Padangkita.com – Pertanyaan soal impor beras mengemuka dalam sosialisasi Capaian Tiga Tahun Jokowi-JK di Aula Pertemuan Universitas Andalas Padang yang diadakan Kantor Staf Presiden, Selasa (20/02/2018). Indonesia sebagai negara agraris mestinya tidak perlu melakukan impor beras, apalagi panen raya akan berlangsung pada Maret-April mendatang.
Menjawab pertanyaan itu, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan alasan pemerintah masih mengimpor beras karena masa panen padi tidak terjadi setiap saat. Sementara itu, masyarakat Indonesia mengonsumsi beras setiap hari.
“Beras tidak panen setiap saat, bermusim. Padahal kita makan tiga kali sehari. Ketika beras ada, tidak terjadi masalah. Namun, ketika beras tidak ada (menipis), pemerintah mesti melakukan impor,” ujar Yanuar.
Ia melanjutkan, impor beras tidak akan merugikan petani (harga murah saat panen raya). Hal itu karena beras yang diimpor pemerintah akan dijadikan cadangan beras nasional.
Yanuar juga menjelaskan, kebijakan impor beras tergantung neraca beras nasional. Saat ini, kata Yanuar, produksi beras dikurangi jumlah konsumsi tidak mencukupi angka cadangan beras nasional. Padahal stok cadangan beras yang aman akan memudahkan pemerintah dalam mengontrol harga beras bila terjadi kenaikan yang tidak wajar.
“Kelangkaan beras akan menyebabkan kenaikan harga. Jika hal itu terjadi, pemerintah mesti melakukan operasi pasar agar harga kembali stabil. Jadi yang namanya ketahanan pangan bukan berarti tidak mengimpor sama sekali, kita belum berada pada posisi itu. Tapi saat ini pemerintah memastikan saat stok tidak ada masih punya power untuk mengimpor,” sambungnya.
Selain beras, Yanuar juga menyinggung soal impor jagung yang turut sering dipertanyakan masyarakat. Jagung, sebutnya, tidak hanya dikonsumsi manusia, tetapi juga oleh ternak. Jadi pemerintah melakukan impor untuk memastikan tidak ada fluktuasi harga yang berlebihan dengan langkanya komoditas jagung.
Ia juga menyoroti soal impor gandum yang malah tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Padahal jumlah impor gandum lebih besar dari beras dan jagung dan Indonesia merupakan salah satu pengimpor gandum terbesar di dunia. Menurutnya, impor gandum tidak mendapatkan sentimen yang terlalu kuat karena Indonesia bukan negara penghasil gandum dan juga terkait dengan pola konsumsi.
Kemudian, terkait besarnya konsumsi beras, lanjutnya, masyarakat Indonesia merupakan pembuang makanan nomor dua terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Kebiasaan tersebut di lapangan dapat dilihat dari prilaku masyarakat yang sering membuang sisa nasi saat makan. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia juga merupakan konsumen beras.
“Padahal kita punya makanan alternatif, seperti singkong, sagu, dan lainnya. Kecenderungan masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi beras, tanpa menyelinginya dengan makanan pokok lain tidak baik menurut dokter,” tambahnya.