Ada kata merajuk, oleh orang Minang disebutnya: “ganyi”. Kalau seseorang sudah baganyi-berganyi, lain pula susah dan jengkelnya kita. Ganyi, baganyi, menunjukkan sikap dan rasa tidak senang atau sedih dengan cara mendiamkan diri atau menyisihkan diri.
Dalam kata lain, “ganyi” juga berarti, manggok. Pangganyi sama dengan pamanggok, yang jika diindonesiakan kita juga akan bertemu kata “ngambek”.
Punya teman, pacar, istri pangganyi, yaitu suka ngambek atau merajuk, memang harus dimaklumi, kalau tiba-tiba dia menjauh, tak mau diajak bicara, berdiam diri seakan sedang menyimpan bom dalam mulut. Untuk menjinakkannya, perlu waktu, atau bujukan khusus, atau pula kita minta maaf jika kita penyebab ganyi.
Menjadi pemimpin, minimal ketua kelompok atau rombongan, sebaiknya tidak dipilih orang pangganyi. Orang pangganyi mudah tersinggung, kadang sulit memaafkan. Tapi, bukan masalah mudah tersinggung, melainkan mudah melarikan ke perasaan, didramatisir oleh emosinya, kalau yang dirasakannya itu membuat hatinya layu. Jika ada orang hebat, pemimpin, tapi suka berganyi, maka orang akan bilang, kelemahannya cuma satu, pangganyi.
Seseorang lari dari rumah, karena ngambek, sudah banyak kita dengar. Kadang masalah sepele. Merasa tidak didengar, merasa diremehkan, merasa dianggap tidak penting. Susah pula menasehati, janganlah suka baganyi ke orang pangganyi. Karena sudah bawaan dirinya, makanya baganyi itu, kadang semacam ritual.
Masalahnya ada, jika orang tahu dengan perangai “ganyi” kita. Kalau ada niat mengajak kerja sama, melakukan sesuatu secara tim, orang pangganyi, sering ditinggalkan dengan alasan, “Nanti ngambek dia, baganyi dia, kita yang susah membujuknya. Urusan kita kan untuk yang lain, bukan untuk dia”.
Biasanya memang, kalau ada yang ngambek, berganyi, harus ada pula yang membujuk atau memberi pengertian. Cuma, tidak semua bisa begitu. Celakanya, orang membiarkan. Malahan, pura-pura tidak tahu kalau ada yang sedang ganyi. Alasannya, tidak elok, orang yang merisau-risaukan hati. Apalagi atas nama harga diri, maka ganyi, padahal persoalannya sepele, tak sangkut-menyangkut dengan martabat.
Parahnya, karena menurutkan kacau hati, orang keluar dari pekerjaan karena ganyi. Meninggalkan tanggungjawab karena ganyi. Orang model begitu, apa yang bisa kita harapkan. Membujuk, tentulah akan begitu saja terus.
“Menganggur si Anu sekarang ya?” kata seseorang. Dijawab yang lain, “Dia ngambek sama bosnya. Dia merajuk, ganyi, tapi tak dibujuk. Ketika minta mundur, diiyakan langsung.”
Belakangan ketahuan, bosnya bilang, susah memelihara orang gampang merajuk untuk kemajuan. Masak kita yang harus menjaga hatinya, wong, hati kita juga harus dijaga dari hal-hal yang tak penting.
Kata ganyi, adalah kata dimana, hati seseorang digambarkan dalam keadaan tidak stabil. Ada riak-riak kekecewaan, keruwetan psikologis sesaat, yang dampaknya, justru bagi si pangganyi sendiri. Memang, kata “ganyi” oleh orang Minang disampaikan untuk memahami perasaan seseorang dalam kondisi tertentu yang diakibatkan oleh sesuatu yang menurut si punya hati, terasa menyedihkan.
Ia berhiba hati, mungkin marah karena merasa dilecehkan. Namun, kecerdasan emosional, yang mestinya gampang memaafkan, dalam hal membujuk diri sendiri, obat agar tak mudah ganyi. Dalam ganyi, orang menjadi kanak-kanak. Seakan-akan minta dibujuk, diberi permen, ditawarkan janji-janji nanti kita main ini dan itu, naik pesawat atau kuda terbang.
Ganyi, diperlukan, karena ketika itu terjadi, kesimpulannya, kita semua harus saling menjaga. Diharapkan jangan sampai, tindakan, sikap, ucapan kita mengenai hati orang lain, yang membuatnya berganyi. Atau karena kita tidak menganggap janji dengan seseorang itu penting, sehingga merasa biasa-biasa saja membatalkannya, lalu ketika diajak kerja sama lain, untuk janjian lagi, orang akan menolak.
Kita mungkin akan bertanya, kenapa? Ketika dia menjawab kita tak tepat janji, suka seenaknya saja, eh malah kita bilang, “Gitu saja kok ngambek.” Artinya, bukan masalah ngambek, tapi masalah yang menyebabkan ngambek atau ganyi yang perlu kita perhatikan.
Baca juga: Garok
Dalam pergaulan, juga rumah tangga, pekerjaan, orang “ganyi”, sudah biasa. Ini bagian dari proses kehidupan sehari-hari, sejauh mana kita menempa jiwa dan kepekaan kita. Kalau seseorang yang lapang hati, tentulah tidak ada ganyitumbuh dalam dirinya. Dia akan jawab sendiri, “Gitu aja kok ganyi. Repot benar hidup ini.” [*]
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.