“Garok” adalah kata dalam bahasa Minang yang artinya sama dengan harapan atau sesuatu yang oleh keinginan hati kita bisa terjadi. Garok adalah ketika kita berharap, kita dapat, tapi, ternyata tidak.
Kata “garok”, adalah kata yang kesannya menumbuhkan harapan dalam diri sendiri, juga dalam diri orang lain, yang hasilnya justru tidak terwujud. Memasang harapan, diberi harapan dan berharap-harap, itulah garok.
Kadang sesama besar, atau orang dewasa pada anak-anak, suka manggarok-garokkan dengan tujuan untuk mengerjai, mempermainkan.
“Tenanglah kamu. Terjual tanah di ujung kampung ini, saya belikan kamu sepatu baru.” Yang diberi harapan, inilah yang garok. Tapi, kadang, orang berjanji begitu, selepas mulut saja, entah iya entah tidak. Tetapi, ketika tanah terjual, yang sepatu tidak juga dibelikannya.
“Mana sepatu yang sebelumnya dijanjikan itu?”
“Hehehe, saya menggarok-garokkan kamu saja,” jawab orang yang barusan menjual tanah.
Begitu juga, si pembeli tanah yang tiba-tiba mengomel, “Cuma garok-garokan saya saja!”, untuk tanggapan atas tak dipenuhinya janji kalau tanah dibeli akan diberi bonus mesin pemotong rumput.
Kadang, kita memang suka terhanyut oleh sesuatu yang dijelmakan sebagai harapan oleh orang lain. Kita kadang malah tumbuh dalam harapan, sesuatu yang tak jelas tapi menghibur hati dan diri sendiri. Misalnya, kita kadang menggarok-garokkan diri sendiri, ingin secepatnya membeli sepeda motor, lapotop tercanggih, jika punya uang. Yang tidak pernah kita pikirkan, kapan waktunya “punya uang” sementara kita bermalas-malas juga. Banyak menganggur daripada bekerjanya. Sembari memupuk garok, kita membesar-besarkan hati sendiri, walau semu. “Hati surang bagarokan juo (Hati sendiri dijanji harapan kosong juga)”.
Dalam menonton bola, kita sering “tagarok”. Artinya, ketika menonton tim nasional kita bertanding bola di lapangan di tingkat Asia. Saat penyerang kita di hadapan kiper, hati kita tagarok, tendangan itu akan membuat gol, Indonesia unggul. Namun, ketika tendangan dilepas, bola malah menjauh dari tiang gawang. Kita yang sudah terlanjur bersorak dan berdebar lebih awal, hanya menelan kekecewaan, dan inilah, yang kita sebut, “Tagarok denai…”
Atau, tiba-tiba seseorang menelepon kita, mengaku dari perusahan seluler, mengatakan kita pemenang mobil senilai Rp200 juta. Kita langsung tagarok, membayangkan sebuah mobil baru, parkir di depan rumah kita. Tak tahunya, yang menelepon itu adalah penipu. Hati yang terlanjur berharap, bergembira, berdebar tak menentu tadi, jelmaan hati “garok”; sesuatu yang diharapkan tak terjadi.
Ada pula orang, mungkin saking susahnya, atau bisa jadi karena lemahnya, ia disebut orang “panggarok”. Janji-janji kosong yang penuh bunga dan iming-iming diberikan padanya, disambut dengan suka-cita. Ia merasa, hidupnya bergairah, karena ada yang diharapkan. Orang “panggarok”, adalah orang yang mati dalam janji kosong, tak terealisasi, jauh dari adanya.
Baca juga: Kaleper
Garok, adalah harapan, mestinya dipelihara, dengan keyakinan, dinyatakan ada. Tapi, kodrat kata “garok” sesungguhnya, kenyataan yang membuat hati kita berbunga-bunga, namun pasti layu kemudian. Menjadi panggarok, karena memang ada yang diharap, walau kadang tidak! (*)
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.