KONDISI bangsa belakangan ini sangatlah memprihatinkan. Seakan-akan terjadi perlombaan dalam melapor orang ke Kepolisian dengan dalih melakukan penghinaan terhadap agama ataupun negara.
Secara hukum tidak salah bila melakukan pelaporan pidana untuk membela hak dan kehormatan. Akan tetapi, sangat disayangkan bila hal demikian haruslah berlabuh semuanya di ranah hukum. Apakah hukum pidana selalu menjadi sarana penyelesaian masalah?
Pada hakikatnya hukum pidana bukanlah sarana untuk menyelesaikan segala masalah. Bila ada cara lain tanpa pemidanaan, bukankah itu lebih baik? Terlebih pada perkara penghinaan atau pencemaran nama baik.
Harusnya dalam perkara-perkara semacam itu diselesaikan dengan perundingan antara kedua belah pihak. Pembahasan ini bukan bertujuan untuk mengerdilkan hukum.
Sekilas mengingat ke masa lalu, bangsa Indonesia terkenal dengan sifat sopan, santu, ramah tamah dan pemaaf-nya. Pada masa lalu sifat-sifat ini yang menjadi identitas nilai bangsa Indonesia.
Namun sepertinya, beda masa, beda pula sikap. Jika dikaitkan dengan persoalan di atas, nampaknya nilai-nilai yang dulu menjadi identitas bangsa luntur dikikis zaman. Kita lebih suka memenjarakan orang bila merasa tersinggung. Padahal hanya soal pendapat saja.
Kita seakan memiliki sensitivitas yang tinggi, mudah tersinggung. Namun juga mudah menyinggung. Jika diperhatikan, hal seperti ini sudah menjangkit hampir di seluruh lapisan maskara. Tidak lagi menimbang identitas intelektual.
Kondisi seperti ini tentu tidak baik terjadi terus menerus. Kemungkinan terburuk, bisa saja memicu kehancuran bangsa.
Untuk mengatasi masalah ini, minimal ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, mengupayakan kembali penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan.
Tidak ada salahnya memulai dengan musyawarah, duduk bersama untuk mengonfirmasi cerita ataupun mendiskusikan cara penyelesaian masalah. Tentunya yang dikedepankan adalah kepala dingin, tidaklah mengedepankan ego pribadi atau golongan. Yang terpenting dengan musyawarah permasalahan dapat diselesaikan.
Kedua, mengenalkan budaya konfirmasi permasalahan. Memang mirip dengan konsep musyawarah, namun hal ini lebih menekankan akan tidak terjadinya kesalahpahaman. Belakangan ini sangatlah mudah terjadi kesalahpahaman diakibatkan informasi yang didapat sudah dibumbui terlebih dahulu. Misalnya saja ada pernyataan yang mungkin saja akan menimbulkan banyak penafsiran. Untuk menentukan secara jelasnya tentu hal itu haruslah dikonfirmasi terlebih dahulu agar tidak salah paham.
Hal inilah yang sangat jarang dilakukan. Mudahnya tersulut emosi ketika mendengar atau membaca informasi belum dapat dipastikan kebenarannya tanpa ada upaya konfirmasi terlebih dahulu. Kedua solusi di atas tidak akan berhasil dilakukan jika tidak didukung oleh orang-orang yang benar-benar ingin untuk melakukannya. Diperlukannya sikap jiwa besar, pemaaf dan kritis agar hal ini dapat diwujudkan.
Terlihat aneh ketika sesama anak bangsa saling berlomba untuk melaporkan saudaranya hanya karena permasalahan kesalahpahaman belaka. Hal ini tentunya akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang akan merugikan diri dan bangsa Indonesia. Sudah saatnya kegaduhan-kegaduhan diselesaikan. Cobalah untuk sama-sama berlapang dada dan memiliki jiwa besar dalam hidup. Tidak saatnya untuk ribut dengan sesama saudara, apalagi sampai membuat kegaduhan.
Kesadaran dari seluruh manusia yang berwarga negara Indonesia untuk menggali lagi nilai-nilai luhur bangsa dimasa lampau yang sempat ditinggalkan. Dengan tertanamnya nilai-nilai luhur dalam diri setiap kalangan anak bangsa, permasalahan pun akan mudah diselesaikan. Kegiatan lapor melapor tidak akan seramai sekarang. Kita harus ingat, kita ini satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Persatuan harus ditegakkan demi kemaslahatan bangsa kedepannya.