Gak Banyak yang Tahu, Duta Sheila on 7 Cicit dari Ulama dan Panglima Kepercayaan Diponegoro
Berita artis terbaru: Duta yang merupakan vokalis Sheila on 7 ternyata memiliki kakek buyut yang bukan orang sembarangan. Kakek buyutnya bernama Kiai Modjo, ulama kepercayaan Pangeran Diponegoro.
Duta Sheila on 7 merupakan salah seorang vokalis band ternama yang banyak dikenal warga Indonesia.
Tidak hanya terkenal dengan kemampuan bernyanyinya, Duta Sheila on 7 ternyata bukan keturunan orang biasa.
Tidak banyak yang tahu apa arti di balik nama lengkapnya Akhdiyat Duta Modjo.
Nama keluarga Modjo yang tersemat di belakang namanya itu bukanlah orang sembarangan.
Melansir Tribun, Duta Sheila on 7 merupakan sulung dari dua bersaudara anak dari (alm) Dr Ir Hakam S Modjo, Msc. Ia lahir di Kentucky, Amerika Serikat, 30 April 1980.
Berdasar garis keturunan ayahnya, ia adalah keturunan Kiai Modjo.
Kiai Modjo atau yang memiliki nama lengkap Muslim Mochammad Khalifah atau yang juga dikenal Kiai Madja lahir di Solo, Jawa Tengah pada 1792 silam.
Kiai Modjo merupakan seorang ulama yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro.
Ia juga seorang panglima selama berlangsungnya Perang Jawa.
Kiai Modjo sendiri merupakan anak dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.
Ayahnya merupakan seorang ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan.
Baik ayah maupun ibu Kiai Modjo adalah keturunan bangsawan. Ayah Kiai Modjo, Abdul Ngarip, merupakan keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama Islam.
Baca juga: Pria Ini Siang Praktik Dokter, Malam Jadi Pencopet
Sementara ibunya, RA Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III.
Meski berasal dari keturunan keluarga bangsawan, Kiai Modjo tidak pernah berada di dalam lingkungan keraton semenjak lahir.
Secara garis keluarga, Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan.
Pangeran Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir.
Hal ini berarti Pangeran Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo.
Meski sama-sama keturunan bangsawan, keduanya pun hidup di luar istana semenjak kecil.
Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Modjo menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro.
Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Modjo dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.
Hari demi hari, hubungan Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro semakin erat. Terlebih saat Kiai Modjo pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah haji dan cukup lama menimba ilmu di sana.
Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut.
Kiai Modjo pun kemudian ikut bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong (terletak di Pajangan, Bantul, Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.
Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten.
Dalam upaya diplomasinya, Kiai Modjo dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan.
Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Modjo berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain).
Selain itu, juga ada 15 orang guru mengaji, puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Modjo mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya.
Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan.
Lalu pada 12 November 1828, Kiai Modjo dan para pengikutnya disergap Belanda di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga.
Dalam penahanannya, Kiai Modjo meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya.
Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Modjo beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sedangkan sebagian besar pengikutnya dilepaskan.
Baru pada 17 November 1828, Kyai Modjo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di tanah pembuangan, Kyai Modjo terus berdakwah bersama para pengikutnya yang semuanya adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat.
Dari dua kebudayaan tersebut, lahirlah yang namanya Kampung Jawa Tondano. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini.
Penerus keturunan Kiai Modjo itu juga biasa memakai nama Kiai Modjo sebagai nama keluarganya.
Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo.
Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Hal itu karena banyak juga di antara marga Kiai Modjo yang tinggal di Gorontalo.
Kiai Modjo sendiri wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Modjo dari pasukan Diponegoro.
Itulah garis keturunan dan kakek buyut Duta Sheila on 7 yang ternyata bukan orang sembarangan. Ia merupakan keturunan dari seorang pejuang yang sangat berpengaruh di masanya. [*/Jly]