Padangkita.com - Tahukan anda, bahwa kaum perempuan di Sumatera Barat pernah mengusulkan dan mendukung poligami. Hal tersebut disampaikan pada kongres Aisyah pada tahun 1930 yang dilaksankan di Bukittinggi. Hal tersebut melahirkan pro dan kontra dari berbagai pihak kala itu.
Tujuan dukungan tersebut agar kaum pria tidak melakukan selingkuh dan ketakutan akan peningkatan anak yang lahir diluar nikah semakin tinggi.
Baca juga:
Kisah Masa Kecil Megawati Tentang 2 Tokoh Minang, Begini Ceritanya
Lagu Minang Bercita Rasa PRRI
Menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden Belanda, Suryadi Sunuri mengatakan data tersebut berdasarkan laporan dari majalah Pembela Islam yang terbit di Bandung, Jawa Barat pada April 1930.
Dari laporan tersebut tertulis
“Congres Aisjiah Fort de Kock. Motie kaoem iboe. (Polygamie)
Menoeroet warta Aneta, Congres Aisjiah [itoe] dikoendjoengi oleh koerang lebih 4000 perempoean. Congres menjatakan Anti karena penghapoesan polygamie, takoet nanti kelahiran anak-anak [di] loear pernikahan mendjadi bertambah adanja.
Boleh tjatet! (Fadjar Asia.)
Maksoednja: bahwa congres Aisjiah anti kepada gerakan jang menghapoeskan polygamie.”
Kongres ini menurut Suryadi merupakan bagian dari perhelatan besar (kongres) Muhammadiyah yang diadakan di kota yang sama (Bukittinggi) pada 24-26 Maret 1930, yang tercatat sebagai Kongres Muhammadiyah pertama yang diadakan di luar Jawa.
Menurut Suryadi, yang menarik dari laporan di atas adalah bahwa kaum perempuan yang tergabung dalam organisasi Aisyiyah (ejaan lama: Aisjiah) ternyata mendukung poligami.
"Mereka dengan tegas menolak gerakan anti poligami yang mulai marak ketika itu," katanya.
Alasannya menurut Suryadi adalah kaum perempuan tersebut khawatir bahwa gerakan monogami akan mendorong terjadinya perselingkuhan di kalangan lelaki. Selain itu, mereka juga takut kelahiran anak-anak di luar pernikahan semakin bertambah banyak.
Suryadi menjelaskan, laporan ini memberi gambaran bahwa tarik-menarik dan persilangan pendapat antara yang pro poligami dan yang anti sudah sejak dulu terjadi dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Persilangan pendapat ini sampai batas tertentu mungkin merefleksikan pertentangan dua kubu yang beraliran sekuler dan modern dengan yang beraliran konservatif berdasarkan Islam.