Bung Karno pernah berkata “Bila umat islam menginginkan peraturan sesuai dengan syariat islam, maka rebutlah DPR. Bila umat kristen menginginkan pemerintahan sesuai dengan ajaran cinta kasih Kristen, maka rebutlah DPR, begitu juga kepada umat-umat yang lain”
PERHELATAN politik ternyata sudah jauh dari koridor kontestasi positif, semua bisa berkata “politik Indonesia sekarang sudah rusak”. Hanya karena persoalan tidak tahu diri menjaga ucapan. Pejabat atau elit politik seenak hati berkoar-koar di hadapan publik. Tidak cukup disitu, elit politik bahkan tidak segan-segan bermain lidah meramu kalimat yang tidak mendidik bagi telinga rakyat.
Memang pascareformasi, elit politik bak pemain sinetron yang bisa menangis dan tertawa sesuka hati. Mereka pandai mengolah kata dan bertukar wajah demi kepentingan. Dikala suara rakyat menggema, elit politik tidak tahu malu menyatakan keberpihakan. Di waktu lain, mereka membuat kebijakan dengan menutup mata terhadap penderitaan rakyat.
Pascakeberhasilan Presiden Jokowi mengubah wajah politik dukungan Senayan kepada pemerintah. Politik elit Indonesia mencari mainan baru untuk membuat sampah informasi bertebaran di media sosial memaksa masuk ke ruang-ruang kepala rakyat. Bau busuk tingkah pola elit merasuki rakyat hingga kita bagaikan orang kesurupan. Kita sudah terbiasa berkata-kata tidak jelas makna dan tujuan karena kesurupan hantu politik.
Sekarang, ujian kepada rakyat bertambah. Pilkada Serentak jilid II lebih menguji rakyat daripada Pilkada Serentak Jilid I yang telah usai di tahun 2015. Semua dimulai dari ketidakwarasan elit politik yang memaksa kuasa politiknya kepada penyelenggara pilkada. Hingga rakyat hanya bisa membantin dengan sumpah serapah tanpa kuasa perlawanan. Karena memang regulasi kepemiluan tidak mengakomodasi perlawanan rakyat dalam pasal-pasal buatan elit politik.
Keruwetan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 menambah ketidakmaluan elit politik kepada rakyat. Hal ini ditandai dengan deretan fakta tak terbantahkan oleh siapa pun, kalau kita semua berniat jujur melihat dagelan politik bangsa. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan keikutsertaan Jakarta dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Jilid II.
Fakta Menyedihkan
Pertama, elit politik Jakarta beramai-ramai melawan Ahok di media karena arogansinya memimpin Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Eh bukannya mempertegas jalur politik, elit partai malah memutar haluan dengan mendukung Ahok. Begitu juga sang petahana, dengan lantang berniat maju tanpa bantuan dukungan partai. Demi menegaskan bahwa calon perseorangan bisa memenangkan pesta demokrasi tanpa partai. Di detik-detik akhir pendaftaran malah membawa sekumpulan partai pendukung.
Kedua, elit politik pun tidak peduli dengan keharusan mengutamakan kader partai. Semua calon gubernur untuk DKI Jakarta bukanlah kader partai. Betapa pelik ketidakmaluan elit partai, rakyat dipaksa menerima bahwa pengorbanan dan perjuangan kader tidak bernilai dimata kuasa petinggi partai. Satu koalisi mendukung orang yang sering memaki dan memahari kadernya. Satu koalisi mendukung tim sukses pasangan yang pernah melawannya dikala Pilpres. Dan koalisi rumah tangga memaksa sang anak berhenti bertugas mengabdi kepada Negara dengan dalih memperjuangkan kemenangan di Pilgub DKI.
Ketiga, elit partai tanpa malu saling menyindir dan memperjelas perbedaan politik. Belum ada niatan baik untuk mempersatukan gerakan politik bangsa. Kita tidak pernah melihat ada kesatuan politik elit partai dalam membangun pemerintahan sendiri seperti yang diajarkan H.O.S. Chokroaminoto. Para elit sibuk bertingkah dan saling tuding pada aksi masa 4/11. Bahkan aksi massa bertema kebhinekaan malah dibumbui dengan hujatan aksi perlawanan.
