
Surau (Masjid) Tuo Kayu Jao di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, tercatat berdiri 1599. Surau ini dianggap salah satu tertua di Nusantara. (Foto: Aidil Sikumbang)
Padangkita.com - Pantai timur Sumatera - Selat Malaka sudah sangat terbuka di abad 7 Masehi. Perniagaan berjalan deras, mempertemukan pedagang dari pelbagai bangsa.
Keriuhan perniagaan di pantai timur Sumatera pada masa itu, diperkirakan menjadi mula Islam berkembangan di nusantara. Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Gujarat.
Sementara berdasarkan catatan sejarah, keramaian perniagaan pantai barat Sumatera baru terjadi di abad ke-15, ketika Portugis memonopoli pusat perdagangan di pantai timur, Malaka. Sehingga, kuat dugaan Islam merangsek ke Minangkabau melalui pintu timur.
Minangkabau di masa lalu, adalah pedalamanan Sumatera yang menghasilkan komoditi yang laris manis diperdagangkan.
Misalnya saja emas, yang banyak ditambang secara tradisional di kawasan Tanah Datar seperti yang dikisahkan William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra.
Komoditi yang dihasilkan Minangkabau mengalir melalui sungai-sungai yang berhulu di gugusan Bukit Barisan, seperti Kampar, Rokan, Kuantan. Semua bermuara di Selat Malaka.
Lalu lintas pelayaran di sungai di masa itu, turut diramaikan juga oleh pegadang yang ingin mengakses langsung daerah penghasil komoditi tersebut.
Saudagar Arab langsung menelusuri sungai menggapai sumber utama di pedalaman Minangkabau.
Cukup banyak referensi yang mengatakan syiar Islam ke Minangkabau dari pantai timur. Seperti disinggung dalam buku Hamka berjudul Ayahku dan Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Sangat masuk akal, karena bagaimana pun Islam dibawa oleh pedagang. Sehingga interaksi pedagang Arab dan Gujarat yang notabene telah Islam dengan orang Minang atau pun wilayah Minangkabau, menjadi biang panyebaran Islam.
Keyakinan Islam masuk dari pantai timur Sumatera juga diutarakan filolog dari Universitas Andalas M. Yusuf.
Dia mendapati penyebaran naskah kuno (manuskrip) beraksara Arab Melayu dan bermuatan Islam yang begitu banyak di darek--Kabupaten 50 Kota, Tanah Datar, dan Agam dan bisa membandingkannya dengan Kepulauan Riau.
Hal lain, lanjut Yusuf, bahasa Mapat Tunggul (Pasaman), Bangkinang (Riau), sama dengan Limapuluh Kota. Daerah-daerah ini terhubung oleh sungai yang pada akhirnya bermuara di Selat Malaka.
Di samping itu, Yusuf melihat hubungan emosional dan kultural antara Minangkabau dengan negeri di timurnya, yakni sama Melayu.
“Kuat dugaan Islam masuk saat ramainya perniagaan di Selat Malaka abad ke-7. Saat itu, pedagang Arab dan penyebar Islam lainnya menyebar. Satu ke Semenanjung Malaya, dan satu lagi ke Riau dan berlanjur ke Minangkabau via sungai,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Secara budaya seorang yang menguasai ilmu agama di Minangkabau dipanggil orang Siak. Sementara yang lagi belajar Islam di surau dipanggi anak Siak.
Kata Siak, jelas merujuk pada sebuah kerajaan— sekarang juga nama kabupaten dan sungai di pinggir Selat Malaka, wilayah Provinsi Riau.
Pada suatu masa, jelas Yusuf, peradaban Minangkabau di pinggir sungai mencapai kejayaan karena menggeliatnya aktivitas perekonomian di jalur tersebut.
Sungai yang begitu riuh menjadi etalase utama perlintasan niaga antara lain, Sungai Kampar yang dipasok sungai seperti Sinamar, Mahat, Pangkalan, dan lainnya.
Sedikit ke Utara Minangkabau— Pasaman, mengalir deras sungai-sungai kecil yang menyatu menjadi Sungai Rotan.

Proses masuknya Islam ke Nusantara (Foto: http://1.bp.blogspot.com/)
Di belahan selatan Minangkabau, mengalir Sungai Batanghari yang berhulu di Solok dan Solok Selatan, dan melintasi banyak kabupaten sebelum melebur ke perairan Selat Malaka.
