Orang Minang, ketika menyebut kata “cikik” atau “pancikik”, itu artinya sama dengan pelit atau kikir. Kata lain bagi orang Minang untuk arti yang sama, yaitu “ceke”, “panceke”. Kata “Cikik” dan “ceke”, saat ini, sesekali saja terdengar orang menyebutnya di ranah Minang ini. Mungkin ada satu dua di kampung-kampung, yang keseharian mereka, masih murni menggunakan bahasa ibunya. Menyebut “pancikik” bagi mereka yang kikir.
Kalau ada orang yang sudah dianggap “cikik” atau “pancikik”, dan penyebutan ini telah melekat sebagai bagian dari sifatnya, sekaligus tanpa disadari menjadi “merek dirinya”, maka orang bisa memaklumi kalau dia tidak mau berbagi kalau memiliki sesuatu. Orang tidak akan begitu kecewa, ketika ia punya makanan yang bisa dibagi, tapi dimakan sendiri. Karena, memang dia itu “cikik”, “pancikik” sejak dari dulunya. Pantangan berbagi atau memberi orang lain bagi dirinya.
Orang-orang kikir, selalu ada dalam kehidupan kita. Setidaknya, itu alasan lain kenapa kita bertemu atau memiliki kosa kata “cikik” dan “ceke”. Kadang kita berasumsi, perangai kikir lebih dulu ada, kemudian kata cikik atau ceke dan kata setara makna lainnya muncul untuk menjadi label sifat seseorang tersebut.
Karena itu, setiap kita melihat orang-orang yang kikir, kita selalu serta merta menyebutnya sesuai kosa kata yang ada dalam kepala kita. Kalau bahasa Minang kental dalam kehidupan kita, penyebutan cikik, pancikik, ceke, panceke akan terlontar begitu saja. Begitu juga ketika kita adalah orang yang dengan keseharian bahasa Jawa, Sunda, Makasar dan lainnya. Selalu, perangai atau sifat, memiliki kata untuk mendeskripsikan atau katakanlah untuk mendefenisikan dalam wujud yang kadang terasa absurd.
Orang pancikik, memang kadang menjengkelkan. Sehingga untuk mereka yang kikir, ada kesinisan yang dilontarkan untuk mereka, misalnya ada yang ngomel, “Kalau jagung beraknya, pasti dia makan lagi!” Umpatan demikian, adalah gambaran bagi orang kikir, betapa buruknya cara mereka memaknai hidup. Semua ingin dimakan sendiri, termasuk jika buang air besarnya adalah berbentuk jagung.
Kata “cikik”, adalah kata yang menawarkan makna, di mana seseorang mesti berbagi tapi tidak berada dalam keberbagian. Artinya, dia atau mereka, ingin menikmati sendiri apa yang telah didapat, sekalipun bagi dia berlebih. Sifat pancikik atau panceke ini, sumber keserakahan. Pikiran yang ada dalam diri mereka, dengan tidak berbagi, ia akan kaya, nyaman dari kekurangan.
Ada pula yang bilang, kaya kok “pancikik”! Kaya atau tidaknya, sesungguhnya bukan ukuran untuk orang tidakpancikik. Arti tidak cikik dalam hal ini, kebersediaan untuk berbagi dengan apa yang dipunya. Ini akhirnya terkait kemuliaan diri seseorang dan pemahaman terhadap nilai-nilai sosial, agama dan bagaimana ia memandang rezeki yang dimilikinya.
Cikik, mudah-mudahan bukan bawaan hati kita. Karena, kita menyadari, ketika memiliki sesuatu, kita bisa berbagi, di situlah kita mendapatkan kebahagiaan. Kata “cikik”, mesti dipahami sebagai sesuatu yang menyadarkan kita, kalau kata itu bukan untuk dimiliki sebagai perangai. Tapi, kata “cikik” sebagai kontrol, agar kita tidak bermereke “cikik” atau “ceke” dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Ngangak
Jangan saking cikiknya kita, banyak orang yang mengabaikan kita, enggan membantu dan menjauh dari kita ketika kita ada masalah. Orang “cikik”, kata teman saya, adalah orang yang takut berterima kasih. Karena, ia takut diberi karena selalu berpikir, menerima konsekuensinya tentu sebaiknya memberi juga. Sementara, bagi orang “pancikik”, menerima itu lebih baik daripada memberi. Ia ingin berterima kasih tapi enggan diterimakasihi. (*)
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.