Apa yang dilakukan oleh para pejabat atau bukan pejabat yang menggunakan kesempatan pengaliran bansos demi popularitas dan atau kepentingan politisnya bisa dikategorikan sebagai tindak komodifikasi sosial/politik.
D
etik-detik ini kita masih (saja) berada dalam kungkungan pandemi Covid-19. Praktis semua orang sedunia dalam dunia nyata maupun dunia mayanya, bahkan mimpinya kini diselimuti konteks pikiran, aksi, sikap dan persepsi bernuansa Corona. Masyarakat yang peduli pada bahaya pandemi ini selalu bersikap hati-hati, waspada, curiga, bahkan cenderung paranoid jika terpaksa untuk keluar rumah untuk membeli atau mengurus segala sesuatu. Ini terjadi di tengah belum meredanya serangan pandemi, tercermin dari data nasional maupun lokal (Indonesia dan Sumatra Barat) tentang belum melandainya grafik berbagai parameter.
Ironisnya, meski social distancing masih diberlakukan dan diimbau di mana-mana, dalam berbagai laporan dan pemberitaan media masih juga kita saksikan sejumlah besar masyarakat tetap menyemut di titik-titik keramaian. Inilah kontradiksi sekaligus paradoks di beberapa minggu terakhir: publik terpecah antara yang masih ingin untuk disiplin dalam protokol pandemi Covid-19 dan yang ngeyel, tidak disiplin, memberanikan diri masuk ke dalam wilayah sosial yang rentan menjadi tempat menularnya virus yang notabene belum ada penangkal dan obatnya ini.
Dus, di tengah situasi yang belum menggembirakan ini dibutuhkan konsentrasi dan sikap fokus mengerjakan hal-hal efektif dalam mencegah semakin berkembangnya Covid-19. Kita harus bisa tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia serius dan ikhlas untuk ‘fight’ habis-habisan bertempur melawan virus ini. Memang, tidak bisa hanya rakyatnya saja yang bertempur. Dibutuhkan pendekatan birokrasi/struktural yang bersinergi dengan komitmen dari arus bawah/publik.
Contoh positif yang telah dilakukan di Korea Selatan, Vietnam dan Jepang adalah kabar baik yang patut kita susul. Di ketiga Negara tersebut political will dan public will bagaikan mata panah kembar yang menyasar secara tepat membidik pandemi Corona. Terbukti, wabah Corona di ketiga Negara tersebut mereda drastis. Di Vietnam bahkan sedari awal tercatat kasus terpaparnya Corona di negara itu sangat rendah. Kedisiplinan masyarakat dan konsistensi penegakan protokol oleh aparat pemerintah merupakan dua kunci utama dan senjata memerangi musuh global ini.
Bagaimana dengan kita? Selain berita tentang ngeyel-nya warga yang kadang menyulut konflik antar-personal atau bahkan komunal (di Brazil, Amerika Serikat dan India eskalasinya relatif masif), juga terselip fenomena menarik tetapi krusial lainnya. Di antaranya yang paling fenomenal adalah aksi sengaja maupun tidak sengaja dari pejabat lokal (bahkan nasional) yang masih ingin menangguk di air keruh berupa praktik kampanye politik terselubung di balik berbagai komoditi bantuan sosial (bansos) yang dikucurkan kepada masyarakat kelas bawah.
Di media daring (terima kasih patut didedikasikan kepada para netizen dan jurnalis kritis yang tak henti menjalankan fungsi social control melalui media daring dan media sosial) dapat kita lacak secara saksama bukti-buktinya baik berupa berita, foto dan video yang menampakkan foto, nama lengkap bahkan dengan nama jabatan wali kota, bupati, atau pejabat terkait yang terpampang secara jelas dan provokatif di karung beras, kardus makanan instan, atau ‘sekadar’ di selebaran/brosur daring update data terbaru perkembangan penanganan pandemi. Ada pula segolongan pihak yang tidak sedang menjabat, namun setelah ditelusuri identitasnya merupakan calon yang akan bertarung dalam arena Pilkada setempat dalam waktu dekat.
Apa yang dilakukan oleh para pejabat atau bukan pejabat yang menggunakan kesempatan pengaliran bansos demi popularitas dan atau kepentingan politisnya bisa dikategorikan sebagai tindak komodifikasi sosial/politik. Kata komodifikasi bersumber dari dua kata, komoditi dan modifikasi. Kedua kata itu memang memiliki hubungan yang amat erat. Secara sederhana, komoditas adalah benda yang dapat dijual untuk mendatangkan keuntungan. Sementara komodifikasi adalah proses menjadikan benda atau jasa menjadi suatu komoditas. Dengan kata lain, komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu.