Keempat, ketidakmaluan elit partai dibuktikan dari menjaga persoalan keberagamaan sebagai isu nasional. Bahkan elit politik terlupa apa yang dibela sedang merasakan kesakitan mendera di Rohingya, Myanmar. Mereka lupa atau merasa isu kemanusiaan, bila dibilang membela Islam, tidak terlalu penting daripada isu agama di Pilgub DKI Jakarta. Paling miris melihat ketidakcepatan perhatian elit politik pada kasus ledakan Gereja.
Mengingatkan Elit Politik
Membaca sederetan fakta ketidakmaluan elit politik kepada rakyat mungkin masih banyak lagi. Bila disebutkan satu persatu, mungkin itu tidak baik terhadap kesehatan jiwa dan pikiran kita. Sembari menjaga agar nalar tetap wajar, penting untuk mengajak pengurangan ketidakmaluan elit politik bangsa.
Seperti yang pernah terucap oleh sang proklamator, Bung Karno, kepada seluruh rakyat Indonesia. Bung Karno pernah berkata “Bila umat islam menginginkan peraturan sesuai dengan syariat islam, maka rebutlah DPR. Bila umat kristen menginginkan pemerintahan sesuai dengan ajaran cinta kasih Kristen, maka rebutlah DPR, begitu juga kepada umat-umat yang lain”.
Dalam penalaran yang wajar, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik itu meraih kemenangan untuk menduduki kursi di Senayan. Jadi kita tidak perlu sombong dengan pilihan terlebih mempertegas perbedaan agama. Bila kita tidak suka dengan elit politik, cukup jangan dipilih. Maka, para elit politikus bau busuk tidak akan menjadi wakil rakyat baik di DPR maupun di Pemerintahan.
Di sisi lain, membangun rasa malu dengan cara belajar kepada bangsa-bangsa lain. Karena pelajaran dari nilai-nilai budaya lokal mungkin terlalu kuno bagi para elit partai. Kebiasaan menciplak budaya luar akan lebih bernilai, maka tirulah elit politik Korea, Jepang dan Eropa. Elit politik di negara tersebut akan malu bila melakukan kesalahan, jangankan melawan hukum, melanggar etika saja dilanjutkan dengan tindakan mengundurkan diri dari jabatan.
Namun, bila kedua cara masih terlalu berat untuk dilaksanakan demi membangun rasa malu kepada rakyat. Ada cara jitu yang cukup keras namun sangat efektif mendidik elit dan calon elit politik. Caranya adalah memberikan sanksi sosial kepada mereka yang tentu membutuhkan “ketegaan” rakyat untuk sementara waktu. Misalnya, bagi para elit yang dianggap tidak merakyat dan tidak menjaga etika, maka seluruh keluarga dikucilkan dalam kehidupan sosial.
Selanjutnya, rakyat bersama-sama menyatakan ketidaksukaan bagi elit politik yang seharusnya dicontoh tetapi tidak pantas dicontoh. Bila setiap hari media sosial menutup pembicaraan terkait sang tak patut dicontoh. Tinggal menunggu waktu, mereka datang sendiri untuk belajar malu kepada rakyat.
Terakhir, bila semua cara sudah dilakukan namun elit politik tetap tidak tahu malu mempertontonkan ketidakmaluan kepada rakyat. Maka cukuplah berdoa kepada Tuhan, karena sesungguhnya doa rakyat yang tertindas menurut para ulama tidak memliki batas dengan Tuhan. Sehingga, Tuhan lah yang akan menghukum para pemimpin yang dikatakan sebagai perwakilan Tuhan dimuka bumi dengan mencabut hak untuk memimpin rakyat.
* Penulis merupakan anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI) dan Komite Independen pemantau Pemilu (KIPP) Sumatera Barat. Sekarang beraktifitas sebagai Peneliti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia.