Bukittinggi, Padangkita.com - Tenaga kesehatan atau nakes yang terdiri dari beragam profesi di rumah sakit harus patuh pada standar profesi, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan.
Hal itu diingatkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUP M Djamil Padang, Gustafianof saat menjadi pemateri di RSAM Bukittinggi, Selasa (23/11/2021).
“Selama mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku, nakes dilindungi oleh payung hukum. Mulai dari UU tentang Rumah Sakit, UU tentang Kesehatan, UU tentang Keperawatan, UU tentang Profesi Dokter, UU tentang Kebidanan, Peraturan Pemerintah hingga Permenkes. Hukum kesehatan sifatnya lex specialis, jadi tidak bisa dibawa ke ranah aturan umum,” kata pria yang akrab disapa Pak Nof itu.
Gustafianof yang merupakan kandidat doktor Fakultas Hukum (FH) Unand itu menambahkan, ada beberapa kasus antara pasien dan pihak rumah sakit yang bisa diselesaikan secara mediasi di Sumbar. Oleh karena itu, lanjut dia, dokter dan nakes dapat bekerja secara profesional dan kebebasan profesi sesuai peraturan, tidak dipersalahkan sepanjang memenuhi standar profesi dan SOP yang berlaku.
“Rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh petugas profesi bawahannya, baik sebagai pegawai tetap maupun tidak tetap," jelasnya.
Pada ksempatan yang sama, Plt Kepala Dinas Kesehatan Bukittinggi, Erwin Umar menyebut program sosialisasi berbentuk Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang digagas FH Unand bisa menambah wawasan tentang regulasi kesehatan bagi para nakes di Kota Wisata.
“Kami sebenarnya di jajaran Dinkes saat awal pandemi dulu sangat butuh pendampingan soal hukum. Kami tidak mampu mengambil kebijakan secara tepat dan cepat,” katanya.
Erwin menjelaskan, kondisi darurat kesehatan bisa mengimplikasikan masalah hukum, karena itu diperlukan bimbingan teknis hukum kesehatan. Erwin mencontohkan sejumlah daerah belum berani mencairkan insentif nakes yang menjadi ujung tombak penanganan Covid-19.
“Mungkin karena terbentur regulasi dan kebijakan, karena itu perlu bimbingan seputar hukum kesehatan ini,” katanya.
Dr Yussy A Mannas, Sekretaris Prodi Magister Kenotariatan FH Unand sebagai pembicara lainnya memaparkan salah satu dampak media sosial menimbulkan anggapan degradasi moral pada profesi dokter, muncul isu dokter hanya mencari profit, malpraktik, hingga dokter merugikan pasien.
“Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa isu ini jika terus dibiarkan, akan memunculkan defensive medicine. Artinya, dokter di masa datang bisa bersifat takut digugat sehingga tidak berani lagi mengambil keputusan terbaik untuk pasien,” kata Yussy.
Dulu rumah sakit tidak boleh digugat, kata Yussy, namun setelah lahirnya undang-undang rumah sakit, sudah bisa digugat jika menyebabkan kerugian bagi pasien.
“Hukum kesehatan menyebutkan ada 18 hak pasien yang harus diberikan oleh rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Namun, para penegak hukum harusnya bisa memilah antara risiko medik dengan wanprestasi atau malapraktik,” ujarnya.
Saat dokter sudah menangani pasien dengan SOP, lanjut dia, lalu muncul Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) misalnya cacat atau kematian ini sifatnya risiko medik, di mana dokter tidak bisa dipidana atau digugat.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Insentif Nakes Segera Cair dan Tepat Sasaran
“Namun bila ada kelalaian atau kesalahan tindakan yang menimbulkan kerugian bagi pasien, maka bisa dinilai sebagai wanprestasi, yang berimplikasi perdata atau pidana,” jelasnya. [*/pkt]