Pangeran Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir.
Hal ini berarti Pangeran Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo.
Meski sama-sama keturunan bangsawan, keduanya pun hidup di luar istana semenjak kecil.
Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Modjo menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro.
Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Modjo dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.
Hari demi hari, hubungan Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro semakin erat. Terlebih saat Kiai Modjo pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah haji dan cukup lama menimba ilmu di sana.
Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut.
Kiai Modjo pun kemudian ikut bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong (terletak di Pajangan, Bantul, Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.
Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten.
Dalam upaya diplomasinya, Kiai Modjo dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan.
Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Modjo berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain).
Selain itu, juga ada 15 orang guru mengaji, puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Modjo mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya.
Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan.
Lalu pada 12 November 1828, Kiai Modjo dan para pengikutnya disergap Belanda di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga.