KORUPSI sudah bagai kanker beringas yang begitu menakutkan bagi negara dan bangsa ini. Semua orang sudah tahu itu. Data berbicara. Setiap hari kita disesaki oleh berita korupsi. Kita menyimaknya dari berbagai media.
Belum selesai heboh korupsi oleh si Fulan, tiba-tiba ada lagi kasus lainnya yang dilakukan oleh si Fulan yang lain. Begitu seterusnya. Kadang curiga pula kita, jangan-jangan korupsi itu ada pula proses kaderisasi dan regenerasinya. Saking tak pernah berhenti dan bahkan semakin menjamurnya.
Kadang kita terlena, seolah memang sebegitulah jumlah korupsi setiap hari, bulan dan tahun. Padahal belum tentu. Padahal, sangat mungkin korupsi di negeri ini merupakan fenomena gunung es. Yang tertangkap dan ketahuan saja yang diungkap kasusnya. Yang merupakan kasus menyangkut publik figur saja yang kemudian viral di media. Selebihnya tidak terungkap. Kalau pun terungkap kemudian lewat begitu saja, dan orang-orang pun lupa.
Mirisnya, tak jarang kasus korupsi yang terungkap dan kemudian diproses secara hukum, vonis hukumannya sangatlah ringan. Sudah jamak terjadi, pelaku korupsi yang bukan orang sembarangan (kadang menteri, anggota DPR/DPRD, Gubernur, dan pejabat negara lain) baru kemarin ini rasanya dijebloskan ke penjara, eh tiba-tiba sudah bebas saja.
Baca juga: Kejati Sumbar Tetapkan 8 Tersangka Kasus Korupsi Dinas Pendidikan, Kerugian Negara Rp5,5 Miliar
Media sibuk pula memberitakannya. Kadang ada pula yang tidak diberitakan, tiba-tiba sudah keluar saja profil atau statusnya di media sosial. Atau malah sudah ikut pula bertarung di kontestasi Pemilu/Pilkada.
Itu baru dari segi kasus korupsi dan penanganan hukumnya. Di negara kita sekarang yang buram ikut-ikut pula penegak hukumnya. Sebagai lembaga yang merupakan anak kandung reformasi, dan diharapkan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut-ikutan pula bermasalah, atau dipermasalahkan. Bermasalah, karena dari internal lembaga ini sudah jadi rahasia umum mengalami pembusukan.
Dengan kata lain, orang dalam KPK sendiri yang sudah mulai pula korup, melakukan hal-hal yang melanggar undang-undang, baik undang-undang pidana maupun etika. Dipermasalahkan, karena sudah sejak sekitar 2019 lalu, saat UU No. 19/2019 disahkan, KPK secara sistematis dilemahkan. Semua orang juga sudah tahu itu.
Padahal semestinya kalau kita sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama, penyakit kanker yang menggerogoti aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya kita, KPK diperkuat. Agar kuat dan menjalankan fungsinya secara fleksibel tanpa beban kepentingan politik, KPK harusnya independen. Malang seribu kali malang, sejak 2019 itu secara sistemik KPK sudah berada di dalam cabang eksekutif. Intinya, KPK adalah “anak buah” Presiden. Risiko terdekatnya langsung menunggu: jika Presiden tidak bijak dan punya kepentingan yang tidak bisa ditahan, maka KPK malah bisa menjadi alat politik. Bukan alat pembasmi korupsi lagi.
Jadi, ibarat lantai rumah yang kotor, pembersih alias sapunya diragukan pula kebersihannya. Membersihkan yang kotor dengan yang kotor akan membuat kubangan super-kotor yang semakin susah membersihkannya. Dalam analogi perfilman, dapat pula dianalogikan para mafia atau monster mesti berhadapan dengan mafia lain yang berpura-pura sebagai polisi.
Lantas, entah sengaja atau tidak, publik dihebohkan dengan kasus-kasus yang dilakukan oleh pucuk pimpinan KPK, Ketua KPK, Firli Bahuri. Buntutnya, ia dinyatakan secara berturut-turut terlibat kasus pidana pemerasan kasus mantan menteri SYL pada Desember 2023 lalu, kemudian juga dijatuhi sanksi berat pelanggaran etik oleh Dewan Pengawas KPK di bulan yang sama. Alhasil, orang nomor satu di lembaga pemberantasan korupsi terdepan di negeri ini dicopot dari jabatannya pada 28 Desember 2023.
