Ngangak. Kata ini masih sering kita dengar di Ranah Minang. Setidaknya, ketika ia menjadi sebuah hardikan, kata ini menjadi terkesan spontan tersebutkan: “Ngangak!”
“Ngangak” berarti, pandir, bengal, bodoh, suka bertindak konyol, berperilaku cenderung gak masuk akal.
“Paja ko ngangak bana kironyo (Dia itu bodoh betul kiranya),” tukas seseorang untuk menyesali perbuatan, mungkin anak, teman, seseorang.
“Makonya jan ngangak juo, dikicuah urang (Makanya jangan bodoh, ditipu orang),” kata ini, untuk mempertegas, yang biasa kena tipu itu, orang yang bodoh. Padahal, kebetulan saja sedang sial, seseorang kena tipu atau sedang lalai. Tapi, dasar mungkin ayah, ibu atau kakaknya kesal, dia langsung bilang korban “ngangak!”.
Orang pintar, menyebut “ngangak” kepada mereka yang memarahi dan memaki korban penipuan yang dianggap “ngangak”! Sudahlah orang kena tipu, korban, kemalangan, dibilang pula ngangak. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sekarang, siapa yang “ngangak”? Tentu, secara akal sehat, kita yang menuding orang kemalangan atau kena tipu sebagai ngangak yang patut dikatakan sangat “ngangak”.
Dalam suasana dan kondisi lain, bagi orang Minang, ngangak ini juga bisa berarti melamun, termunung, tidak fokus melakukan pekerjaan. Makanya, kalau seseorang mendapat bos yang kasar, melihat kita ngelamun, kerja tidak fokus, dia akan menghardik, “Kalau ngangak kamu kerja, pulang saja...” Tapi, bagi yang baik hati, mengerti keadaan anak buah, si induk samang akan berkata, “Jan ngangak juo sadang karajo, beko salah-salah hasilnyo (jangan melamun sambil bekerja, nanti salah-salah hasilnya)”. Dalam hal ini, “ngangak: harus ditiadakan, karena ia merusak konsentrasi, bisa mengakibatkan pencapaian yang didapat tidak sesuai harapan.
Kalau ada orang bilang, “Ondeh mande, tangangak ambo mancaliak urangnyo (aduh mak, tangangak saya melihat orangnya),” berarti “tangangak” kali ini dalam artian terpesona. Makanya, kalau ada cewek cantik lewat di depan kita, si bapak terpelongo, terlihat oleh bininya. Si bini akan menghardik si bapak, “Maliek nan rancak, tangangak apak yo...” Artinya, tangangak, senada arti dengan “terpesona” atau “terpukau”. Melihat cewek cantik, terpesona bapak ya. Boleh juga orang menyebutnya, “tacingangak”; terpesona.
Bicara kata dasar “ngangak”, kita pun pernah mungkin, setidak nanti bakal mendengar orang menyebut, “pangangak”. Ini artinya, orang yang suka melamun. Saran orang cari karyawan, juga cari menantu, janganlah cari yang “pangangak”. Habis hari dibuatnya untuk bermenung. Tidak tahu apa yang akan diperbuat, mangangak atau pangangak saja tampaknya.
Memang, yang namanya manusia, tentu tidak selalu dalam keadaan cerah, fokus, terlihat cerdas, penuh konsentrasi. Sesekali, setiap orang, pasti punya masa-masanya, ia terlihat “ngangak”. Kadang, ada pula ketika sedang banyak masalah, bawaan seperti orang pangangak. Tapi, itulah diri kita, yang sepertinya, bakal mengalami, sesuatu yang bisa saja tidak diinginkan. Tapi, ngangak, pangangak, sekali dua, berketika waktu tertentu, hal wajar.
Berkenalan atau kembali bertemu dengan kata “ngangak” sebagai orang Minang, seakan bertemu dengan sesuatu yang asing, tapi ia memiliki makna, yang di dalamnya merupakan sifat atau keadaan manusia, suatu kaum atau realita yang terjadi akibat dari sesuatu tindakan atau yang mengakibatkannya. Ketika kita berteriak, “ngangak”, kita sedang menunjuk seseorang atau diri, sebagai bodoh. Dungu.
Begitu juga, ketika kita melihat orang dengan daya pukau yang lebih dari biasanya, mungkin dia sangat cantik, barangkali dia terlihat sangat heroik, bisa jadi ia menampilkan diri dengan penuh percaya diri, sehingga kita terpukau.
Baca juga: Inik
Terpesona, sembari bergumamam, “Tacingangak saya dibuatnya”. Kalau sudah kata tacingangak yang menjadi penilaian, maka nilainya adalah, menarik, memukau, luar biasa. Yang tidak menarik, tidak luar biasa, yaitu tadi: ngangak. (*)
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.