Isu Komunis, Trauma Sejarah dan Masa Depan Bangsa

Isu Komunis, Trauma Sejarah dan Masa Depan Bangsa

Dr. Israr Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand). [Foto: Dok.Pribadi]

TIDAK seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada momen peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada tahun ini, isu kebangkitan komunis agak berkurang. Padatnya peristiwa pada tahun politik 2024 seolah telah "menghimpit" isu terkait sejarah politik Indonesia kontemporer tersebut.

Gejala ini sudah terasa sejak tahun lalu. Isu kebangkitan ideologi terlarang itu sudah tidak terlalu menonjol lagi. Dinamika politik jelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 dianggap telah mempengaruhi corak wacana politik yang muncul, termasuk isu komunis.

Retrospeksi

Kalau menoleh sedikit ke belakang, terutama pada momen Pilpres 2014 yang membentuk model persaingan politik yang terpolarisasi, polemik kebangkitan komunis dan PKI (Partai Komunis Indonesia) sangat mencolok. Tidak hanya pada bulan September (sebagai bulan yang diingat dalam sejarah Indonesia sebagai bulan di mana PKI melakukan kudeta berdarah di masa silam), tetapi hampir sepanjang tahun.

Berkaca pada pengalaman terdahulu, isu kebangkitan PKI melengkapi berbagai isu panas yang membelah masyarakat politik pada saat Pilpres, khususnya antara pendukung pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla versus Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Isu kebangkitan komunis seolah dikontestasikan dengan umpamanya isu kebangkitan kelompok radikalisme agama dan intoleran.

Corak kontestasi politik identitas itu bahkan berlanjut usai Pilpres dan pada tahun-tahun berikutnya. Isu komunis selalu menyertai wacana politik di tingkat nasional dan daerah, termasuk misalnya pada momen Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 yang dianggap sebagai pemilihan kepala daerah paling "heboh" dalam sejarah politik negeri ini.

Pada saat Pilpres 2019 yang mempertemukan kembali Prabowo (berpasangan dengan Sandiaga Uno) versus Jokowi (berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin), polemik seputar kebangkitan komunis makin nyaring. Aneka politisasi identitas dalam konteks Pilpres dan Pemilihan Legislatif, termasuk isu antikomunis, terkesan menihilkan isu-isu esensial yang mestinya mengisi ruang perdebatan politik.

Pada saat itu Jokowi yang maju lagi untuk periode keduanya dan PDI Perjuangan sebagai partai pendukung utamanya lagi-lagi diterpa isu PKI. Keadaan yang ditimpa PDIP seolah mengulang kejadian menjelang Pemilu 1999 di mana partai berlambang kepala kepala banteng itu tampil sebagai pemenang.

Dalam konteks tertentu, merebaknya isu komunis dalam masyarakat bisa "dipahami". Penangkapan sejumlah tokoh ulama dan isu maraknya pekerja dari Tiongkok di Indonesia sejak beberapa tahun sebelumnya tak hanya memunculkan ingatan dan trauma masa lalu di kalangan (sebagian) masyarakat, terutama di kalangan umat Islam, tetapi sekaligus memberikan keyakinan pada mereka tentang kebangkitan paham Marxisme-Leninisme itu.

Namun ketika Prabowo bergabung ke dalam Kabinet Jokowi, yang kembali menang Pilpres untuk jabatan periode keduanya, isu rekonsiliasi nasional nampak lebih menonjol. Politisasi yang mengarah pada polarisasi sosial relatif berkurang, sekalipun untuk isu kebangkitan PKI tetap muncul sepanjang tahun, terutama tiap bulan September dan awal Oktober.

Momen jelang Pilpres 2024 menjadi masa di mana isu kebangkitan komunis menyusut cukup signifikan. Terbentuknya koalisi Prabowo-Jokowi yang memajukan pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka (putra Jokowi) dalam kontestasi Pilpres dan kemudian menang menyebabkan isu-isu polarisasi politik model lama seolah menjadi kurang relevan. Pasangan ini didukung banyak elit politik, termasuk mereka yang sebelumnya dikenal paling sensitif dengan isu kebangkitan komunis.

Ke depan

Kini setelah terpilihnya Prabowo-Gibran dan akan dilantik pada 20 Oktober ini, isu kebangkitan komunis dan PKI untuk beberapa saat nampaknya akan sedikit bergeser. Isu ini untuk sementara mungkin tidak akan menjadi polemik politik panas seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Isu rekonsiliasi nasional yang mengakomodasi mayoritas kekuatan politik utama menjadi isu yang lebih dominan. Dalam konteks ini usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional yang di-endorse MPR saat ini, sekalipun sejak lama dan akan terus bersifat polemis, nampaknya akan menjadi batu ujian bagi kematangan bangsa ini di bawah kepemimpinan Prabowo.

Baca juga: Fenomena Kemiskinan di Ranah Minang

Namun demikian, untuk masalah-masalah sejarah yang "politis" seperti ini mungkin akan panas lagi jelang Pilpres 2029 nanti, terutama kalau terjadi lagi perubahan lanskap politik. Corak politik yang terpolarisasi, seperti masa-masa sebelum ini, akan menjadi lahan bagi munculnya polemik politik atas isu-isu sejarah kontemporer yang sensitif seperti G30S.

[*]

Penulis: Israr Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unibersitas Andalas (Unand)

Baca Juga

Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
DPR Kini Punya 13 Komisi dan 1 Badan, Berikut Komposisi, Mitra dan Ruang Lingkup Kerjanya
DPR Kini Punya 13 Komisi dan 1 Badan, Berikut Komposisi, Mitra dan Ruang Lingkup Kerjanya
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Daftar Lengkap Nama Menteri dan Wakil Menteri  Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
Daftar Lengkap Nama Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme
"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme