Jelas fakta riset telah mempertanyakan kembali adagium hubungan darek-rantau selama ini— adaik manurun (adat menurun)- syarak mandaki (agama mendaki). Menurun diartikan dari darek (pedalaman Minangkabau) ke pesisir (wilayah rantau).
Sedangkan mendaki didefenisikan dari rantau ke pusat atau darek.
“Adagium ini jelas terbantahkan. Atau saya berpikir, syarak mandaki dari Kampar ke Limapuluh Kota atau sebaliknya jika bicara adat,” timpal Yusuf.
Terlepas persoalan sejarah masuknya Islam ke Minangkabau, serta kredo dalam bentuk adagium, Yusuf miris melihat jejak lalu lintas penyebaran Islam melalu sungai di belahan timur begitu disisihkan dalam gagasan dan realitas pembagunan.
Bahren, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unand, yang beberapa waktu lalu melakukan penelitian di wilayah Sungai Lolo, Pasaman, melihat kenyataan, begitu terisolasinya daerah yang sebetulnya tersentuh kejayaan di masa lalu.
Padahal wilayah tersebut termasuk segi tiga emas—terhubung dengan kawasan serupa di Pangkalan dan Gunung Omeh di Kabupaten Limapuluh Kota.
Untuk mencapai daerah dengan itu, kata Bahren, dibutuhkan waktu perjalanan 3 jam dengan jarak 35 kilometer dari Panti.
Menurutnya, daerah itu sebetulnya lebih dekat dengan Pangkalan, Kabupaten 50 Kota, dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam. Akan tetapi cara tempuhnya harus dengan kapal, melahap sungai, dengan lidah tertuju pada Rokan dan juga Kampar.
“Dari Panti kesana hanya bisa ditempuh mobil 4x4 seperti jeep. Karena tidak punya, kami naik ojek dengan sewa Rp500 ribu,” tukasnya.
Menghidupkan jalur perairan dari pedalaman Minangkabau ke timur_ wilayah Riau dan juga Jambi, kata Yusuf, bukan hanya menghargai sejarah, tapi juga membuka simpul ekonomi yang sebetulnya telah ada sejak dahulu kala.