Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik

Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik

Ilustrasi mudik Lebaran 2022 atau Hari Raya Idulfitri 1443 H. [Foto: Ist.]

Keletihan dalam perjalanan panjang, tidaklah membuat jera. Silaturahmi dan nostalgia di kampung halaman adalah ‘doping’ yang menguatkan semangat ketika kembali menghadapi kerasnya hidup di Rantau.

Tradisi mudik sudah berlangsung ratusan tahun. Mudik sama tuanya dengan budaya merantau. Suku-suku perantau seperti Minangkabau dan Bugis, telah berabad-abad menjadikan mudik sebagai ritual individual dan kolektif. Tradisi ini tanpa disadari telah berubah menjadi ritual dahsyat di kemudian hari yang melanda seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Semula pengertian istilah mudik adalah pulang dari rantau. Kemudian pengertian mudik mengalami metamorfosis sesuai dinamika tiap-tiap daerah. Jadilah seperti tradisi saat ini. Pergerakan bangsa yang berevolusi kolektif pada momen yang sama. Alangkah dahsyatnya 85,5 juta orang (data Kementerian Perhubungan) bergerak bersama dari berbagai kota ke kota lain atau berbagai daerah pedesaan.

Dari etimologi, mudik lawannya hilir, jadi penunjuk arah yang lazim dalam masyarakat Melayu Sumatra. Berbeda dengan di Pulau Jawa, penunjuk arah biasa memakai mata angin (kulon, kidul, dsb.). Arah mudik menunjukkan arah dari asal sungai mengalir atau arah ke hulu sungai, sedangkan hilir arah ke muara sungai. Jadi disetiap daerah arah mudik dan hilir berbeda sesuai dengan topografi daerah tersebut.

Istilah mudik dari pandangan kultural adalah kembali ke kampung asal-usul leluhur. Mudik memiliki berbagai value atau nilai yang kompleks antara lain religius, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Minat dan semangat tradisi mudik seolah-olah tidak terbendung. Momentum bahagia yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas penduduk.

Tradisi mudik bukan hanya milik Indonesia, namun juga terjadi antara lain di Malaysia, Turki, India, dan China. Tradisi mudik adalah suatu fase relaksasi kejiwaan publik sekaligus relaksasi ekonomi politik suatu komunitas. Dalam tulisan ini, penulis mencoba meneropong dari perspektif Ekonomi Politik.

Perspektif Ekonomi Politik

Tradisi mudik sering jadi arena debat dikalangan pakar dan pengamat. Banyak pandangan yang positif, dan juga tidak kurang yang melihat dari sisi negatif. Bahkan ada yang dengan sembrono menuduh prosesi mudik sebagai ajang pamer kesuksesan di kota. Penulis tidak ingin mendikotomikan pandangan-pandangan dimaksud. Biarlah menjadi catatan dan memperkaya wawasan pembaca. Soal benar tidaknya itu persoalan lain.

Ibnu Khaldun (1342-1406), seorang ilmuwan muslim dalam bukunya Mukaddimah telah melahirkan pemikiran yang orisinal dan menakjubkan tentang ekonomi meliputi  bidang produksi, distribusi, pertukaran dalam teori nilai, uang, dan harga, serta teori tentang perdagangan internasional.

Selanjutnya sejalan dengan pemikiran Ibnu Khaldun, 4 abad kemudian, Adam Smith (1723-1790), bapak Ekonomi Politik modern, mengatakan bahwa untuk mencapai kemakmuran negara (the wealth of nation) setidaknya ada tiga faktor yang berkelindan yakni: the production of wealth, distribution of wealth, dan exchange of wealth.

Sederhananya begini, faktor distribution of wealth dapat digerakkan dengan kesepakatan kolektif yang terdiri dari formal (peran negara) dan informal (peran masyarakat). Nah, mudik dapat dilihat dari aspek informal karena disini letaknya faktor kultural (adat istiadat) dan agama.

Jadi, tradisi mudik adalah bagian dari the distribution of wealth yang dapat menciptakan kemakmuran negara bangsa (the wealth of nation). Secara langsung pula tradisi mudik juga akan mengangkat dan berpengaruh pada dua faktor lainnya yakni production dan exchange of wealth.

Mari kita telisik berdasarkan data. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2018, peredaran uang kartal (velocity of money) untuk bulan Ramadan dan Lebaran sebesar Rp188,2 triliun, mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen dari Ramadan tahun 2017 sebesar Rp163,2 triliun.

