PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengabulkan grasi untuk mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Ia dan Penasihat Hukumnya telah mengajukan grasi kepada Presiden sejak 9 Mei 2015 dan dikabulkan pada Januari 2016. Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 1/G Tahun 2017 untuk hal itu. Dalam Kepres tersebut dinyatakan Antasari mendapatkan pemotongan masa tahanan selama 6 tahun, dari 18 tahun masa tahanan yang harus dijalaninya.
Sebenarnya, Antasari telah dinyatakan bebas bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Tangerang, Propinsi Banten, sejak 10 November 2016. Antasari memperoleh keringanan hukuman berupa bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga dari masa tahanan 18 tahun penjara, vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada 11 Februari 2010. Sebelumnya sejak 14 Agustus tahun 2015, Antasari juga sudah menjalani proses asimilasi setelah melewati setengah masa tahanan. Selama masa asimilasi itu, Antasari bekerja di kantor notaris Handoko Salim di daerah Tangerang.
Setelah mendapatkan bebas bersyarat, Antasari gencar melakukan ‘perjuangan’ untuk pembersihan nama baiknya. Ia tetap bersikukuh tidak bersalah atas kasus yang menjeratnya.
Jika mengingat kembali kasus Antasari, ia dinyatakan terbukti bersalah karena turut serta melakukan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen (Direktur Putra Rajawali Banjaran). Kasus ini lantas menjadi kontroversi, banyak orang meyakini Antasari adalah korban kriminalisasi.
Pasca mendapatkan grasi, Antasari langsung menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Pertemuan inisiatif Antasari ini, bahkan terlihat memperoleh waktu khusus dari Presiden. Namun, kabarnya pertemuan itu sebenarnya sudah lama diajukan oleh Antasari melalui Menteri Sekretaris Negara.
Banyak dinamika hukum dan politik yang timbul terkait grasi yang diberikan Presiden Jokowi kepada Antasari. Apakah ini ada hubungannya dengan penahan Aulia Pohan – besan Susilo Bambang Yudhoyono? atau ada alasan lain? hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi banyak pihak.
Mekanisme Pengajuan Grasi di Indonesia
Istilah grasi sebenarnya dapat kita temukan di Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Secara etimologis, grasi berasal dari bahasa Belanda berarti anugerah atau rahmat. Dalam terminologi hukum diartikan sebagai keringanan hukuman yang diberikan kepala negara kepada terhukum setelah mendapat keputusan hakim atau pengampunan secara individual.
Di Belanda grasi dikenal dengan istilah gratie atau genade yang berarti rahmat. Pengertian grasi dalam arti sempit berarti merupakan tindakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana atau hukuman yang telah diputuskan oleh hakim.
JCT. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan JT. Prasetyo (1995) menyatakan bahwa grasi adalah wewenang kepala negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukum yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat atau bentuk hukuman itu.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi), menjelaskan bahwa Presiden berhak untuk memberikan pengampunan berupa: 1) Perubahan, dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang narapidana; 2) Peringanan, pengurangan, dari pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan sebagai pengganti denda atau karena telah dapat menyerahkan suatu benda yang telah dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara seperti yang telah diputuskan hakim atau pengurangan besarnya hukuman denda; 3) Penghapusan, meniadakan pelaksanaan pidana baik hukuman penjara atau denda yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang, pengampunan menghapuskan akibat-akibat pemidanaan, bukan karena pemidanaannya sendiri.
Jika kita lihat Pasal 1 ayat (1) UU Grasi menyatakan bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Tetapi di dalam pelaksanaannya di Indonesia, istilah yang terkait dengan grasi adalah amnesti, abolisi dan rehabilitasi, serta remisi.
Mengenai proses pengajuan grasi, dijelaskan di dalam Pasal 3 UU Grasi yang menyatakan permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Pasal 5 ayat (1) menyatakan Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Ayat (2) menyatakan jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden yang dinyatakan oleh Pasal 6 ayat (1).
Pasal 6 Ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. Dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada MA, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, maka Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.
Berdasarkan Pasal 11 UU Grasi menyatakan Presiden bisa melakukan tindakan berupa: 1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan MA, 2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dan 3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan MA.
Menarik jika menyimak pendapat Yusril Ihza Mahendra terkait pemberian grasi ini. Yusril berpendapat, sudah sewajarnya Presiden memberikan grasi kepada Antasari. Tetapi, grasi yang diberikan itu seharusnya adalah grasi demi hukum, bukan grasi biasa karena permohonan dari Antasari sendiri. Karena grasi demi hukum merupakan tindakan yang diambil Presiden untuk membebaskan seseorang dari hukuman.
Tindakan ini bukan sebuah intervensi terhadap badan peradilan (Mahkamah Agung). Tapi hal ini tetap memberikan harapan terang terkait penegakan hukum kedepannya. Terutama di dalam pemberian grasi kepada terpidana yang pernah menjadi ketua KPK yang sarat dengan kepentingan politik yang juga dinyatakan dalam UU Grasi Pasal 1 ayat (1) dan memperhatikan Pasal 11 ayat (1), (2) dan (3).
Merujuk pada konstitusi dan aturan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Presiden sudah menjalankan kewenangannya secara tepat.