Payakumbuh, Padangkita.com - Kota Payakumbuh di Sumatra Barat (Sumbar) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 tentang Pembentukan 5 Daerah Otonom Kota Kecil dalam lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Kelimanya adalah Kota Pekanbaru (Riau), Sawahlunto, Padang Panjang, Solok dan Payakumbuh, Sumbar. Jika mengacu kepada UU itu, berarti usia Payakumbuh sudah lebih dari setengah abad. Namun, kenapa Payakumbuh baru berusia 50 tahun pada 2020 ini?
Pertanyaan itu kerap menjadi bahan diskusi bagi siapa saja yang peduli dengan sejarah dan perkembangan Kota Payakumbuh. Bahkan, seorang mantan pemimpin redaksi surat kabar besar di Sumatra Barat yang kini mengelola media daring, sempat beberapa kali menanyakan hal itu kepada sejumlah penulis buku sejarah Kota Payakumbuh. Termasuk di antaranya Fajar Rillah Vesky dan Rendra Trisnadi.
"Iya, banyak yang bertanya kepada kami, kenapa pada tahun 2020 ini, usia Kota Payakumbuh baru disebut 50 tahun. Bukankah, Undang-Undang Pembentukan Payakumbuh sudah ada sejak 1956. Pertanyaan-pertanyaan ini, sebenarnya dapat dijelaskan," kata Rendra Trisnadi kepada Padangkita.com, Senin (14/12/2020).
Rendra memang benar, dalam buku "40 Tahun Kota Payakumbuh: Dari Soetan Oesman Hingga Josrizal Zain" yang ditulis Rendra Trisnadi bersama Fajar Rillah Vesky, dan buku "45 Tahun Kota Payakumbuh: Tumbuh Kembang Sebuah Kota" yang ditulis Fajar Rillah Vesky bersama Gus tf Sakai, serta buku "25 Tahun Kota Payakumbuh" yang ditulis HC Isar, pertanyaan kenapa Payakumbuh baru berusia 50 tahun pada 2020 ini, dapat terjawab dengan jelas.
"Panjang sejarahnya," kata Rendra.
Payakumbuh Digagas Sejak 1950
Tujuh puluh tahun lalu, pada Jumat terakhir bulan Juli, Bupati Kabupaten Limapuluh Kota, Darwis Datuak Tumangguang berembuk dengan tokoh-tokoh masyarakat Nagari Koto Nan Godang dan Nagari Koto Nan Ompek, antara lain Nazar Rauf, Zainuddin Hamidy, Hakim Datuak Bandaro Hitam, Biran Marajo Alam, Datuak Marajo Adia, Syamsul Yahya, Nur Basyar Datuak Mamangun Nan Hitam, Anwar Datuak Majo Bosa Nan Kuniang, dan Bachtiar Datuak Pado Panghulu. Musyawarah yang berlangsung di Perguruan Mahad Islamy tanggal 28 Juli 1950 dan kemudian dilanjutkan tanggal 16 September 1950 di Sekolah Muhammadiyah Bunian itu akhirnya melahirkan kata sepakat tentang pembentukan Kota Kecil Payakumbuh.
Darwis Datuak Tumangguang adalah orang ketujuh yang memimpin Luhak Limopuluah Koto. Enam orang sebelumnya adalah Arisun Soetan Alamsyah, Alifudin Saldin, BA Murad, dr Adnan WD, Syafiri Soetan Pangeran, dan Sa'alah Yusuf Soetan Mangkuto. Begitu dilantik menggantikan Sa'alah Yusuf Soetan Mangkuto pada bulan Maret 1950, Darwis Datuak Tumangguang berusaha memulihkan kondisi yang baru saja porak-poranda oleh Agresi II Belanda. Tokoh kelahiran Taram, Kecamatan Harau, itu mencoba melanjutkan rencana yang pernah dibuat oleh Sa'alah Yusuf Soetan Mangkuto, yakni merancang konsep pembentukan wilayah.