“Sungai-sungai itu dapat dilayari. Bahkan, dapat dilewati kapal ke dataran tinggi seperti Mahat,” tukas Yusuf.
Sementara itu, seperti yang ditulis Azra, konversi Islam di pedalaman semakin menjadi di abad ke-13. Aktor sentralnya adalah para sufi dengan metode tarekat.
Metode ini, jelas Yusuf juga, bersifat adaptif, dimana Islam secara ibadah dan ritual tidak lantas meninggalkan kepercayaan lama merangkul bukan memerangi. Tetap memakai pola sama, bahkan jejaknya terlihat hingga sekarang.
Salah satu misalnya, memakai medium kemenyam untuk berdoa. Dan juga ditemukannya kerajinan seperti membuat keramik dan tembikar. Tembikar merupakan salah satu medium dalam ritual agama Hindhu.
Lalu bagaimana dengan Ulakan di pantai barat Sumatera_ tepian Samudera Hindia, yang seakan-akan menjadi ‘kota suci’ Islam di Ranah Minang? Yusuf mengatakan, Ulakan tidak lebih dari sebuah kampung yang menjadi pusat pengembangan Islam tersistematis melalui sistem halaqah dan surau.
Adalah Burhanuddin alias Pono dan diberi gelar Syekh yang menjadikan Ulakan sebagai pusat pengembangan Islam dengan mazhab Tarekat Syattariyah.
Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir awal abad ke-17 di Batipuh, Tanah Datar. Burhanuddin, kata Yusuf, semasa kecil menghabiskan waktu di kampung, dimana ia telah belajar mengaji dan belajar agama disalah satu surau yang ada.
Lalu, tambah Yusuf, Pono remaja pergi ke Sintuak, Pariaman, mendalami ilmu agama. Kemudian ia pergi ke Singkil, dimana disana bercokol ulama Syattariyah terkenal, Syekh Abdurrauf- Singkil.
“Logika Pono kecil dimana mengaji di Batipuh. Artinya Batipuh yang berada di darek sudah Islam,” ujar Yusuf yang pernah mengajar di Korea Selatan ini.
Jelas fakta riset telah mempertanyakan kembali adagium hubungan darek-rantau selama ini— adaik manurun (adat menurun)- syarak mandaki (agama mendaki). Menurun diartikan dari darek (pedalaman Minangkabau) ke pesisir (wilayah rantau).
Sedangkan mendaki didefenisikan dari rantau ke pusat atau darek.
“Adagium ini jelas terbantahkan. Atau saya berpikir, syarak mandaki dari Kampar ke Limapuluh Kota atau sebaliknya jika bicara adat,” timpal Yusuf.
Terlepas persoalan sejarah masuknya Islam ke Minangkabau, serta kredo dalam bentuk adagium, Yusuf miris melihat jejak lalu lintas penyebaran Islam melalu sungai di belahan timur begitu disisihkan dalam gagasan dan realitas pembagunan.
Bahren, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unand, yang beberapa waktu lalu melakukan penelitian di wilayah Sungai Lolo, Pasaman, melihat kenyataan, begitu terisolasinya daerah yang sebetulnya tersentuh kejayaan di masa lalu.
Padahal wilayah tersebut termasuk segi tiga emas—terhubung dengan kawasan serupa di Pangkalan dan Gunung Omeh di Kabupaten Limapuluh Kota.
Untuk mencapai daerah dengan itu, kata Bahren, dibutuhkan waktu perjalanan 3 jam dengan jarak 35 kilometer dari Panti.
Menurutnya, daerah itu sebetulnya lebih dekat dengan Pangkalan, Kabupaten 50 Kota, dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam. Akan tetapi cara tempuhnya harus dengan kapal, melahap sungai, dengan lidah tertuju pada Rokan dan juga Kampar.
“Dari Panti kesana hanya bisa ditempuh mobil 4x4 seperti jeep. Karena tidak punya, kami naik ojek dengan sewa Rp500 ribu,” tukasnya.
Menghidupkan jalur perairan dari pedalaman Minangkabau ke timur_ wilayah Riau dan juga Jambi, kata Yusuf, bukan hanya menghargai sejarah, tapi juga membuka simpul ekonomi yang sebetulnya telah ada sejak dahulu kala.