Berita Padang, berita Sumbar terbaru dan berita Demo Omnibus Law UU Cipta Kerja Padang: Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Jaringan Penyandang Disabilitas menyatakan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Padang, Padangkita.com - Sejumlah organisasi yang tergabung dalam "Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja” mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.
Organisasi yang tergabung dalam “Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja” ini antara lain PSHK, SIGAB, Yayasan SAPDA, Perdik Makassar, Komnas Perempuan, Institute Inklusif Indonesia.
"Mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu membatalkan UU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari dari hari ini," ujar Direktur SAPDA, Nurul Saadah, perwakilan “Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja” saat konferensi pers daring lewat Zoom, Senin (12/10/2020).
Jaringan ini juga meminta pertanggungjawaban kepada sembilan fraksi di DPR dalam bentuk penjelasan tertulis kepada publik mengenai pengabaian kelompok penyandang disabilitas dalam pembahasan dan tidak dicantumkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai UU yang terkena dampak.
Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk mempublikasikan materi-materi terkait dengan UU Cipta Kerja yang aksesibel, baik audio maupun visual, bagi penyandang disabilitas. Selain itu, kata Nurul, Jaringan juga meminta tindakan kekerasan baik dari demonstran maupun aparat agar dihentikan karena melanggar hukum dan berpotensi menyebabkan seseorang menjadi disabilitas.
"Terakhir, mengajak kepada seluruh elemen organisasi penyandang disabilitas untuk bersatu mengajukan uji materiil judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi," jelas Nurul.
Sementara itu, peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi mengatakan, berdasarkan analisa dari “Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja”, ada 10 pertimbangan mengapa UU tersebut harus ditolak.
Pertama, kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Padahal substansi RUU Cipta Kerja sangat relevan dan akan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.
Kedua, UU Cipta Kerja tidak harmonis dan tidak sinkron dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Ketiga, UU Cipta Kerja telah melakukan kejahatan epistemik dengan masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. Paradigma cacat tersebut sangat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas model sosial dan hak asasi manusia yang melihat disabilitas sebagai akibat dari interaksi masyarakat dan tidak dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas.
Penyebutan istilah “cacat” sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 46 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; revisi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; penambahan Pasal 153 serta 154a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan penjelasan dari revisi Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa, “Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini”.
Selain itu, penggunaan istilah “cacat” juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Keempat, UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 27 ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
Pasal itu merupakan bentuk pelindungan negara terhadap hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam bangunan Gedung.
"Argumentasi bahwa ketentuan mengenai persyaratan kemudahan bagi penyandang disabilitas akan diatur dalam PP, sesuai dengan penambahan Pasal 37A UU Bangunan Gedung dalam UU Cipta Kerja, adalah tidak tepat karena dengan memindahkan ketentuan dari UU ke PP, maka telah menurunkan makna dari ketentuan itu dari jaminan HAM menjadi ketentuan yang bersifat administratif," sampainya.
Kelima, dengan dihapusnya Pasal 27 ayat 2 UU Bangunan Gedung, maka UU Cipta Kerja justru tidak mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan akomodasi yang layak dalam dunia kerja. Kewajiban penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari hak atas pekerjaan juga diatur dalam Pasal 11 huruf c UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Keenam, UU Cipta Kerja telah menambahkan satu syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, yaitu tercantum dalam revisi Pasal 154A huruf l UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mensyaratkan bahwa “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan”.
"Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut adalah diskriminatif, dapat merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif, karena seseorang yang menjadi penyandang disabilitas dalam dunia pekerjaan seharusnya masuk dalam skema program kembali bekerja, seperti dialihkan ke pekerjaan lain atau penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk mendukungnya tetap dapat bekerja tanpa hambatan," terang Fajri.
Ketujuh, UU Cipta Kerja tidak mencantumkan ketentuan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi BUMN/BUMD dan pemerintah/pemerintah daerah untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dari keseluruhan pegawai, yang saat ini tercantum dalam UU Penyandang Disabilitas. Hal itu tentu saja akan mengurangi kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses dunia kerja dan akan menjadikan penyandang disabilitas sulit dalam mengakses dunia kerja.
Kedelapan, UU Cipta Kerja masih menggunakan sehat “jasmani rohani” sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan atau menempati jabatan tertentu, yang merupakan tindakan diskriminatif bagi penyandang disabilitas. Selain itu, syarat sehat jasmani dan rohani juga merupakan hal yang sumir dan akan mendiskriminasi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan akses pekerjaan.
Kesembilan, UU Cipta Kerja tidak mengatur mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap pekerja perempuan khususnya perempuan penyandang disabilitas.
Kesepuluh, salah satu tujuan UU Cipta Kerja dibuat adalah untuk mendorong kemajuan ekonomi masyarakat dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam berusaha bagi masyarakat umum termasuk jenis usaha kecil menengah dan koperasi.
Baca juga: Ombudsman Sumbar Nilai Pengamanan Demo Tolak Omnibus Law di Padang Berpotensi Adanya Maladministrasi
"Namun UU Cipta Kerja ini meninggalkan kepentingan penyandang disabilitas untuk meningkatkan usaha ekonominya dengan sama sekali tidak mencantumkan poin-poin yang bisa memudahkan penyandang disabilitas untuk berusaha sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 perihal penyandang disabilitas, pasal 56-60," jelasnya. [pkt]