Mula-mula Darwis Datuak Tumangguang merancang pembentukan wilayah berdasar kecamatan yang sudah ada, sama dengan ide zaman kepemimpinan Sa'alah Yusuf Mangkuto. Selanjutnya, ide itu ditambah dengan membentuk satu wilayah istimewa atau disebut Wilayah Teritorium Kabupaten 50 Kota. Rencananya, Wilayah Teritorium ini terdiri dari nagari-nagari yang ada dalam Kota Payakumbuh sekarang, seperti Koto Nan Godang dan Koto Nan Ompek. Tetapi, ibarat menaiki sebuah sampan, gayung pembentukan Wilayah Teritorium oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota belum disambut baik. Dalam arti kata, masyarakat dari nagari-nagari yang ada di dalam kota Payakumbuh justru tidak terlalu mendukung. Sebaliknya, mereka justru mengusulkan agar Payakumbuh tidak menjadi Wilayah Istimewa dari Luhak Limopuluah Koto, melainkan diciptakan sebagai Kota Kecil Otonom sebagaimana dimungkinkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Walau saat itu istilah demokrasi belum sepopuler sekarang, namun Pemerintah Luhak Limopuluah Koto cukup kooperatif dengan saran masyarakat. Bagian desentralisasi pada Kantor Bupati langsung ditugaskan melakukan peninjauan ke nagari-nagari. Hasil peninjauan itu menyimpulkan bahwa, tuntutan untuk menjadikan Payakumbuh sebagai kota kecil murni aspirasi masyarakat.
Dengan kesimpulan itu, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Limopuluah Koto, melalui Sidang Pleno tanggal 27 April sampai 2 Mei 1950, memutuskan setuju membentuk Kota Kecil Payakumbuh. Maka, di bawah kepemimpinan Darwis Datuak Tumangguang, akhirnya, digelarlah rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat dari Nagari Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang. Rapat yang berlangsung alot, dan karenanya harus dilakukan dua kali di dua tempat, inilah yang kita baca di bagian awal. Dan hasilnya, seperti kemudian kita tahu, adalah kesepakatan tentang pembentukan Kota Kecil Payakumbuh.
Sempat Tertunda Selama 20 Tahun
Walau sudah sepakat tentang pembentukan Kota Kecil Payakumbuh, bukan berarti Pemerintah Kabupaten 50 Kota dan tokoh nagari-nagari tidak punya perbedaan pendapat. Dalam menentukan mana kawasan yang menjadi kota, sempat terjadi perselisihan pandangan antara kedua belah pihak. Pada satu sisi, Pemerintah Kabupaten 50 Kota menghendaki daerah yang dijadikan kota itu adalah daerah sekitar pasar. Kalau digambarkan dengan kondisi sekarang, Pemerintah Kabupaten 50 Kota hanya ingin Kota Kecil Payakumbuh berada antara Simpang Benteng sampai Simpang Telkom dan Bunian sampai Ibuh.
Sementara pada sisi lain, anak nagari Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang berpendapat, bila usulan pemerintah itu diterima berarti kedua nagari terpotong-potong. Kalau Koto Nan Ompek terpotong dan Koto Nan Godang terbelah, tentu kesatuan hukum adat juga ikut-ikutan retak. Makanya, tokoh-tokoh masyarakat dari Nagari Koto Nan Ompek dan Nagari Koto Nan Godang bersikukuh agar daerah mereka masuk secara utuh dalam wilayah Kota Kecil Payakumbuh.
Pendapat tokoh-tokoh nagari Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang itulah yang kemudian diterima. Dengan ikhlas, Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota lalu menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Kota Kecil Payakumbuh yang otonom. Dan, dalam sidang pleno III DPRK tanggal 23 Oktober 1950, Ranperda yang terdiri dari lima bab itu akhirnya secara aklamasi ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Limapuluh Kota Nomor 8/BLK/P-50. Inilah Perda pertama yang menyebut tentang Payakumbuh.