Pada awalnya, komodifikasi adalah salah satu pintu masuk dalam diskursus ekonomi politik media. Namun, seiring dinamika perpolitikan global dan lokal, tindak atau fenomena komodifikasi akhirnya juga dapat ditemukan di ranah sosial dan politik. Vincent Mosco (1996:57) menyebut komodifikasi sebagai: the process of transforming use values into exchange values atau proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar.
Lebih jauh, salah satu ilmuwan ilmu sosial terkemuka, Arjun Appadurai mengatakan, komoditas pada dasarnya adalah "apapun yang dimaksudkan untuk ditukar," atau objek apapun yang memiliki nilai ekonomi. Orang terkomofidikasi (menjadi objek) saat bekerja, dengan menjual tenaga buruh mereka di pasar kepada seorang majikan. Menurut Appadurai, salah satu bentuk komodifikasi adalah perbudakan.
Komodifikasi sering kali dikritik atas dasar bahwa beberapa hal tidak pantas dijadikan komoditas, contohnya sumber daya primer (air, minyak, dll), pendidikan, data, informasi, dan pengetahuan dalam era digital. Dalam konteks komodifikasi bansos Covid-19, maka terjadi proses mengubah bentuk konkret bantuan tersebut yang tadinya bukan komoditas menjadi komoditas, dalam hal ini komoditas politik bagi si penyumbang/penyalur bantuan.
Dengan melampirkan foto dan identitas singkat pejabat atau tokoh tertentu di kemasan bantuan, tersirat komunikasi/propaganda politik secara simbolik yang menyasar siapapun yang menerima bantuan tersebut. Dari perspektif komunikasi politik, komunikator tampak berusaha mensosialisasikan identitas diri melalui cara yang paling halus namun berpotensi secara efektif untuk menimbulkan efek memorizing dalam benak penerima bantuan yang dalam hal ini berposisi ganda sebagai calon pemilih/konstituen dalam arena event kontestasi politik. Dampak yang tidak kalah krusial namun semakin membuat miris adalah terjadinya degradasi nilai relasi antar manusia yang seharusnya tulus-ikhlas-bernilai ibadah sosial menjadi sekadar hubungan antar manusia yang terjadi karena kepentingan dan transaksi ekonomi-politik.
Menariknya, ditilik secara hukum, susah menemukan celah pelanggaran yang dilakukan oleh oknum atau pelaku tindak komodifikasi bansos ini. Inilah yang dalam perspektif komunikasi politik dinamakan sebagai heteronomi komunikasi. Konsep ini mulai dikenalkan oleh filosof Jerman abad ke-18, Immanuel Kant. Menurutnya, heteronomi adalah sikap seseorang dalam bertindak dengan hanya sekadar mengikuti aturan moral yang bersifat eksternal (dalam Heryanto, 2019: 27). Sementara, idealnya, seseorang atau siapa pun seyogyanya mendasarkan tindakannya berasarkan otonomi kehendak yang merupakan prinsip moralitas tertinggi.
Sederhananya, otonomi kehendak bersumbar dari norma moral dan hati nurani serta kesadaran sendiri. Sebaliknya heteronomi diartikan sebagai suatu hal yang memiliki ketergantungan kepada undang-udang atau kuasa orang lain, yang notabene tidak selamanya bersumber dari hati nurani, bahkan cenderung palsu.
Dibawakan kepada fenomena komodifikasi politik terhadap bansos Covid-19, secara hukum amat sulit menemukan celah pelanggaran yang dilakukan oleh para oknumnya. Undang-undang tidak menganjurkan dan tidak pula melarang. Penerima bansos (yang kerap mengantre dan berdesak-desakan bahkan pingsan demi mendapatkannya) pun belum tentu merasa terganggu atau tidak menerima praktik ini. Namun dari sisi etika dan moral kita akan berjumpa dengan nalar yang bersumber dari hati nurani bahwa praktik ini sudah semestinya dihentikan dan sangat tidak elok untuk terus dilakukan di tengah-tengah situasi krisis multi-dimensi.
Logikanya, kita masih sibuk menangkis serangan membabi buta dari makhluk berbahaya super kecil yang mengancam nyawa semua orang tanpa pandang bulu dan belum ada obat atau vaksinnya serta serangannya menyerang seluruh sisi dunia, sementara ada tangan-tangan yang bersumber dari hati dan pikiran yang culas memanfaatkan situasi demi keuntungan duniawinya, menumpang di atas tindakan yang sejatinya mulia tanpa pretensi apa-apa. [*]
Mohammad Isa Gautama
Pengamat Komunikasi Politik, Pengajar di jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.