BANYAK definisi tentang ekowisata bahari yang tujuan akhirnya adalah sebagai acuan praktis pemerintah daerah (PEMDA) sebagai pengelola dan penyelenggarakan kawasan wisata bahari berbasis masyarakat. Dengan tetap memperhatikan fungsi kawasan konservasi tersebut. Serta menyamakan persepsi dari berbagai pihak yang berkepentingan dalam menyelanggarakan dan mengembangan wisata bahari berbasis masyarakat di kawasan konservasi laut pada pulau kecil.
Wisata bahari terbukti sebagai pemantik tumbuh nyata perekonomian masyarakat di sekitar kawasan wisata bahari yang mengusung konsep “clean industry” yang cenderung tidak merusak lingkungan serta memiliki manfaat rekreatif dan edukatif untuk para wisatawan.
Ada tiga tipe wisata berdasarkan pada atraksi utamanya; 1) Ecotourism/green tourism/alternative tourism; wisata yang berorientasi pada aspek lingkungan, yang menjembatani kepentingan industri pariwisata dan kepentingan perlindungan terhadap wisata alam laut dan lingkungan pesisir.
2) Wisata budaya/cultural tourism; wisata dengan kekayaan budaya sebagai daya tarik dengan penekanan pada aspek edukasi/pendidikan/pembelajaran dan ilmu pengetahuan.
3) Wisata alam/nature tourism; aktifitas wisata dengan penekanan pada aspek pengelalolan (manajemen) terhadap kondisi alam dan lingkungan atau daya tarik panoramanya baik di laut/dalam laut/pulau kecil dan pesisir pantai.
Dari defisini tersebut para pengiat konservasi penyu dan kawasan di Sumatera Barat saat ini mencoba mengembangkan konservasi penyu berbasis pengelola resort pada pulau kecil. Pengelola resort pulau kecil yang sudah tumbuh dan berkembang baik dengan konsep “clean industry”, terutama di Kepulauan Mentawai. Mereka sudah lebih dahulu melangkah. Pengelola resort sangat awareness, concent, fokus terhadap perlindungan kawasan serta biota yang berinteraksi disekitar pulau baik itu di darat, pantai maupun laut.
Hampir semua pulau kecil ditutupi oleh vegetasi, tidak sedikitpun yang di buka dan ditebang masive. Kecuali pohon yang sudah tua dan beresiko tumbang. Kayu dan material dalam pembangunan banyak digunakan dari bahan-bahan yang hanyut, bahkan ada yang sudah di makan ulat, sehingga kayunya-pun berlubang-lubang. Sedangkan material semen, batu, pasir, bata, dan sebagian besar material kayunya di bawa dari luar pulau.
Minggu lalu kami mengunjungi dua kelompok masyarakat adat dari suku asli Mentawai (Suku Saurei dan Suku Samarurok) dan mengunjungi enam kawasan pulau kecil Pulau Beuasak, Pulau Nyangnyang, Pulau Mainu, Pulau Karamajat, Pulau Pitoijat Sigoiso dan Pulau Putotougat (Awera) untuk mengajak para pengelola resort ikut berpartisipasi mengkonservasi penyu yang naik dan bertelur ke pantai pulau tersebut.
Kami berdiskusi bersama, mereka sangat antusias dan serius mendengarkan penjelasan dari tim Peneliti dan Pegiat Konservasi Penyu Universitas Bung Hatta, dan Suwardi, Willy Filkosima (BPSPL Padang), Meriussoni Zai (Aktifis dan pegiat konservasi penyu) tentang SOP untuk pendataan penyu, relokasi dan menyelamatkan telur penyu yang di-inkubasi dalam pasir serta pelepasliaran tukik penyu ke alam. Tim kami juga didamping Afrizon dan dua operator boat yang selalu sigap membekali kami dari segala keperluan dan perlengkapan.
Semoga langkah dan upaya yang kami lakukan dapat mendukung upaya konservasi penyu di Indonesia yang sudah di siapkan oleh KKP-RI melalui penetapan Rencana Aksi Nasional Penyu 2016-2020 di seluruh Indonesia. Sumatera Barat dapat 3 lokasi prioritas untuk pendataan dan program konservasi penyu terintegrasi yaitu; KKPN Pieh, KKPD Mentawai, dan KKPD Pesisir Selatan. Semoga terwujud dan berkelanjutan, salam konservasi.