Walau sudah ada Perda, Payakumbuh tentu belum bisa langsung menjadi sebuah kota karena harus menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Baru pada tahun 1956 turun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 tentang Pembentukan 5 Daerah Otonom Kota Kecil dalam lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Kelimanya adalah Pekanbaru, Sawahlunto, Padangpanjang, Solok, dan Payakumbuh. Harian Penerangan yang terbit di Padang dalam edisi Nomor 205, Jumat, 13 April 1956, memuat secara lengkap undang-undang tersebut sehingga masyarakat Sumatra Tengah bisa membaca dan mengetahuinya secara luas.
Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 ini juga tak membuat Payakumbuh langsung menjadi sebuah kota kecil. Sebab dalam undang-undang yang terdiri dari lima bab dan 18 pasal itu dinyatakan, bahwa Payakumbuh dan Solok harus menunggu terlebih dahulu Peraturan Menteri tentang batas daerah. Adapun peraturan tentang batas kota dari Menteri Dalam Negeri baru bisa dilahirkan apabila Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dan Provinsi Sumatra Tengah sudah menyampaikan bahan-bahan usulan.
Bahan-bahan usulan inilah yang sedikit sulit dihadirkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Tengah dan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. Hal ini terjadi karena munculnya berbagai dinamika. Mulai dari terjadinya perebutan Pasar Serikat, belum tuntasnya masalah batas, sampai munculnya berbagai undang-undang baru yang terkesan tumpang tindih.
Akibat kendala-kendala tersebut, sampai tahun 1957 Kota Kecil Payakumbuh belum juga lahir. Kendati demikian, semangat masyarakat untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 tentang pembentukan lima kota masih menggebu. Dalam semangat yang begitu menggebu, tahu-tahu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) meletus di Sumatra Tengah pada tahun 1958.
Walau tujuan PRRI bukanlah menuntut pembebasan dari Indonesia, melainkan mendesak otonomi yang luas kepada pemerintah pusat, tetapi stabilitas daerah benar-benar terguncang. Apalagi banyak di antara warga Payakumbuh terlibat dalam konflik perang saudara tersebut. Akibatnya, sampai tahun 1963, realisasi Kota Kecil Payakumbuh masih seperti menggantang asap dan mengukir langit, sangat sulit untuk diwujudkan.
Barulah pada tahun 1964, Gubernur Sumbar Khairuddin Datuak Rangkayo Basa, meninjau kembali rencana pembentukan Kota Payakumbuh dan Kota Solok. Peninjauan dari gubernur ini ternyata tidak sia-sia. Pada tahun 1965, Pemerintah Pusat melahirkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Panitia Realiasi Kotamadya Payakumbuh pun terbentuk. Panitia dipimpin Marius Datuak Bandaro, dibantu anggota Amarullah Nur, Abizar, Ahmad Samad BA, Peltu M Yusuf St Sati, Inspektur II M Nusi, Syahrial Soetan Mangkudun, Nursian M BA, Ranuli Ismail, dan Aiptu I Syies Jamrud.
Sayang sekali, belum lama dibentuk, Panitia Realiasi Kotamadya Payakumbuh gagal melakukan tugasnya lantaran diterpa isu terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya, sampai tahun 1969, lagi-lagi upaya menjadikan Payakumbuh sebagai kota kecil belum terwujud. Meski begitu, ada beberapa perkembangan yang menarik, seperti munculnya keinginan masyarakat Nagari Aia Tobik, Limbukan, dan Lamposi untuk bergabung dengan Payakumbuh. Dengan demikian, sudah tujuh nagari yang berkeinginan membentuk kota kecil. Empat nagari lainnya adalah Koto Nan Ompek, Koto Nan Godang, Payobasuang, dan Tiaka.
Memasuki awal tahun 1969 atau selepas pemberontakan PKI, pembicaraan tentang pembentukan Payakumbuh kembali menghangat. Apalagi pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR-DPR dan DPRD. Setahun kemudian, muncul pula Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1970 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa jumlah anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang dipilih untuk Daerah Pemilihan/Daerah tingkat I Sumbar adalah sebanyak 14 orang. Sedangkan Sumatra Barat waktu itu baru punya 8 kabupaten dan 4 kotamadya. Artinya, menjelang Pemilu 1971 berlangsung, harus dibentuk dua kota lain yakni Payakumbuh dan Solok.
