Sejatinya, Pancasila sebagai norma dasar tidak hanya bermakna substansial-material, tetapi juga prosedural-formal. Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di Indonesia baik yang tertulis maupun tidak, harus mengacu kepada Pancasila sebagai rujukan tertingginya. Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang, saling menghormati, dan toleran (wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan dan persatuan (sila ketiga), demokrasi-musyawarah (sila keempat), serta solidaritas sosial yang berkeadilan (sila kelima).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik dan buruk masyarakat di ruang-ruang publik. Nilai-nilai tersebut terkait dengan rencana aksi untuk membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan seterusnya. Etika Pancasila menghendaki kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan kata lain, kampanye hitam, fitnah, isu SARA, berita bohong, dan kampanye negatif yang menyerang pribadi kontestan atau partai lain berarti melanggar etika Pancasila dan patut dikenai sangsi sosial dan politis, misalnya.
Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya menjadi national public norm dan leading principles, baik bagi penyelenggara negara (khususnya penyelenggara pemilu), parpol, elite politik, dan masyarakat sebagai subjek politik. Sistem ini tidak hanya menjadi rambu-rambu bagi perilaku politisi, tetapi juga bagi semua pemangku kepentingan. KPU, Bawaslu, konsultan politik, serta lembaga survei politik, memiliki kewajiban moral yang sama dan berkontribusi terhadap terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat, demokratis, dan manusiawi.
Lihat saja, berbagai kasus pengutamaan identitas politik dan pengenyampingan Pancasila tidak hanya menunjukkan keawaman masyarakat, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengamalan Pancasila. Karena pendekatan sosialisasi yang negara-sentris, Pancasila tidak dihadirkan melalui logika masyarakat. Salah satunya, logika keagamaan. Ini yang membuat pembenturan antara Islam dan Pancasila masih sering terjadi pada beberapa kelompok. Persoalan menjadi akut ketika bangunan konseptual Pancasila sendiri belum terumuskan dengan baik. Padahal bangunan ini diperlukan untuk memahami rasionalitas Pancasila.
Minimnya penjelasan konsepsi hubungan agama dan negara menurut Pancasila, misalnya, membuat sebagian muslim, terutama yang bergabung dalam gerakan Islam politik (islamisme) tetap menilai Pancasila sebagai ideologi sekuler, walau kenyataannya tidak demikian. Minimnya literasi yang tepat atas umat muslim ini terbaca di dalam panduan “P4 dan Ajaran Islam” yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bimas Islam (1987). Isinya hanya pendalilan lima sila berdasarkan ayat-ayat Al Quran, sedangkan berbagai konsep hubungan Islam dan lima sila tidak diuraikan.
Tanpa pemahaman atas berbagai konsep ini, literasi Pancasila tidak berujung pada penguatan pemahaman, tapi sebatas pembacaan doktrinal non-rasional. Dangkalnya literasi Pancasila sangat disayangkan karena konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi tersebut merujuk pada hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya.
Sementara itu, agama menguatkan negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik. Persis seperti ditegaskan Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo (1991) menyebut demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan. Di dalam desain ini, makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial.
Namun pemahaman yang kurang lengkap mengenai Pancasila acapkali terjadi, begitu juga terhadap agama, utamanya Islam. Gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme merupakan momok mengerikan karena telah membuat citra Islam lekat dengan agama teror yang menyukai jalan kekerasan. Celakanya, eskalasi gerakan ini bukan makin surut, namun justru kian meningkat. Hasil survei Wahid Institute 2017 lalu, misalnya, menyebutkan bahwa sebanyak 0,4 persen atau 600.000 penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen atau 11 juta orang berpotensi bertindak radikal.
Tak hanya itu, survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2017 juga menyebutkan sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi tertarik pada paham radikal. Data ini menunjukkan bahwa radikalisme merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian khusus. Karena itu, dalam konteks mengatasi gerakan radikalisme, pemahaman ihwal pentingnya memperkokoh komitmen Islam kebangsaan perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Islam kebangsaan merupakan Islam yang memiliki semangat cinta tanah air (hubbul wathon).
Sejarah mencatat, Islam kebangsaan telah menjadi kekuatan fundamental dalam upaya melawan kolonialisme. Islam kebangsaan mempererat tali persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathoniyah). Dalam bahasa Prof DR (HC) KH Ma’ruf Amin, Islam kebangsaan adalah Islam yang menerima kemajemukan. Bingkai kemajemukan yang dimaksud di sini harus bersifat politis-yuridis dan teologis. Bingkai politis-yuridis adalah kebijakan tentang bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila sebagai falsafah bangsa, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negaranya.
Artinya, keputusan politik para pendiri bangsa merupakan konsensus nasional. Sedangkan bingkai teologis adalah untuk mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Bingkai teologis ini menjadi perekat sekaligus pemahaman kepada seluruh elemen masyarakat tentang begitu pentingnya menjaga integrasi bangsa ini secara bersama-sama, dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan nasional, baik kaitannya dengan NKRI maupun dengan Pancasila. [*]
Nofi Candra
Anggota DPD RI 2014-2019