SEBAGIAN besar rumah makan bahkan level restoran menyediakan air teh tawar untuk pendamping makanan. Apakah ini menyehatkan atau malah sebaliknya? Bagaimana dari sisi kesehatan?
Banyak orang memiliki kebiasaan minum teh pada saat ataupun setelah makan. Hal ini mungkin dikarenakan mereka memang suka nge-teh atau bisa jadi karena berkunjung ke tempat yang menyajikan teh sebagai minuman pendamping. Misalnya, rumah makan Padang yang menyajikan teh tawar atau yang dikenal dengan teh goyang kepada konsumen.
Minum teh dengan makanan selalu menjadi topik kontroversial. Beberapa penelitian mengatakan bahwa teh baik untuk sistem pencernaan sehingga sangat baik bagi orang yang ingin menurunkan berat badan. Namun, di saat yang sama mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa mengkonsumsi teh pada saat ataupun setelah makan memberikan dampak yang tidak baik pada kesehatan.
Orang yang menderita kekurangan zat besi tidak boleh minum teh bersama makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa fenolik yang ditemukan dalam teh menghambat penyerapan zat besi dengan membuat kompleks zat besi di lapisan dalam usus.
Selain itu, juga terdapat tanin yang memperlambat penyerapan banyak mineral termasuk zat besi, seng, dan kalsium. Pada beberapa orang, tanin juga dapat memicu sembelit. Akibatnya, jika terjadi kekurangan berbagai mineral ini akan memicu segudang komplikasi kesehatan.
Bahan lain yang ada dalam teh adalah kafein. Faktanya, peningkatan konsumsi kafein dapat menyebabkan insomnia. Selain itu, bagi penderita maag, kafein mungkin berbahaya karena akan memperburuk kondisi. Kafein juga dapat memicu peningkatan tekanan darah dan detak jantung sehingga mengakibatkan jantung berdebar-debar.
Para ahli berpendapat, jika tetap ingin minum teh pada saat atau setelah makan, maka konsumsilah makanan yang kaya zat besi dan vitamin C. Dengan mempertimbangkan hal di atas, yang terbaik adalah menghindari minum teh pada saat atau setelah makan.
Namun, bagaimana jika makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang kaya zat besi dan vitamin C seperti yang ada pada masakan Padang?
Masakan Padang yang kaya bumbu dan kadang terasa sedikit menggigit karena memakai cabai, sudah diakui kenikmatannya dimana saja. Seperti diketahui bersama, cabai mengandung vitamin C tiga kali lebih banyak daripada kandungan jeruk. Belum lagi berbagai jenis makanan yang disajikan adalah makanan yang mengandung zat besi tinggi sepeti daging sapi dan jeroan.
Jika teh mengandung tanin yang memicu sembelit pada beberapa orang, sebaliknya cabai mengandung capsaicin yang meningkatkan peristaltik usus sehingga melancarkan pencernaan. Selain itu, berbagai studi juga sudah membuktikan bahwa capsaicin memiliki efek menurunkan tekanan darah. Hal ini bertolak belakang dengan efek kafein yang terkandung di dalam teh.
Selanjutnya, jika keseringan makan masakan yang tinggi zat besi dan vitamin C maka akan mengakibatkan penumpukan zat besi di dalam tubuh yang nantinya akan memicu kerusakan pankreas, ginjal, dan hati. Sehingga, nge-teh pada saat makan di rumah makan Padang adalah satu cara yang tepat untuk menghindari penumpukan zat besi di dalam tubuh.
Walaupun hal ini masih sangat membutuhkan penelitian lebih lanjut, dari literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa jika kamu ingin minum teh dengan makanan maka kamu perlu mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi dan vitamin C.
Dan, seperti paparan di atas, kita sama-sama tahu bahwa masakan padang kaya akan zat besi dan vitamin C. Selain itu, perlu juga diingat, mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi dan vitamin C secara terus-menerus dalam jumlah yang banyak akan memicu kerusakan berbagai organ tubuh.
Baca juga: Konsultasi Kesehatan: Kalau Anak Demam Tinggi Harus Bagaimana dan Kapan Mesti Dibawa ke Dokter?
Nah, sekarang terserah padamu. Apakah kamu tipe yang mencari aman dengan menghidari nge-teh pada saat makan ataukah sebaliknya :D. [*]
Penulis: dr. Martga Bella Rahimi, M.Biomed, atau akrab disapa dr. Mimi adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK Unand) yang sempat mengabdikan diri sebagai dosen di Bagian Anatomi selama 3 tahun 8 bulan. Sejak masa kuliah, dr. Mimi aktif menulis baik berupa buku maupun di media massa. Saat ini dr. Mimi yang merupakan pemilik Klinik Medika Surya juga dipercaya sebagai Manajer Klinik Cemara PKBI Sumbar. Untuk menghubungi dr. Mimi dapat melalui WhatsApp 0822-1364-8186 ataupun melalui email dr.martgabellarahimi@gmail.com
Referensi:
- Trevisanato, Siro & M.D, FRCP(C). Tea and Health. Nutrition Reviews. (2009). 58. 1 - 10. 10.1111/j.1753-4887.2000.tb01818.x.
- Morlock GE, Heil J, Inarejos-Garcia AM, Maeder J. Effect-Directed Profiling of Powdered Tea Extracts for Catechins, Theaflavins, Flavonols and Caffeine. Antioxidants (Basel). 2021 Jan 15;10(1):117. doi: 10.3390/antiox10010117. PMID: 33467615; PMCID: PMC7830616.
- Gan, Ren-You & Zhang, Dan & Wang, Min & Corke, Harold. Tea in Health and Disease. (2019). 3390/books978-3-03897-987-6.
- Green RJ, Murphy AS, Schulz B, Watkins BA, Ferruzzi MG. Common tea formulations modulate in vitro digestive recovery of green tea catechins. Mol Nutr Food Res. (2007) Sep;51(9):1152-62. doi: 10.1002/mnfr.200700086. PMID: 17688297.
- Singh, S & Maloy B. Mandal. Capsaicin and Gut Motility. International Journal of Life scince & Pharma Research. (2015). April; 5(2):L46-53.
- Lisa Klopfer. Padang restaurants: Creating “ethnic” cuisine in Indonesia, Food and Foodways. (1993) . 5:3, 293-304, DOI: 10.1080/07409710.1993.9962009.
- Nurmufida, M et al. Rendang: The treasure of Minangkabau, Journal of Ethnic Foods. (2007). 4(4):232-235.
- Naoaki H & Kenji O. Effects of Capsaicin and Isoflavone on Blood Pressure and Serum Levels of Insulin-Like Growth Factor-I in Normotensive and Hypertensive Volunteers with Alopecia, Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry. (2009). 73:6, 1456-1459, DOI: 10.1271/bbb.80883.
- Shirani F, et al.The effect of red pepper/capsaicin on blood pressure and heart rate: A systematic review and meta-analysis of clinical trials. Phytotherapy Research. (2021). Nov; 35(11).