Dengan adanya peraturan tersebut, semangat warga di Luhak Limopuluah untuk menjadikan Payakumbuh sebagai sebuah kota akhirnya kembali menggelora. Ini ditandai dengan terbentuknya Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Barat tanggal 8 Juli 1970 Nomor 95/GSB/70 dan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten 50 Kota tanggal 1 Agustus 1970 Nomor 16/Blk 70.
Batas Awal Payakumbuh dan Limapuluh Kota
Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh ini dipimpin oleh HC Israr. Dalam tugasnya, HC Israr dibantu dua wakil ketua, dua sekretaris, dan 18 anggota. Sebagai wakil ketua adalah Buchari Kamil dan Mansur Surin BA. Sebagai sekretaris Syahrudin dan Sahar Ismail Datuak Kakamo. Sedangkan para anggotanya adalah Marius Datuak Bandaro, Syahrial S Datuak Mangkudun, AKP M Nusi, Ipda Syies Jamrud, Amrullah Nur, H Ramli Datuak Paduko Marajo, Agus Marahi, D Datuak Rajo Malano, Nur Basyar Datuak Mamangun Nan Hitam, Busri AN Datuak Bandaro, AM Datuak Majo Bosa, N Datuak Sati Nan Balapiah, Ja'far Sidik BA, Buchari Idris, AH Datuak Rajo Indo Angso Nan Ratiah, Lettu Usman Saat, dan Saidan Datuak Rajo Sulaiman.
Setelah resmi dibentuk, Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh pun mulai melaksanakan berbagai tugas. Utamanya tugas yang berkaitan dengan menginventaris data tujuh nagari, sumber keuangan, batas kota, dan gedung-gedung yang dibutuhkan untuk sarana pendukung pemerintah. Terkait gedung, panitia mendapatkan gedung yang cukup representatif untuk Balaikota. Gedung itu berada di Jalan H Agus Salim (sekarang Jalan Soetan Oesman), milik warga keturunan Wiliam Hakim. Sedangkan soal sumber keuangan Payakumbuh untuk tahun pertama diperkirakan minimal Rp12 juta.
Untuk batas Kotamadya Payakumbuh, Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh pada tanggal 12 November 1970 menggelar musyawarah di Kantor Bupati 50 Kota. Dalam musyawarah diperoleh kata sepakat tentang pembentukan 6 titik batas kota. Titik pertama adalah batas jalan jurusan Piladang di Aia Togang atau Kijang Dapek (sekitar 6,7 kilometer dari Payakumbuh). Titik kedua, batas jalan jurusan Tanjuangpati di Padang Gontiang (5,7 kilometer dari pusat kota). Titik ketiga, batas jalan jurusan Suliki di sebelah utara jembatan Lamposi (4,1 kilometer dari pusat kota). Titik keempat, batas jalan jurusan Taram di Tunggua Jua, sebelah Timur jembatan Sikali (6,5 kilometer dari pusat kota). Titik kelima, batas jalan jurusan Batang Tobik di Kincia Cino atau Kubu Kacang (5 kilometer dari pusat kota). Dan titik keenam adalah batas jalan jurusan Situjuah di Limau Kapeh (6,5 kilometer dari pusat kota).
Setelah 6 titik batas Kotamadya Payakumbuh itu disepakati, panitia bersama peserta rapat langsung memasang tanda batas. Beberapa hari setelah tanda batas dipasang, muncul surat protes dari masyarakat Tigo Aua Piladang atau Koto Tongah Batuampa. Mereka meminta agar batas kota jurusan Piladang dimundurkan 1 kilometer ke pusat kota, yaitu sekitar 200 meter dari Kandang Babi atau jembatan Bawah Burai. Untung aksi protes warga Piladang ini dapat diredakan dengan bijaksana oleh Bupati 50 Kota A Syahdin. Bupati memutuskan membuat batas kota Payakumbuh jurusan Piladang antara kawasan Aia Tagonang dengan batas yang dituntut warga. Dengan demikian, masalah dapat diselesaikan.