Seleksi Capim KPK: Momentum Revolusi KPK
Membahas mengenai perkembangan penanganan korupsi di negara kita akan tidak lengkap dan objektif tanpa melihat bagaimana kinerja KPK termutakhir. Ini sangat beralasan, disebabkan KPK diberi amanah sebagai institusi utama dalam kerja pemberantasan korupsi. Didapat data dari Transparency International (TI), betapa dua tahun terakhir, 2022 dan 2023, nilai Indeks Persepsi Korupsi negara kita terjun ke poin 34.
Ini berarti sama dengan poin di saat tahun pertama Jokowi mulai memimpin. Kesimpulannya, kembali ke titik nol. Padahal, di tahun 2019, capaian kita sempat menyentuh poin 40, poin tertinggi sejak penilaian TI di tahun 1995.
Berangkat dari fenomena itu, kita tentu sangat prihatin. Intinya, kita ingin KPK berubah dan menata diri kembali di tengah-tengah konstelasi status lembaga yang tidak lagi independen, rawan intervensi kepentingan politis. Setelah diperpanjang tahun lalu menjadi 5 tahun masa jabatan, maka kini, 2024, kita tiba di momen seleksi dewan pimpinan dan dewan pengawas KPK. Ini tentu menjadi momen krusial dan urgen untuk bisa menumbuhkan kembali kepercayaan publik yang sudah mencapai titik sangat rendah.
Mengenai kepercayaan publik ini, kita bisa mengambil satu di antara banyak lembaga independen sebagai bahan kajian. Adalah CSIS, pada akhir 2023, dalam survei lembaga yang dipercaya publik mendapatkan data bahwa KPK merupakan lembaga nomor 2 paling tidak dipercaya di antara 9 lembaga pengelola negara. KPK hanya mendapatkan kepercayaan publik sebesar, 58,8%, dan 40,1% publik tidak percaya. Angka ini hanya sedikit di atas DPR, yang mendapat 56,2% kepercayaan publik, sementara 42,8% lainnya publik tidak percaya.
Dari sini kita bisa bercermin, dukungan yang mestinya diraih KPK untuk memberikan kepercayaan diri yang optimal dalam rangka memberantas korupsi, justru didapat sangat minim. Harapan kini tertuju kepada calon pimpinan dan pengawas yang waktu pendaftarannya masih dibuka ejhak 26 Juni lalu sampai 15 Juli 2024 ini.
Sayangnya, dalam berbagai pemberitaan, kita menangkap realita bahwa jumlah mereka yang mendaftar masih jauh dari angka 5 tahun lalu. Spekulasi pun merebak, jangan-jangan para bakal calon yang potensial merasa kuatir dan tidak nyaman dengan kondisi internal dan eksternal KPK saat ini. Apa lagi dengan status kelembagaan yang tidak lagi independen, akan sangat rentan kerja dan kinerja pimpinan ke depan sarat dengan gangguan konflik kepentingan, bahkan tindak korupsi itu sendiri.
Sungguh pun begitu, media dan kalangan masyarakat sipil sangat diharapkan dukungan dan sokongan moralnya demi membaiknya potret pemberantasan korupsi di negeri ini. Meminjam apa yang disampaikan Nanang Farid Syam, pegawai generasi pertama KPK sejak 2002 sampai 2019 yang dikenal vokal dan masih menjaga integritas dan idealismenya, pemberantasan korupsi di masa kini dan masa depan ada di tangan kita semua.
Baca juga: Rakor Pencegahan Korupsi Wilayah Sumbar, KPK Sorot Satpol PP dan Pengadaan Barang-Jasa
Intinya, ‘ada’ atau ‘tidak ada’ KPK, perjuangan melawan korupsi harus terus bergelora. KPK mungkin bisa dilemahkan, masyarakat sipil jangan. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran terus menerus dan sinergi yang kokoh. Lawan korupsi dengan segala yang kita bisa, manfaatkan semua sumber daya secara optimal, dan teruslah konsisten.
[*]
Penulis: Mohammad Isa Gautama, Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi, Universitas Negeri Padang (PK-Gebrak-UNP)