Berdasarkan sebaran wilayah, peredaran uang terbesar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mencapai 43,7 persen. Selanjutnya Jabodetabek 22,8 persen, Sumatra 19,9 persen, dan kawasan Timur 18,9 persen.

Dari data di atas, dapat dibayangkan dahsyatnya fenomena mudik dari aspek distribution of wealth. UMKM bergerak dengan gairah. Mereka dapat transfusi darah segar dari pemudik. Penulis takjub melihat kerumunan pembeli bakpia patuk dan soto soleh di Yogyakarta. Menurut mereka omzet bisa meningkat sampai 100%. Demikian juga karupuak sanjai di Bukittinggi, suwar suwir dan tape manis khas Bondowoso.

Eddy Cahyono, Tenaga Ahli Kedeputian I Kantor Staf Presiden, mengatakan bahwa setidaknya ada 4 alasan utama faktor ekonomi daerah:

Pertama, mudik akan memacu tumbuhnya sektor riil, yang meliputi mayoritas aktivitas ekonomi masyarakat, seperti makanan, minuman, pusat oleh-oleh dan kerajinan.

Kedua, mudik akan mempercepat redistribusi ekonomi dari kota besar ke daerah, dengan cash flow dari tradisi mudik yang meningkat pesat dari tahun ke tahun, apabila dapat diterjemahkan sebagai peluang pertumbuhan ekonomi regional, akan memiliki multiplier effect menstimulasi aktivitas produktif masyarakat, ditandai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di daerah, seperti penjualan oleh-oleh di rest area, lokasi wisata serta sektor riil dan jasa lainnya.

Ketiga, Mudik akan membawa pertumbuhan investasi di pedesaan, yang dapat menggerakkan semua sektor ekonomi di bidang peternakan, usaha kecil, industri rumahan, perikanan, bahkan di dalam bidang perdagangan.

Keempat, mudik juga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yakni melalui peningkatan konsumsi, mengingat sejak tahun 2016, pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum menggembirakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi hanya berkisar 5 persen sejak tahun itu. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2017.

Dengan demikian, fenomena mudik dapat memenuhi aspek distribution of wealth guna tercapainya kemakmuran negara bangsa (the wealth of nation). Oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah harus memperbaiki manajemen mudik dengan program yang lebih baik dari tahun ke tahun.

Peran Pemerintah

Tradisi mudik adalah sebuah pergerakan revolusi warga secara bersamaan. Pergerakan ini jangan dipandang enteng pemerintah. Pemerintah harus memperbaiki manajemen pelayanan yang semakin baik dari moda transportasi dan infrastruktur darat, laut, dan udara. Selain itu, jaminan faktor keamanan, kenyamanan, dan kelancaran migrasi.

Lebih jauh lagi, menurut Eddy Cahyono, khusus bagi pemerintah daerah harus melihat pemudik sebagai “investor domestik” sehingga perlu memfasilitasi berbagai event atau forum, yang menawarkan beragam potensi daerah, seperti wisata, UMKM, ekonomi kreatif dan lain-lain, yang memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

Pemerintah daerah dan pelaku usaha di daerah harus mampu mentrasformasi peluang ekonomi mudik dan pemudik sebagai “investor lokal” dalam pengembangan ekonomi daerah, dengan terus meningkatkan penyelenggaraan berbagai event atau media promosi daerah yang menyebar di berbagai pusat-pusat keramaian/tempat-tempat wisata yang menjadi tujuan para pemudik.

Dengan demikian ketiga aspek ekonomi politik production, distribution, dan exchange of wealth dapat berkelindan saling memperkuat menuju kemakmuran negara bangsa (the wealth of nation)

Kegiatan Mudik Pilihan

Berbagai aktivitas mudik selain silaturahmi antar keluarga juga sekalian wisata dan berburu kuliner. Selain itu, juga kegiatan ekonomi yang dibangun ketika mudik.

Menurut Prof. Dr. Musni Umar, Rektor Universitas Ibnu Chaldun (DetikNews, Rabu, 15 Agustus 2012, 13:23 WIB), kuat tarikan keagamaan yang telah menjadi budaya, karena Islam mengajarkan bahwa mereka yang sudah berpuasa akan diampuni dosa-dosanya.

Akan tetapi, yang diampuni hanya dosa di hadapan Allah, sedang dosa kepada orang tua, saudara kandung, tetangga dan sekampung, tidak akan diampuni kecuali saling bermaaf-maafan dengan jabat tangan melalui silaturahim antara satu dengan yang lain.

