MARAKNYA Peraturan Daerah (Perda) Intoleran pada era otonomi daerah merupakan ancaman bagi keberagaman dan mempertegang hubungan antara pusat dan daerah. Padahal, pemerintah terus mengingatkan daerah agar mencabut Perda intoleran, sebaliknya daerah berdalih bahwa Perda tersebut merupakan wujud dari kekhususan dan akomodasi nilai-nilai kearifan lokal.
Pada saat meluncurkan Paket Reformasi Hukum Jilid II Pemerintah telah membatalkan 3.143 Perda. Sayangnya, dari Perda yang dibatalkan, sebagian besar didominasi oleh Perda yang berkaitan dengan perizinan dan investasi dan belum menyentuh Perda intoleran (Kompas, 27/30).
Jika dibaca rumusan konstitusi maka kemunculan Perda intoleran merupakan implikasi dari pengakuan kondisi khusus masing-masing daerah. Kekhususan dimaksud sejalan dengan semangat UUD NRI tahun 1945 yang menganut konsep desentralisasi asimetris dimana negara mengakui keberagaman dalam otonomi daerah.
Desain konstitusi menghendaki kompromi atas keragaman dan keberagaman.
Keberagaman daerah dapat dilihat pada kekhususannya dalam bentuk satuan pemerintahan; tata cara pemilihan kepala daerah; hubungan wewenang antara pusat dan daerah; hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat; hubungan keuangan; pelayanan umum; pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Dalam bingkai NKRI, pengakuan atas keberagaman dalam bentuk Perda yang bermuatan khusus seolah berbenturan dengan konsep negara kesatuan. Padahal, desain konstitusi menghendaki kompromi atas keragaman dan keberagaman. Meniadakan sama sekali materi muatan tentang keadaan khusus daerah jelas inkonstitusional.
Segala bentuk kekhususan daerah yang diakui oleh konstitusi diimplementasikan oleh daerah sebagai kewenangan berdasarkan hak asal usul dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembatuan. Secara konstitusional wewenang tersebut menurut Pasal 18 Ayat (6) UUD NRI tahun 1945 dapat diatur dalam bentuk Perda.
Dalam konteks kebhinekaan, di luar daerah dengan status khusus dan istimewa, konstitusi tetap memberikan jaminan dan pengakuan atas kekhususan daerah. Selain hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat pada Pasal 18A Ayat (1) dinyatakan : “ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Guna mencegah munculnya Perda intoleran maka diperlukan batasan-batasan normatif melalui undang-undang dengan indikator yang jelas dan mekanisme kontrol yang tegas.
Lebih lanjut, lingkup muatan Perda tertuang dalam Pasal 236 UU 23/2014 ditujukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan dan penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari hasil evaluasi berbagai pihak, keadaan khusus daerah dalam aspek sosio kultural seringkali berhimpitan dengan keyakinan keagamaan mayoritas penduduk. Pada titik ini tidaklah mudah untuk memisahkan kedua hal dimaksud. Daerah berdalih Perda yang terkategori intoleran sebenarnya ditujukan untuk menampung kondisi khusus. Kenyatannya Perda dimaksud malah diskriminatif secara substansi dan intimidatif pada saat implementasi.
Keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus daerah dalam bingkai keberagaman dapat dipahami sebagai upaya menghadirkan kekhususan masing-masing. Persoalannya lebih pada pengaturan yang seringkali kebablasan. Guna mencegah munculnya Perda intoleran maka diperlukan batasan-batasan normatif melalui undang-undang dengan indikator yang jelas dan mekanisme kontrol yang tegas.
Pasal 250 UU 23/2014, telah tegas melarang Perda dan Perkada bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Khusus menyangkut kepentingan umum, Perda tidak boleh mengganggu kerukunan antarwarga masyarakat; mengganggu akses terhadap pelayanan publik; mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; mengganggu kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan gender.
Pasal a quo tegas mengakui kondisi khusus daerah sebagai materi muatan yang dapat diatur namun tetap dalam bingkai toleransi. Idealnya, konflik hukum dapat dihindari manakala daerah patuh dan pemerintah tegas. Pilihannya lebih pada membatalkan Perda tanpa keragu-raguan atau membiarkan intoleransi terus berlangsung.
Atas nama hukum, yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan hukum bagi Perda yang terkategori intoleran. Secara yuridis konstitusional, pasca keluarnya putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang membatalkan Pasal 251 UU 23/2014 hanya terdapat pilihan berupa judicial review ke Mahkamah Agung.
Praktik executive review sebelum Putusan MK a quo sebenarnya sangat tegas dipraktikan oleh pemerintah. Sayangnya seringkali memunculkan penolakan daerah akibat ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan argumentasi obyektif perihal pembatalan. Bahkan terdapat Perda yang sebelumnya telah melalui mekanisme harmonisasi dan sinkronisasi ke Kementrian terkait ikut dibatalkan. Ketika dipertanyakan oleh daerah tentang dasar pembatalan Perda, Pemerintah justru saling lempar tanggung jawab.
Pemerintah tidak perlu lagi menempuh jalur pembatalan yang kontroversial dan pemubaziran uang negara akibat dibatalkannya Perda intoleran dapat dicegah.
Kegamangan Pemerintah dalam membatalkan Perda Intoleran lebih pada ketakutan dilabel represif. Akhirnya, lebih baik menempuh jalan damai dengan membiarkan saja keberlakuan Perda dimaksud. Hitungan atas risiko politik membatalkan Perda intoleran lebih menonjol dibandingkan dengan aspek hukum. Padahal, UU 12/2011 membuka ruang yang cukup berimbang bagi pemerintah dan daerah. Jika pemerintah Daerah tidak menerima pembatalan, maka dapat diajukan keberatan ke MA.
Dengan dicabutnya kewenangan Mendagri dalam membatalkan Perda Kabupaten/Kota maka pintu konstitusional yang tersedia hanyalah pengujian di Mahkamah Agung. Sudah saatnya masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk melakukan uji materil ke MA. Dengan prinsip imparsial dan independensi kekuasaan peradilan, MA diharapkan dapat menilai secara jernih dan obyektif materi muatan Perda Intoleran.
Melanjutkan Paket Reformasi Hukum Jilid II dalam penataan regulasi, maka sudah sepatutnya polemik Perda intoleran prioritas untuk diselesaikan. Untuk tidak memperhadapkan daerah dengan Pemerintah maka langkah uji materil ke MA menjadi satu-satunya jalan pasca putusan MK. Pada tahap berikutnya guna mencegah munculnya Perda sejenis di masa yang akan datang, sudah sepatutnya Pemerintah mengoptimalkan upaya preventif melalui mekanisme konsultasi, fasilitasi dan evaluasi.
Berdasarkan UU No. 12/2011, UU 23/2014, Pepres 87/2014 dan Permendagri 80/2015, ketiga upaya preventif dimaksud dapat dilakukan sejak tahap perencanaan sampai dengan pengundangan. Pada akhirnya Pemerintah tidak perlu lagi menempuh jalur pembatalan yang kontroversial dan pemubaziran uang negara akibat dibatalkannya Perda intoleran dapat dicegah.
*Penulis merupakan Dosen Perundang-undangan dan Peneliti Pusat Studi Kosntitusi (PUSaKO) FH Univ Andalas