Pakuak

Pakuak

Yusrizal KW. [Foto: dok.pribadi]

Orang Minang, sangat mengenal kata “pakuak”. Artinya, bisa saja membacok, memukul dengan golok atau menetak dengan benda tajam. Kenapa dia, kok sempat dirawat di rumah sakit? “Kena pakuak!” Itu artinya, ia sedang menderita luka-luka, karena habis kena pakuak, digolok orang.

Kena pakuak, tentulah sangat tidak enak. Apalagi, kena pakuak dalam artian “tipu”, “kicuah”, “dikadali”, atau “terpaksa rela”.

Artinya, kalau kita membeli sesuatu, tidak sesuai harga normal, lebih mahal berlipat-lipat, itu namanya kena pakuak. Di negeri kita, Ranah Minang juga demikian, sangat banyak tukang pakuak. Tukang pakuak, adalah orang yang selalu punya kesempatan untuk menipu harga pada kita dalam berbelanja, dalam mendapatkan sesuatu, ya sesuatu bernilai uang.

Pergilah ke beberapa objek-objek wisata yang ada di negeri kita. Belilah segelas minuman mineral atau sejenis teh atau minuman kaleng. Harganya, kadang dua kali lipat harga wajar. Tapi, karena kita sedang di objek wisata, di seluruh lingkungan tersebut harganya sama, kita terpaksa membeli dengan harga sangat mahal. Ironis memang. Kita dengan seperti rela, siap dipakuak, dan memberikan uang lebih kita untuk membeli sebotol minuman atau sepiring rujak, yang sangat mahal.

Perangai “tukang pakuak” ini, ternyata telah banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Orang kita beberapa, kalau berbisnis, konsumen atau pelanggannya tidak tahu harga pasaran, maka kecenderungan yang muncul adalah, memakuak sebesar-besarnya. Kita yang jujur-jujur berbelanja, percaya setiap orang baik, baru terkejut ketika ditanya teman, “Ini barang belinya berapa?” Ketika kita sebut harga, dia langsung kaget, “Apa? Mahal benar. Sini saya belikan, separo harga. Sudah kena pakuak pula ini namanya...”

Nah, kita yang kemudian menyadari baru kena pakuak, kesal dan kecewa. Bukan karena uang yang terlanjur dipergikan dalam harga yang mahal tadi. Tapi, kok, masih mau mencari nafkah untuak keluarga dengan cara mamakuak orang.

Di Hari Raya Idul Fitri, kadang tukang pakuak banyak bermunculan. Ini biasanya di objek wisata atau tempat rekreasi alam. Kita kadang percaya saja, makan sate paling mahal kena Rp10 ribu. Ternyata, setelah sate dipesan, dimakan habis, ditanya harga, ondeh mak, harganya malah menjadi lebih dari perkiraan. Satenya pun tidak enak. Air mineral yang biasanya Rp2.500, tiba-tiba dihitung sebagai Rp5 ribu.

Mau protes. Mana bisa. Semua sudah di dalam perut. Paling-paling, untuk mengungkapkan rasa tidak senang karena sedang dipakuak, kita bertanya berkali-kali, “Berapa sate tambah air mineral?” Ketika orang yang punya jualan menjawab dengan dingin, kita merogoh saku dengan cemberut.

Ternyata, ketika kita menemukan kata “pakuak”, ketika itu pula menyadari, dunia selalu punya tempat untuk orang-orang tidak jujur. Mereka yang mencari hidup, menyekolahkan anak dan memberi makan anak, dengan cara mamakuak (menipu orang lain), sepertinya nyaman-nyaman saja. Kadang kita berpikir, anak atau keluarga yang dibesarkan dengan uang pakuak, apakah akan selamat dunia akhirat. Yang dicemaskan, anaknya kelak menjadi tukang pakuak paling sadis dan tanpa malu.

Inilah, barangkali, ciri bangsa yang layak mendapatkan kehancuran. Dimana-mana, tersedia tukang pakuak. Dan pedihnya, ketika kita menyadari sedang dipakuak seseorang, apalagi teman, kita hanya mampu mengurut dada. Paling-paling kita hanya bilang, “Janganlah kawan dipakuak juga!”

Pakuak, ya pakuak, adalah kata yang mengingatkan kita pada orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan lebih dengan mudah, dengan kondisi yang terpaksa, di saat orang tak punya pilihan atau tidak mengetahui hal sesungguhnya. Jika kita, teman atau sanak saudara dikenal sebagai tukang pakuak, tentulah kita akan dihinakan orang, tidak dianggap. Tapi, bagi mereka yang biasa mendapatkan uang, berbisnis dengan cara mamakuak, rasa malu dan bersalah, itu betul yang tidak dia punya.

Biasanya, orang yang suka menipu, memanfaatkan ketidaktahuan orang sebagai pintu masuk mencari keuntungan pribadi, tidak pernah berpikir tentang orang lain. Juga tidak memahami, kalau perbuatannya akan membuat hidupnya semakin dipenuhi semak gelisah dan tidak nyaman. Ah. Sekali lagi. Manalah dia peduli itu. Pakuak, itulah jalan percepatan pendapatan.

Baca juga: Cingkahak

Namun, jika banyak orang menydari dipakuak itu tidak enak, tentu kita semua bisa mematikan karir juru pakuak. Misalnya, meminimalisir peluang kena pakuak. Ke objek wisata bawa nasi, beli minuman di luar, dan kalau menawar sesuatu harga yang diberi terlalu mahal menurut logika kita, putuskan untuk tidak. Tapi, jika kita tahu orang itu mau mamakuak kita, terus kita rela saja dipakuak, itu artinya kita pun mamakuak, memeras atau menipu diri sendiri dengan sadar.


Penulis: Yusrizal KW, dikenal sebagai penulis cerita pendek dan telah melahirkan tiga buku kumpulan cerpen. Pernah menjabat Redaktur Budaya Harian Padang Ekspres 2005 – 2020.

Baca Juga

Nobar Film 'Sadang di Bawah', Mahyeldi Dukung Industri Kreatif Lokal Minang
Nobar Film 'Sadang di Bawah', Mahyeldi Dukung Industri Kreatif Lokal Minang
Roberia Apresiasi Seminar tentang Pendidikan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau
Roberia Apresiasi Seminar tentang Pendidikan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau
Pendaftaran Tanah Ulayat: Gubernur Mahyeldi  Terima Penghargaan dari Kementerian ATR/BPN
Pendaftaran Tanah Ulayat: Gubernur Mahyeldi Terima Penghargaan dari Kementerian ATR/BPN
Braditi Moulevey Terpilih jadi Ketua DPW IKM Jakarta, Andre Rosiade: Insya Allah lebih Baik
Braditi Moulevey Terpilih jadi Ketua DPW IKM Jakarta, Andre Rosiade: Insya Allah lebih Baik
Tradisi Marandang Perlu Diwariskan, Jangan Sampai Anak Muda Cuma Tahu Lezatnya saja
Tradisi Marandang Perlu Diwariskan, Jangan Sampai Anak Muda Cuma Tahu Lezatnya saja
Memaknai Semangat Marawa di Kostum dan Perlengkapan Kontingen Sumbar di PON XXI
Memaknai Semangat Marawa di Kostum dan Perlengkapan Kontingen Sumbar di PON XXI