“Samalero raso badan,” kata seorang teman. Yang akan kita “sebut-sebut” dalam “Kato Bacari” kali ini, kata “samalero”. Kata tersebut, punya arti enak, menyenangkan, atau hal yang mengasyikkan, nikmat, dirasakan oleh diri seseorang yang diakibatkan oleh sesuatu.
Misalnya, seseorang yang setiap pagi suka berolahraga. Kalau tak bergerak dia setelah shalat subuh, rasa badannya pegal-pegal. Demi kesehatan.
“Kalau sudah olah raga, keluar peluh, samalero rasa badan ini,” begitu, kurang lebih, bisa menggambarkan kata samalero.
Waktu kecil, saya sering ke sawah. Siang diantar nasi. Waktu istirahat, duduk berangin-angin di dalam pondok. Angin meniup tubuh berkeringat, berbau aroma tanah sawah, kadang membuat mata terkantuk-kantuk tanggung. Ketika saat makan, dibukalah bungkusan nasi. Wow. Sambalado, uwok patai, dan lainnya. Makan kita lahap. Pas siap makan, sendawa lepas, sela gigi dicukil. Kalau ada gumam atau ucapan kekenyangan karena makan terasa enak, dia akan bilang, “Samalero betul makan di pondok ini.”
Artinya, samalero adalah sesuatu yang dirasakan diri (hati), setelah melakukan atau menikmati sesuatu. Kata ini memang jarang kita dengar. Tapi orang Minang, masih mengenal dan paham arti samalero. Boleh juga, kata samalero, diucapkan sebagai kepuasan atau kenikmatan atas pengalaman merasakan apa yang kita rasakan, makan.
Tentu pernah merasakan, paling tidak melihat, seseorang di rumah, suka pakai kaus tipis, jarang-jarang dan sudah lusuh. Makin usang, makin jarang tenunan benang kaus itu, makin enak dipakai. Ketika ada yang bilang, pakaiannya layak digudangkan atau dijadikan kain lap, ia Cuma tersenyum. Bukan karena tidak mampu beli baju baru atau tidak sedang berhemat berpakaian, dihabiskan satu-satu dulu, baru diambil yang tersedia di lemari.
“Bukan pelit, bukan tak mau ganti yang baru. Tapi, kaus begini, samalero di badan, sulit pula cari gantinya...” Nah, kalau sudah begitu, kita bisa maklum, dia punya ukuran samalero untuk pakaian yang dikenakannya.
Samalero, adalah hasil dari suatu pengalaman. Karena kita merasakannya, menikmatinya, makanya kita memiliki kesimpulan. Kesimpulan samalero tentu tidak bisa dikriteriakan. Dia hanya bisa dipastikan oleh diri seseorang, yang kita, satu sama lain, tentu berbeda pula kepekaan untuk memastikan apakah ini atau itu sudah bisa disebut samalero.
Seseorang yang tiba-tiba ingin pindah dari kota ke desa, pada sebuah kampung yang lengan namun hijau, tentu bisa saja dia memiliki jawaban, mencari tempat yang samalero. Ia boleh saja bila, tinggal di kota yang macet, penuh polusi, tidak samalero. Biar makan dengan sayur, samba lado, pagi ke sawah, tapi hal itu terasa samalero.
Merasakan samalero, tentu, penting dalam hidup ini. Rasa hidup, bisa pula kita maknai, seberapa banyak pengalaman, perasaan mencoba atau merasakan sesuatu, yang berdampak samalero. Kalau kita tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang memberi samalero, kita sudah boleh dibilang, sedikit kehilangan rasa bahagia.
Rasa bahagia, adalah salah satunya, kita bisa meyakini apa yang kita amakan, apa yang kita pakai, apa yang kita lakukan, berdampak pada kesenangan riil pada diri sendiri, yang semata, kita yang merasakannya.
Samalero, bisa bermakna luas. Seseorang yang barusan sembuh dari sakit, perlahan mulai makan enak, mulai merasakan semangat, ketika ditanya keadaannya oleh sahabat atau teman sejawat, dia bisa menjawab, “Alhamdulillah, kini rasa badan sudah mulai samalero. Mudah-mudahan, dalam seminggu ini sehat total...”
Kita yang mendengar saudara atau teman yang baru sembuh sakit mulai merasakan samalero tubuhnya, tentu senang pula. Maka, boleh pula kita mengatakan, “Minggu depan saya traktir. Ada tempat makan yang enak. Samalero di sana. Alami!” (*)
Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.