Pada waktu kuliah dengan Pak Gusdi itu pula saya menulis profil beliau, yang berjudul “Gusdi Sastra: Doktor Neurolinguistik Pertama di Indonesia” (Haluan, 13 November 2017). Klaim sebagai doktor neurolinguistik pertama di Indonesia memang datang dari beliau sendiri. Untuk memastikan hal itu, saya bertanya kepada Pak Totok. Pak Totok membenarkan bahwa Pak Gusdi doktor neurolinguistik pertama di Indonesia.
Neurolinguistik sebenarnya bukan bidang yang ditekuni Pak Gusdi dari awal. Berdasarkan skripsi dan tesisnya, beliau merupakan peneliti linguistik historis komparatif (LHK). Skripsinya pada 1988 berjudul “Leksiko Statistik dan Glotokronologi Bahasa Penghulu Jambi”, sedangkan tesisnya pada 1994 bertajuk “Rekonstruksi Fonologi Bahasa Kerinci”. Karena itu, saya tidak heran membaca artikel beliau tentang LHK pada buku Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II (1993). Artikel itu berjudul “Leksikostatistik atas Variasi Fonologis Bahasa Penghulu Jambi (Studi Komparatif Konstrastif dengan Bahasa Minangkabau)”.
Sebenarnya, Pak Gusdi tertarik mempelajari psikolinguistik sejak S-1 dan ingin menulis tesis tentang neurolinguistik sewaktu S-2. Menurut ceritanya saat saya wawancarai (2017), sewaktu ingin menulis skripsi tentang psikolinguistik, ia disarankan menulis tentang LHK karena dijanjikan untuk dikirim ke Jerman. Dulu ada kerja sama Unand dengan Frankfurt University. Namun, setelah ia tamat, kerja sama tersebut terhenti. Ketika kuliah magister di UI, ia mengenal Pak Totok, teman yang membuatnya makin tertarik mendalami neurolinguistik. Namun, saat ia akan menulis tesis tentang neurolinguistik, dosen pembimbing bidang itu belum ada di UI. Akhirnya, ia menulis perihal LHK lagi.
Daripada Pak Gusdi, Pak Totok justru lebih dulu meneliti neurolinguistik. Beliau meneliti neurolinguistik sejak S-1 hingga S-2. Beliau merupakan orang kedua yang menulis skripsi tentang neurolinguistik—orang pertama ialah Yundafi Husni dari Universitas Hasanuddin (1987). Judul skripsi Pak Totok pada 1993 ialah “Cacat Gramatikal pada Keluaran Wicara Penderita Afasia Broca”. Pada 2000 ia menulis tesis “Kecenderungan Kesalahan Fonologis pada Penderita Afasia Motoris”. Oleh karena itu, saya pikir Pak Totok dapat disebut sebagai pakar neurolinguistik. Beliau bahkan orang yang membuka mata kuliah Neurolinguistik di Universitas Indonesia setelah lulus S-2. Mata kuliah itu tutup ketika Pak Totok studi doktoral di Keio University, Jepang.
Namun, Pak Totok tidak melanjutkan untuk meneliti neurolinguistik sewaktu kuliah doktoral. Beliau memilih bidang linguistik komputasi sebagai topik disertasi. Judul disertasinya ialah “A Cross Cultural Multiple-Language Analysis System with A Semantic-Phonological Correlation Computing Method.” Sebagai informasi, linguistik komputasi adalah cabang linguistik yang mempergunakan teknik komputer dalam penelitian bahasa dan kesusastraan, a.l. dengan mesin penerjemah dan sintesis wicara (Kamus Linguistik, 2008). Ketika kembali mengajar di UI, beliau tidak lagi mengajar Neurolinguistik. Saya mendapatkan informasi dari Bu Felicianuradi Utorodewo, rekan Pak Totok sesama dosen di FIB UI, bahwa hingga kini tidak ada mata kuliah Neurolinguistik di UI karena tidak ada pengajarnya. Sepulang kuliah doktoral, Pak Totok justru membuka mata kuliah Korpus Linguistik.