Selesai menetapkan batas kota, menyusun data 7 nagari yang akan bergabung ke dalam kota serta menginventaris bangunan buat sarana pemerintahan dan rumah walikota, Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh melapor kepada Bupati 50 Kota, Gubernur Sumatra Barat serta Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya, pada tanggal 21 September 1970, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Kementerian Dalam Negeri menetapkan konsep realisasi pembentukan Kotamadya Solok dan Kotamadya Payakumbuh. Dalam konsep tersebut ditegaskan bahwa kedua kota untuk sementara menyandang status peralihan hak. Jika DPRD hasil Pemilu 1971 sudah terbentuk, maka statusnya disempurnakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Berkaitan dengan keuangan Kotamadya Payakumbuh, disepakati masih bergantung pada Kabupaten Limapuluh Kota selama tahun anggaran berjalan. Apabila ada biaya yang tidak disediakan kabupaten, maka menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi. Selanjutnya, Departemen Dalam Negeri memberi bantuan uang sebesar Rp2,5 juta untuk pengadaan perlengkapan pertama. Setelah semua tetek-bengek keuangan diselesaikan, tugas Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh dinyatakan berakhir. Selanjutnya dibentuklah Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh
Payakumbuh Diresmikan 17 Desember 1970
Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh dipimpin oleh Ketua Umum Bupati 50 Kota A Syahdin dengan Wakil Ketua Umum Bukhari Kamil (Wakil Ketua DPRD Gotong Royong Limapuluh Kota), Ketua Pelaksana I Syafril Ahmad SH (staf kantor bupati), Ketua Pelaksana II A Morel Hamid Datuak Rajo Indo Anso Nan Ratiah (tokoh masyarakat Nagari Koto Nan Ompek), dan Ketua Pelaksana III Agus Marahi (Wali Nagari Payobasuang). Sedangkan, Sekretaris Umum Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh dipercayakan kepada Syahruddin (Camat Luhak), Sekretaris I Harzi Zein (staf kantor bupati), Sekretaris II Sahar Ismail Datuak Kakomo (staf kantor bupati), dan Sekretaris III Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie (LKAAM). Sementara Bendahara dipercayakan kepada Syamsir Alim yang saat itu merupakan pimpinan BNI 1946 Payakumbuh.
Baca Juga: Asal Usul Galamai, Makanan Khas Payakumbuh yang Kaya Filosofi
Begitu selesai dibentuk, Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh langsung bekerja mempersiapkan peresmian. Acara peresmian berpusat di Kantor Balaikota Payakumbuh Jalan Haji Agus Salim. Menurut HC Israr dan Sahar Ismail Datuak Kakamo, acara peresmian Kotamadya Payakumbuh berlangsung sangat meriah. Dihadiri Menteri Dalam Negeri Amir Machmud yang dikenal sebagai ”bolduzer politik” rezim Orde Baru. Saat peresmian digelar, perwakilan niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang menyuguhkan sebuah maket berbentuk rumah gadang kepada Amir Machmud. Maket itu ditutup layar sutera biru. Di depannya terletak sepiring galamai (makanan khas Payakumbuh) dengan sebilah pisau.
Mendagri Amir Machmud dipersilakan mengiris galamai. Ketika diiris, putuslah benang yang ada di dalam galamai, terbukalah selubung layar rumah gadang. Setelah layar terbuka, muncul tulisan ”Kotamadya Payakumbuh”. Bersamaan dengan itu, meriam pusaka lelo majenun berdentum keras. Bunyinya seakan memberi kabar bagi anak nagari, bahwa Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sudah dipersilakan memasuki daerah Kotamadya Payakumbuh. Juga pertanda Sang Menteri telah meresmikan sebuah kota baru di Indonesia. [pkt]
Baca berita Payakumbuh terbaru dan berita Sumbar terbaru hanya di Padangkita.com.