Padang, Padangkita.com – Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) nomor 2, Nasrul Abit-Indra Catri menyiapkan rencana dan strategi untuk mengajukan sengketa hasil Pilkada Sumbar 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tim paslon Nasrul Abit-Indra Catri kita sedang menyusun rencana untuk menindaklanjuti ini (rekapitulasi hasil Pemilihan Gubernur/Pilgub Sumbar 2020) sesuai ketentuan hukum berlaku, tentunya menyangkut sangketa hasil.
Langkahnya adalah ke MK," kata Roni TN, saksi pasangan Nasrul Abit-Indra Catri sesaat setelah pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar tentang rekapitulasi hasil Pilgub Sumbar, Minggu (20/12/2020) sore.
Sebelumnya, Roni telah menolak menandatangani berita acara pleno penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilgub Sumbar. Selain dia, saksi dari paslon nomor urut 1, Mulyadi-Ali Mukhni dan saksi paslon nomor urut 3, Fakhrizal-Genius Umar juga menolak menandatangani berita acara pleno.
Penetapan rekapitulasi hasil Pilgub Sumbar 2020 dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar melalui pleno yang digelar di Hotel Mercure di Jalan Purus IV, Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.
Diketahui, dalam pleno itu KPU menetapkan paslon nomor 4, Mahyeldi Ansharullah-Audy Joinaldy sebagai peraih suara terbanyak dengan perolehan mencapai 32,43 persen atau 726.853 suara. Sementara, paslon nomor urut 2 memperoleh sebanyak 679.069 suara atau 30,30 persen.
Menurut Roni, pihaknya mengendus banyak dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi sejak dimulainya tahapan pilkada hingga hari pencoblosan.
Roni beranggapan, pelanggaran dan kecurangan ini seolah-olah terjadi secara sistematis dan terstruktur. "Pelanggaran terjadi secara masif di lapangan dan kita tidak ingin menyebutkan pihak-pihaknya," ucap Roni.
Dia menambahkan, pihaknya tidak mempermasalahkan selisih antara suara paslon 2 dengan paslon 4 yang hanya 2,13 persen. Namun, dia hanya ingin substansi demokrasi di Sumbar bisa diselenggarakan dengan baik.
Sebab, kata Roni, jika penyelenggaranya tidak benar dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan maka akan berakibat pada hasil penyelenggaraan yang tidak kredibel.
"Dari mekanisme pencalonan kami sudah mengidentifikasi adanya hal-hal menyangkut (pelanggaran). Gelar bapak Audy contohnya. Gelarnya kan pakai gelar profesi, sementara (yang) diatur PKPU pencalonan, yang boleh itu hanya gelar akademis dan sesuai dengan KTP," terang Roni.
"Kemudian juga masalah dana kampanye, pasangan tersebut pada laporannya kita temukan Rp0 dan pengeluaran pembiayaan. Menyangkut pertemuan terbatas misalnya, terus ada iklan kampanye, juga Rp0 di situ. Mana mungkin ada orang berkampanye tidak mengeluarkan biaya," tambah Roni. [pkt]