Dalam penahanannya, Kiai Modjo meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya.
Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Modjo beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sedangkan sebagian besar pengikutnya dilepaskan.
Baru pada 17 November 1828, Kyai Modjo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di tanah pembuangan, Kyai Modjo terus berdakwah bersama para pengikutnya yang semuanya adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat.
Dari dua kebudayaan tersebut, lahirlah yang namanya Kampung Jawa Tondano. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini.
Penerus keturunan Kiai Modjo itu juga biasa memakai nama Kiai Modjo sebagai nama keluarganya.
Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo.
Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Hal itu karena banyak juga di antara marga Kiai Modjo yang tinggal di Gorontalo.
Kiai Modjo sendiri wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Modjo dari pasukan Diponegoro.
Itulah garis keturunan dan kakek buyut Duta Sheila on 7 yang ternyata bukan orang sembarangan. Ia merupakan keturunan dari seorang pejuang yang sangat berpengaruh di masanya. [*/Jly]