
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho memaparkan kinerja tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Convention Hall Unand, Selasa (20/02/2018). (Foto: Mohamad Arya)
Padangkita.com - Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan janji kampanye tidak pas bila dijadikan alat ukur keberhasilan pemerintah. Hal itu menanggapi pertanyaan masyarakat mengenai tidak tercapainya beberapa janji kampanye Jokowi-JK sebelum menjabat, salah satunya target pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen.
Menurut Yanuar, ada janji kampanye yang bersifat politis yang mesti diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Janji kampanye merupakan asumsi saat janji itu dibuat, sedangkan situasi dan kondisi terus berubah.
“Saat masa kampanye Jokowi berjanji pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6–7 persen. Tetapi saat itu, asumsinya perekonomian dunia juga tumbuh. Namun, kenyataannya pertumbuhan ekonomi dunia tidak seperti asumsi saat janji itu dibuat,” kata Yanuar, Selasa (22/02/2018).
Oleh sebab itu, sambungnya, janji kampanye bukanlah alat yang pas untuk mengukur capaian pemerintah. Adapun cara yang pas untuk mengukur kinerja pemerintah, yakni melalui indikator.
Secara universal, ada lima indikator dalam mengukur kinerja pemerintah, yaitu pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, angka kesenjangan, angka pengangguran, dan inflasi. Indikator tersebut, kata Yanuar, berlaku universal untuk mengukur kinerja pemerintah di mana pun di seluruh dunia.
“Angka-angka pada tiap-tiap indikator tersebut perlu diukur. Kondisi pada 20 Oktober 2014, saat Jokowi-JK baru menjabat, mesti dibandingkan dengan kondisi pada 19 Oktober 2019. Dari hasil itulah bisa dilihat, apakah pemerintah berhasil atau gagal,” terangnya.
Untuk saat ini, KSP sendiri menilai kinerja pemerintah cukup baik berdasarkan lima indikator tersebut. Meskipun ada pihak yang menyampaikan rapor merah pemerintahan Jokowi-JK, Yanuar memahaminya karena mereka mengukurnya berdasarkan janji kampanye.
“Jika dibandingkan dengan janji, sangat mungkin rapornya merah. Tapi kan kita tidak melihatnya begitu. RPJMN diperbarui setiap tahun, menyesuaikan asumsi nilai tukar dolar, produksi minyak, pertumbuhan ekonomi global, dan lain-lain. Kalau melihat itu, pemerintah sekarang relatif masih cukup bagus. Saya tidak bisa menyebut angkanya karena kami memang tidak mengukur angka itu,” ujarnya.
Berdasarkan paparan KSP mengenai kinerja tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, angka kemiskinan Indonesia menurun sekitar 0,32 persen. Saat pertama kali menjabat pada September 2014, angka kemiskinan sekitar 10,96 persen, turun menjadi 10,64 persen pada Maret 2017.
Sejalan dengan itu, angka ketimpangan ekonomi dan pengangguran juga mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS yang dirujuk KSP, persentase ketimpangan pada Maret 2017 mengalami penurunan menjadi 0,393 persen atau sekitar 0,021 persen dibandingkan pada September 2014 di angka 0,414 persen.
Kemudian, angka pengangguran nasional turun menjadi 5,33 persen atau turun 0,48 persen pada Februari 2017 dibandingkan Februari 2015 yang mencapai 5,81 persen. Sementara itu, angka pengangguran pedesaan pada periode yang sama mengalami penurunan sekitar 0,32 persen atau menjadi 4 persen.
Selanjutnya, pertumbuhan Indonesia pada Januari-September 2017 terbilang stabil di angka 5,01 persen, meskipun tidak mencapai target saat janji kampanye sekitar 7 persen. Adapun inflasi juga mengalami penurunan sekitar 5,7 persen. Pada 2014, inflasi sekitar 8,36 persen, sedangkan pada Januari-September 2017, inflasi hanya 2,66 persen.