Kepala Jorong Taratak Delapan yang juga Ketua Pokdarwis Talago Biru, Dasmeri, menyebutkan, jika libur lebaran area telaga selalu dipenuhi pengunjung. Tidak hanya pengunjung lokal, tetapi juga dari luar daerah. Talago Biru juga menjadi objek wisata favorit perantau Atar yang pulang kampung membawa sanak famili.
Lokasi Talago Biru sendiri terletak sekitar 37 kilometer dari pusat Kota Batusangkar, dapat ditempuh selama 30 menit dengan kendaraan bermotor. Untuk ke lokasi, pengnjung bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jalanan menuju lokasi juga sudah diaspal, meski terdapat sebagian sisi jalan yang rusak dan adanya tikungan dan tanjakan.
Soal perubahan warna air Talago Biru, kata Dasmeri, memang telah dipercaya membawa pertanda sesuatu peristiwa yang akan terjadi di tengah masyarakat.
"Jika air telaga berubah menjadi keruh, biasanya membawa pertanda akan terjadi musim sakit perut. Namun, jika berubah kemerahan akan terjadi musim sakit mata," kata Dasmeri.
Melihat potensi dan keunikan serta histori keberadaan Talago Biru itu, Pokdarwis berencana menjadikannya destinasi unggulan. Bahkan, kata dia, dalam perencanaan yang tengah disusun, banyak potensi lain yang bisa digabungkan dengan destinasi wisata telaga yang masih berada di sekitarnya.
"Ke depannya tentu kita berencana agar pengelolaan secara profesional, kita akan membuat spot-spot lainnya seperti pengadaan sarana serupa sepeda air, flying fox, perahu, serta taman, bahkan juga penginapan. Tahun ini kita dapat kucuran anggaran dari BUMNag, namun baru sebatas pengadaan sembilan sepeda angin dan tiga unit kendaraan ATV bagi anak-anak," ujar Dasmeri.
Untuk pembangunan fisik sendiri, lanjut dia, sejak empat tahun terakhir dibantu dari anggaran Dinas PSDA Provinsi Sumbar. Pembangunan yang telah dilakukan adalah dam pinggiran telaga, dan untuk tahun ini juga rencananya akan dilakukan lanjutan pembangunan fisik. Selain itu juga direncanakan jalan rambat beton sekeliling telaga.
Menurut cerita yang berkembang, tambah Desemeri, pada zaman penjajahan dahulu pernah akan dibangun dam di pinggiran telaga. Setelah masyarakat disuruh bekerja oleh kolonial mengumpulkan batu di tepian telaga dengan ukuran yang banyak, bebatuan itu justru hilang dan raib tanpa sisa dan tidak diketahui hingga saat ini kemana perginya.