Peristiwa mudik Lebaran harus terus dipelihara, dijaga dan dilestarikan, karena dampak positifnya lebih banyak ketimbang dampak negatifnya. Yang harus dilakukan ialah mengurangi dampak negatif mudik dengan meningkatkan kesadaran para pemudik bahwa keselamatan dalam perjalanan mudik adalah segalanya.

Terdapat kegiatan mudik lebaran di berbagai nagari di Minangkabau yang layak untuk diangkat dalam tulisan ini. Selain menghimpun dana sosial pembangunan buat kampung halaman, juga dijadikan ajang sharing berbagai topik ekonomi dan bisnis, pendidikan, agama/adat, dan politik. Diskusi ini biasanya berlangsung akrab, hidup, equal, dan demokratis. Hasil diskusi dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Ranah dan Rantau yang akan dijadikan acuan pembangunan nagari. Dalam pada itu, tidak jarang pula menghasilkan linkage bisnis yang bermanfaat dalam pengembangannya.

Sepanjang pengetahuan penulis, kegiatan serupa juga terjadi di berbagai desa antara lain di Kabupaten Gunung Kidul, Tegal, Tasikmalaya, dan Garut, antara pelaku bisnis mikro yang sukses dan pembinaan kader-kader dari kalangan famili sendiri.

Model kegiatan produktif ini seharusnya di mapping oleh pemda setempat dan difasilitasi agar tradisi mudik benar-benar bermanfaat dan tidak terjebak dalam hura-hura yang mubazir.

Dari penjelasan tradisi mudik di atas dapat dirangkum berbagai kesimpulan:

Pertama, parameter ekonomi yang jadi rujukan dalam konteks ini yakni "Pemerataan" ekonomi, dengan tujuan untuk mengangkat ekonomi rakyat sehingga ketimpangan "gini rasio" dapat dipersempit. Ketika pemerataan tercapai maka parameter "Pertumbuhan" ekonomi akan mengikuti pula.

Kedua, pemerataan uang yang beredar di masyarakat dengan mendorong tradisi mudik sehingga hasil produksi kelompok UMKM daerah laku keras. Selain itu juga perlu didata besarnya bantuan dana yang diberikan kepada keluarga di kampung oleh pemudik. Hal ini penting untuk mengukur kekuatan gerakan "arus balik" ekonomi ke desa sebagai penyeimbang mekanisme ekonomi liberal yang menarik uang ke pusat misalnya melalui minimart berjejaring.

Ketiga, dari perspektif ekonomi politik telah menambah keyakinan kita bahwa tradisi mudik jika dikelola dengan baik akan menjadi sarana untuk tercapainya the wealth of nation.

Keempat, sinergitas pemerintah pusat dan daerah dapat dibangun secara kreatif guna memperoleh strategi yang tepat dalam mengembangkan aspek production, distribution, dan exchange of wealth, dengan mengacu pada local wisdom masing-masing daerah.

Kelima, selama ini belum tampak pengelolaan "revolusi" tradisi mudik secara serius dan terencana secara holistik oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka mendukung ekonomi rakyat antara lain ditandai dengan masih besarnya minat kaum urban dari pedesaan menuju metropolitan.

Mari kita tunggu political will pemerintah sehingga tradisi mudik dapat lebih produktif guna mengentaskan mata rantai  kemiskinan.

Pada gilirannya usaha rakyat menjadi maju, selain untuk kesejahteraan rakyat juga berimbas pada kestabilan politik negara bangsa.

Makkah, 25 April 2022

Catatan

- Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan yang dibuat pada 27 Mei 2019 dan dipublish sebelum tragedi Covid 19.

- Pada tahun 2022, meskipun mudik memakai moda transportasi umum masih mempersyaratkan adanya vaksin tahap 1, 2, dan booster (+ antigen) namun tulisan ini masih relevan membahas tentang kuatnya minat tradisi mudik bagi bangsa Indonesia.


Penulis: DR. Iramady Irdja, Pengamat Ekonomi Politik dan mantan Pegawai Bank Indonesia

Tag:

Baca Juga

Calon Wali Kota Padang
Calon Wali Kota Padang
Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Mengkhawatirkan! Menhub Minta Pemudik Sumatra Tunda Dulu Balik ke Perantauan
Mengkhawatirkan! Menhub Minta Pemudik Sumatra Tunda Dulu Balik ke Perantauan