Melihat angka partisipasi pada Pilkada 2015 hanya 61 persen, maka dapat diasumsikan angka partisipasi pemilih yang akan datang ke TPS sebanyak 70 persen. Dengan demikian, akan ada sebanyak 56 ribu orang pemilih di Kota Bukittinggi. Dari jumlah tersebut, jika diasumsikan akan ada sebanyak 50 persen pemilih di Bukittinggi memilih Mulyadi, maka akan ada tambahan suara kepada Mulyadi sebanyak 28 ribu. Dengan demikian, Mulyadi akan memiliki suara di basisnya minimal sebanyak 173 ribu orang.
Ketiga, adalah Mahyeldi Ansharullah yang lebih banyak berkiprah di Kota Padang sebagai wali kota ketimbang di daerah asalnya Agam. Tentu akan banyak yang menghubungkan bahwa basis suara sesungguhnya dari Mahyeldi adalah di Kota Bengkuang ini. Sebagai daerah yang memiliki pemilih terbanyak di Sumatra Barat, yakni sebanyak 552 ribu orang, ternyata partisipasi memilih masyarakat di Pilkada 2015 yang lalu cukup rendah hanya di angka 58 persen.
Sementara angka partipasi dalam Pilwako pada 2018 yang lalu sebesar 63 persen. Jika diasumsikan partisipasi pemilih pada Pilkada mendatang hanya sebesar 65 persen dengan euforia munculnya gubernur baru, maka akan ada 358 ribu orang yang akan datang memilih. Dari jumlah tersebut, melihat dari pembelahan sosial (social cleavage) dan politik yang cukup tinggi di Kota Padang, maka tidak semua pemilih yang akan menjatuhkan pilihannya pada Mahyeldi. Meskipun saat ini Mahyeldi sedang menjabat sebagai Walikota Padang.
Tingginya angka polarisasi preferensi pemilih di Kota Padang karena diperebutkan oleh banyak calon yang lain, maka dapat diasumsikan suara maksimal Mahyeldi di Kota Padang ini ada di angka 40 persen atau sekitar 143 ribu suara. Oleh karena itu, Kota Padang akan menjadi arena pertempuran yang akan diperebutkan oleh semua tim pemenangan calon kepala daerah. Menguasai Kota Padang dengan suara maksimal, akan memudahkan calon gubernur untuk memenangkan Pilkada 2020 ini.
Tentu apa yang saya hitung di atas adalah kalkulasi awal dari data sekunder yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Banyak faktor yang sebenarnya turut menentukan bagaimana individu memilih dalam Pilkada ini, termasuk kondisi Covid-19 yang akan mengurangi angka partisipasi pemilih dalam Pilkada ini.
Walaupun begitu, saya meyakini perhitungan suara dari berbagai metode memang perlu dilakukan oleh setiap calon baik secara kuantitatif, maupun kualitatif. Selain dari kalkulasi sederhana dengan melihat karakteristik dan perilaku pemilih ini tentu pendekatan lain seperti survei juga perlu dijadikan pedoman agar calon gubernur dapat menyusun strategi yang lebih efektif guna meningkatkan dukungan suara pemilih mereka. [*]
Asrinaldi A
Dosen Ilmu Politik Unand; Peneliti Spektrum Politika Institut